Ketua Umum (Ketum) Partai NasDem Surya Paloh menilai pemilihan umum (pemilu) sebaiknya tidak dilaksanakan jika berkonsekuensi pada perpecahan bangsa. Mungkinkah Paloh salah kaprah soal pemilu?
Surya Paloh tentu tengah berbahagia. Ketua Umum (Ketum) Partai NasDem itu dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa (HC) Sosiologi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Brawijaya (UB).
Dalam orasi ilmiahnya, Paloh memaparkan sejumlah poin yang sangat menarik. Satu yang paling menarik perhatian adalah pandangannya soal tidak perlu diadakan pemilihan umum (pemilu). Menurutnya, jika berkonsekuensi pada perpecahan bangsa, pemilu sebaiknya tidak diadakan.
Sontak saja, pernyataan itu memantik respons luas. Di satu sisi, ada yang mendukung Paloh. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PKB Hasanuddin Wahid, misalnya, juga berpandangan bahwa persatuan bangsa harus diletakkan di atas kepentingan politik. Jika pemilu justru menumbuhkan polarisasi, maka sebaiknya tidak perlu digelar.
Tak Terhindarkan?
Meminjam pandangan pemikir-pemikir besar seperti Francis Fukuyama dan Amartya Sen, kita dapat sangat memahami pernyataan Surya Paloh. Dalam bukunya yang fenomenal, The End of History and the Last Man, pada pembahasan yang berjudul Manusia Tanpa Kepala, Fukuyama menjelaskan bahwa persoalan vital yang sulit diselesaikan demokrasi liberal adalah bagaimana membuat setiap individu mendapatkan kualitas pengakuan yang sama.
Fukuyama bertolak pada dua konsep filosofis untuk menjelaskan masalah itu. Pertama adalah konsep thymos, atau thumos, atau thymia dari Plato. Thumos adalah bagian dari jiwa manusia yang sangat membutuhkan pengakuan akan martabat.
Thumos memiliki dua elemen, yakni isothymia dan megalothymia. Isothymia adalah tuntutan untuk dihormati atas dasar kesetaraan dengan orang lain. Sementara, megalothymia adalah keinginan untuk diakui sebagai yang lebih unggul.
Menurut Fukuyama, demokrasi liberal adalah pilihan tak tertandingi untuk menjawab isothymia. Namun, yang menjadi masalah serius adalah bagaimana caranya meredam megalothymia.
Di sini, Fukuyama mengutip konsep filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, soal adanya manusia paripurna yang terpuaskan dari segala hasrat pengakuan. Tanya Fukuyama, apakah manusia seperti itu ada?
Seperti yang menjadi kritik Plato dalam buku Republic, ketika diberikan kebebasan, manusia akan menuntut kebebasan lainnya. Ketika isothymia sudah terpenuhi – bahkan juga belum, manusia akan menuntut megalothymia.
Atas realitas itu, Fukuyama menggunakan diksi “manusia tanpa kepala” sebagai metafora. Itu adalah satir bahwa manusia yang dibayangkan Nietzsche bukanlah manusia – seseorang akan meninggal jika kehilangan kepalanya.
Atas sulitnya menyelesaikan masalah megalothymia, dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, Fukuyama menerangkan persoalan penting yang intangible (tidak berwujud) sebagai masalah utama untuk mewujudkan demokrasi liberal modern, yakni masalah identitas.
Menurut Fukuyama, ancaman besar demokrasi saat ini adalah menjawab masalah pengentalan identitas dan politik kebencian yang masif terjadi. Poin ini persis seperti yang disinggung Surya Paloh dalam orasi ilmiahnya. Paloh sangat prihatin atas penggunaan politik kebencian sebagai strategi dalam pemilu.
Dalam bukunya Identity and Violence: The Illusion of Destiny, Amartya Sen dengan tegas menyebut konflik dan kekerasan yang terjadi berasal dari masalah identitas. Kita dapat tidak menyukai, menghardik, memukul, hingga membunuh orang lain karena identitasnya berbeda dengan kita.
Lantas, jika politik identitas tidak bisa dihindari, apakah pemilu harus ditiadakan seperti pandangan Surya Paloh?
Tentu jawabannya tidak. Setidaknya ada dua argumentasi yang dapat digunakan untuk membantah pandangan Paloh. Pertama, seperti kritik Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera, pemilu adalah hak masyarakat. Pemilu adalah mandat undang-undang yang harus dilaksanakan.
Mardani juga menambahkan, jika masalahnya ada pada praktik pemilu, maka praktik itu yang harus diperbaiki, bukan menghilangkan pemilunya. Pernyataan Mardani ini mengingatkan kita pada pepatah, “untuk membunuh tikus tidak harus dengan membakar lumbung.”
Lagipula, pada kaedahnya pemilu memang kompetisi. Secara gamblang, dapat dikatakan bahwa pemilu adalah ajang pertarungan yang sah, dan bahkan pertarungan ini dibiayai oleh negara.
