Pada perayaan HUT ke-9 Partai Nasdem beberapa waktu yang lalu, Surya Paloh menunjukkan gestur politik yang menarik. Bagaimana tidak? Di hadapan Presiden Jokowi, pemilik Metro TV tersebut mengkritik pemerintah yang disebutnya gagap dalam menangani pandemi Covid-19. Sinyal politik apa yang dapat dimaknai dari gestur tersebut?
Berbeda dari masyarakat biasa, gestur atau pernyataan politisi selalu memiliki makna tertentu, baik tersurat maupun tersirat. Atas dasar ini, para politisi, khususnya mereka yang memiliki posisi penting selalu berhati-hati ketika tampil di hadapan publik karena setiap gestur dan pernyataannya akan dinilai memiliki makna tertentu.
Konteks kehati-hatian tersebut dapat kita lihat dari Ketua Umum (Ketum) Partai Nasional Demokrasi (Nasdem) Surya Paloh. Telah lama mantan politikus Partai Golkar tersebut dikenal memiliki kemampuan bahasa dan gestur yang mumpuni. Pasalnya, setiap pernyataannya selalu memiliki tujuan politik tertentu, baik sebagai respons ataupun preseden untuk melakukan sesuatu.
Pada Oktober 2019 lalu, misalnya, tiba-tiba Surya Paloh memperlihatkan gestur mengejutkan dengan mengunjungi Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman di kantor DPP PKS. Saat itu jamak yang menafsirkan bahwa gestur tersebut sengaja dilakukan Surya sebagai “gertakan politik” untuk menuntut kompensasi politik yang lebih, seperti menambah jatah menteri.
Di bulan yang sama, Surya juga memberikan gertakan politik yang tidak kalah hebatnya. Bagaimana tidak? Dalam rangka merespons wacana penerbitan Perppu KPK oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), Ia menyebutkan bahwa sang presiden bisa saja dimakzulkan.
Gertakan ini tentu lebih “kasar” dan lebih mudah dibaca daripada pertemuan dengan PKS. Ini bermaksud untuk menekan Presiden Jokowi agar tidak mengeluarkan Perppu terhadap revisi Undang-undang (UU) KPK yang baru disahkan.
Setelah lama tidak berkomentar, baru-baru ini Surya mengeluarkan pernyataan yang tampaknya sarat akan muatan politis. Dalam perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-9 Partai Nasdem yang juga dihadiri oleh Presiden Jokowi, menariknya Surya mengkritik pemerintah dengan menyebutnya gagap dalam menghadapi pandemi Covid-19. Ia juga menegaskan bahwa sampai saat ini belum melihat tanda-tanda bahwa pandemi akan berakhir.
Akan tetapi, gestur kali ini tampaknya sedikit berbeda karena jauh lebih halus dari gestur-gestur sebelumnya. Pasalnya, faktor kegagapan juga ditujukan Surya kepada masyarakat yang masih kurang disiplin dalam menaati protokol kesehatan. Pun dengan menyebut hampir semua negara juga tengah mengalami ketidakpastian akibat pandemi. Tidak lupa pula Ia memberikan apresiasi kepada Presiden Jokowi karena telah berusaha keras dalam menangani pandemi.
Lantas, mungkinkah pernyataan kali adalah murni kritik terhadap pemerintah?
Etika Kantian
Ada satu pisau analisis yang dapat kita gunakan untuk memastikan apakah pernyataan Surya Paloh tersebut murni kritik atau tidak, yakni teori etika. Tapi sebelumnya harus dipilah terlebih dahulu teori etika apa yang akan digunakan. Lawrence M. Hinman dalam bukunya Ethics A Pluralistic Approach to Moral Theory memetakan bahwa setidaknya terdapat sembilan teori etika yang berkembang sampai saat ini dalam diskursus filsafat.
Namun, dari semuanya, kita dapat menarik dua kategori besar, yakni etika konsekuensi (ethic of consequences) dan etika tugas (ethic of duty). Etika konsekuensi, seperti namanya menitikberatkan suatu penilaian moral – baik atau buruk – pada konsekuensi yang diciptakan oleh suatu tindakan. Sedangkan etika tugas, penilaian moral tidak ditempatkan pada konsekuensi tindakan, melainkan pada niatnya. Kenapa disebut etika tugas, karena individu yang melakukan tindakan etis tersebut merasa bahwa memang itulah tugasnya.
Di sini kita akan menggunakan etika tugas. Alasannya sederhana, berbeda dengan etika konsekuensi yang memiliki pertimbangan untung-rugi, etika tugas murni dilakukan karena itu adalah panggilan moral, atau tepatnya panggilan reason (penalaran). Teori etika tugas jamak dikutip dari filsuf Immanuel Kant. Khusus mengenai teori etika Kant (Kantian), teorinya juga disebut dengan etika deontologi.
Yang menarik dari Kant adalah, landasan asumsinya untuk merumuskan teori etikanya adalah bahwa semua orang dapat mencapai suatu penalaran yang sama. Ini kemudian melahirkan konsep yang disebut dengan categorical imperative, yakni suatu panduan universal tentang apa yang harus dilakukan. Contohnya jangan membunuh. Di sini, Kant membayangkan bahwa mereka yang mampu dituntun oleh imperatif tersebut adalah mereka yang memiliki penalaran yang jernih karena tidak dihalangi oleh preferensi individual.
Nah sekarang pertanyaannya, mungkinkah Surya Paloh telah menerapkan etika deontologi ala Kant? Untuk menjawabnya kita perlu untuk melihat apakah pernyataan tersebut memiliki konsekuensi buruk atau tidak. Pasalnya, jika memiliki konsekuensi buruk, sebagai politisi dan pebisnis ulung, tentu Surya tidak mengambil keputusan yang berisiko. Dengan kata lain, jika pernyataan tersebut ternyata memiliki dampak buruk baginya ataupun Nasdem, berarti etika deontologi telah dilakukan karena konsekuensinya tidak dipertimbangkan.
Melihat posisi Nasdem saat ini, boleh dikatakan partai ini tampaknya berada pada posisi yang kurang menguntungkan. Berbeda dengan periode pertama pemerintahan Jokowi, saat ini hubungan Jokowi-Nasdem terlihat sedikit merenggang, khususnya setelah gestur-gestur mencolok Surya, seperti bertemu dengan Presiden PKS dan mengeluarkan narasi pemakzulan.
Lalu, menteri dari Nasdem, yakni Johnny G. Plate juga tengah disorot minor saat ini karena melakukan berbagai blunder. Yang terbaru adalah pernyataannya di Narasi TV ketika menolak membahas isi UU Cipta Kerja yang baru disahkan. Artinya, kritik terhadap Presiden Jokowi yang disampaikan oleh Surya tampaknya berkonsekuensi negatif karena menterinya dapat saja diganti.
Dengan menyadari hal tersebut, mungkin dapat dikatakan bahwa Surya memilih untuk tidak mempertimbangkan konsekuensi tersebut dan tetap memilih mengkritik pemerintah terkait penanganan pandemi Covid-19. Di sini, Surya mungkin merasa bahwa dirinya terpanggil untuk memberi teguran tersebut.
Akan tetapi, gestur terbaru Partai Nasdem tampaknya menggugurkan kesimpulan tersebut. Gestur apakah itu?
Mendekati Anies?
Gestur ini memang bukan berasal dari Surya langsung, melainkan dari baliho perayaan HUT ke-9 Partai Nasdem yang menariknya memasukkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di dalamnya. Dengan status Anies yang bukan merupakan kader Partai Nasdem, tentu baliho itu dinilai memiliki makna tersendiri.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin, misalnya, membaca fenomena tersebut sebagai lampu hijau dari Nasdem untuk mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) tersebut.
Pembacaan tersebut memang bukan tanpa alasan yang kuat. Pasalnya, beberapa kali Surya Paloh menunjukkan gestur seolah sedang meng-endorse Anies. Pada Januari lalu, misalnya, ketika melakukan safari politik ke Sulawesi Selatan, Surya terang-terangan memuji Anies karena gencar melakukan revitalisasi trotoar di Ibu Kota.
Pertemuannya dengan PKS juga dinilai sebagai langkah awal untuk mendekati Anies. Surya sendiri juga pernah menyebut bahwa Nasdem siap menjadi oposisi pemerintah. Di sini, kita dapat melihat bahwa Surya seperti ingin memanfaatkan potensi suara besar yang dimiliki oleh PKS dan Anies. Pasalnya, dengan Prabowo Subianto bergabung dengan pemerintah, PKS dan Anies yang kini dinilai sebagai ceruk suara utama kelompok-kelompok Islam.
Lalu, terkait kritik Surya kepada Jokowi, itu jelas merupakan pemanfaatan momen yang brilian. Saat ini publik memberikan atensi yang besar terhadap pandemi. Dengan Surya yang notabene merupakan “orang dalam”, tentu itu akan dimaknai publik bahwa pemerintah memang benar-benar gagap dalam menangani pandemi karena orang dalam pemerintahan saja memberikan kritik.
Secara tidak langsung, itu mungkin juga bertujuan untuk meng-endorse Anies. Pasalnya, sejak awal Anies disebut sebagai salah-satu Kepala Daerah yang paling responsif untuk menangani pandemi. Telatnya penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta, misalnya, disebabkan karena menunggu izin dari pemerintah pusat.
Tapi tentu kita menyadari, begitu sukar mengafirmasi apakah kritik Surya kepada Presiden Jokowi adalah murni panggilan moral atau justru memiliki intrik politik. Yang jelas, kritik tersebut diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah untuk memperbaiki penanganan pandemi Covid-19 saat ini. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)