Kedua, politik kebencian yang menjadi jantung masalah dapat dihindari. Untuk ini, kita perlu meminjam konsep category-mistake dari Gilbert Ryle dalam bukunya The Concept of Mind. Category-mistake adalah kekeliruan logis yang terjadi ketika seseorang keliru dalam menentukan kategorisasi.
Sekarang pertanyaannya adalah, apakah politik kebencian adalah konstruksi – artinya diciptakan, atau merupakan suatu kondisi sosial yang sudah dan tetap ada?
Jika politik kebencian adalah kondisi sosial yang sudah ada, maka pandangan Surya Paloh harus diimplementasikan. Namun, jika politik kebencian adalah konstruksi, maka pandangan Mardani Ali Sera yang tepat.
Bantahan-bantahan
Untuk menjawabnya, kita dapat melihat dua hal. Pertama dengan melihat literatur atau pembuktian teoretis. Kedua dengan melihat fakta lapangan atau pembuktian empiris.
Untuk pembuktian teoretis, kita akan mulai dari buku Karen Amstrong yang berjudul Masa Depan Tuhan: Sanggahan terhadap Fundamentalisme dan Ateisme. Menurutnya, terdapat kekeliruan dan pemikiran yang dangkal di balik klaim bahwa identitas keagamaan adalah sumber konflik dan musuh perdamaian.
Tegas Amstrong, banyak konflik justru disebabkan oleh ketidakseimbangan kekuatan politik, nasionalisme sekuler, dan keinginan menguasai dunia atau invasi.
Dalam bukunya The Origin of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution, Francis Fukuyama juga berpendapat demikian. Menurut Fukuyama, jika melihat pada sejarahnya, agama justru muncul dan berperan dalam membentuk kohesi sosial. Agama justru adalah respons peradaban dalam menjawab pertikaian.
Kemudian, jika mengacu pada sejarah, usia konflik manusia jauh lebih tua dari usia agama yang menjadi sasaran kritik. Agama-agama besar seperti Islam dan Kristen misalnya, usianya tidak lebih dari 3.000 tahun.
Sekalipun mengacu pada Hinduisme yang disebut sebagai agama pertama – sudah ada antara abad ke-15 dan ke-5 SM – usianya masih sangatlah muda karena bukti pertikaian telah ditemukan sejak era Neanderthal (genus Homo sebelum Sapiens). Neanderthal sendiri disebut telah ada setidaknya sejak 200.000 tahun yang lalu.
Artinya apa? Seperti pernyataan Amstrong, konflik akibat pertikaian politik justru merupakan akar masalah yang sebenarnya.
Sekarang kita lanjut ke pembuktian empiris. Untuk ini, kita dapat menggunakan penelitian Diego Fossati, Edward Aspinall, Burhanuddin Muhtadi, dan Eve Warburton yang berjudul Ideological representation in clientelistic democracies: The Indonesian case.
Penelitian itu terbit pada Februari 2020. Mereka meneliti sepuluh partai, yakni NasDem, PDIP, Gerindra, PPP, PKB, PKS, Demokrat, Golkar, PAN, dan Hanura. Dari sepuluh partai itu, hanya Hanura yang tidak lolos ke Parlemen.
Mereka mencoba menjawab pertanyaan, apakah partai politik menunjukkan perbedaan ideologi dan sikap terhadap suatu isu di tengah sistem klientelisme di Indonesia. Dalam temuannya, perbedaan ideologi dan sikap ternyata kentara terlihat pada isu Islam.
Sementara, soal ekonomi, semua partai memiliki cara pandang yang sama. Menurut mereka, keseragaman ini menunjukkan partai politik di Indonesia gagal dalam mengartikulasi isu-isu ekonomi.
Dari temuan itu kita dapat menarik satu kesimpulan penting. Alasan politik kebencian berbasis agama masif di Indonesia adalah karena partai politik tidak menjadikan isu ekonomi sebagai konsentrasi utama. Partai lebih dominan memainkan isu budaya dan agama sebagai branding dan strateginya di pemilu.
Nah, dari dua pembuktian itu, kita dapat menarik kesimpulan bahwa politik kebencian adalah konstruksi. ada category-mistake yang terjadi. Ini bukan salah pemilu, melainkan salah partai politik dan pihak-pihak terkait yang menggunakan politik kebencian sebagai strategi dalam pemilu.
Simpulan ini persis seperti tanggapan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto terhadap pernyataan Surya Paloh. Ungkapnya, “jangan pernah ragukan kedewasaan rakyat. Persoalan justru sering muncul di elite.”
Well, sebagai penutup, tampaknya dengan cukup meyakinkan kita dapat mengatakan Surya Paloh telah salah kaprah. Partai politik dan mesin-mesin pemenangan memiliki peran vital untuk mencegah perpecahan bangsa.
Seperti pernyataan Paloh, jangan hanya karena nafsu politik untuk meraih kemenangan, kemudian membuat kita mengorbankan persatuan bangsa. (R53)