Indikator Politik Indonesia merilis survei menteri berkinerja terbaik yang menempatkan Mensos Risma dan Menkeu Sri Mulyani sebagai yang tertinggi. Dengan responden yang merupakan masyarakat acak, bukannya para pakar di bidangnya, apakah survei tersebut dapat diamini?
“Meski belum mati, saat ini ‘kepakaran’ berada dalam bahaya.” – Tom Nichols, dalam buku The Death of Expertise
Entah apapun isunya, topik seputar menteri selalu menarik atensi publik. Tentu bukan tanpa alasan, para menteri memegang peranan vital dalam menentukan arah kebijakan publik nasional. Atas ini, publik sangat menanti kinerja luar biasa para menteri. Seolah merespons, baru-baru ini Indikator Politik Indonesia merilis survei kinerja menteri Kabinet Indonesia Maju.
Di posisi pertama, terdapat nama Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini dengan 12,5 persen. Setelah itu, ada Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dengan 12,3 persen. “Jadi berbanggalah perempuan karena dua menteri perempuan diapresiasi publik secara spontan sebagai menteri terbaik,” ungkap Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanudin Muhtadi.
Di peringkat ketiga sampai ketujuh adalah Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dengan 9,2 persen; Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno dengan 9,2 persen; Menteri BUMN Erick Thohir dengan 8,1 persen; Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim dengan 5,1 persen; dan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas dengan 4,1 persen.
Survei ini dilakukan pada 2-6 November 2021 dengan wawancara tatap muka. Jumlah responden sebanyak 2.202 yang dipilih melalui metode multistage random sampling.
Beragam komentar datang menanggapi hasil survei. Seperti yang terlihat dalam unggahan infografis PinterPolitik di Instagram, umumnya warganet menaruh tanda tanya. Apa indikator penilaiannya? Apakah ini soal popularitas?
Dengan berbagai komentar sinis tersebut, mungkin dapat ditarik pertanyaan, sejauh mana survei ini dapat diterima?
Gap Pengetahuan
Survei kinerja menteri bukan kali pertama dilakukan. Berbagai lembaga survei melakukannya secara berkala. Pada Oktober 2020, misalnya, Indonesia Political Review (IPR) merilis survei tingkat kepuasan publik terhadap kinerja setahun para menteri.
Dalam survei tersebut, tiga menteri teratas adalah Menhan Prabowo dengan 45,2 persen; Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi dengan 44,9 persen; dan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Zainudin Amali dengan 44,8 persen.
Sebelumnya, ada pula rilis Arus Survei Indonesia (ASI) pada Juni 2020, yang juga menempatkan Menhan Prabowo sebagai menteri dengan kinerja paling memuaskan dengan respons kepuasan sebesar 43,7 persen.
Kembali pada pertanyaan sebelumnya, dari mana indikator kepuasan kinerja tersebut? Bagaimana responden yang merupakan masyarakat acak menilai kinerja para menteri?
Atas pertanyaan ini, ada pandangan menarik dari Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya ketika mengomentari survei serupa dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Februari 2020. Menurutnya, tingginya respons publik terhadap Prabowo tidak lepas dari faktor keterkenalan dan popularitas sang Ketua Umum Gerindra. Dengan fakta sudah maju di kontestasi pilpres, siapa yang tidak mengenal Prabowo?
Mungkin, ada yang menanggapi sinis pernyataan Willy karena Nasdem diketahui kurang senang dengan masuknya Gerindra ke dalam kabinet. Alasannya sederhana, yakni karena itu mengubah format kabinet dan mengurangi kursi partai koalisi Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin.
Terlepas dari ada tidaknya sentimen tersebut, pernyataan Willy merupakan apa yang ditekankan oleh Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise. Dalam paragraf pertama bab “Pakar dan Warga Negara”, Nichols menulis kalimat yang sangat menarik.
“Mereka ada yang muda ataupun tua, kaya ataupun miskin, beberapa berpendidikan, yang lain hanya bersenjatakan laptop atau kartu perpustakaan. Tapi ada satu kesamaan: mereka orang biasa yang merasa dirinya adalah timbunan pengetahuan,” tulis Nichols.
Menurut Nichols, saat ini para pakar tengah menghadapi tantangan dan gugatan yang hebat, yang uniknya tidak datang dari kekuatan politik atau politisi yang merasa terancam oleh sains, melainkan dari masyarakat biasa yang merasa dirinya lebih berpengetahuan dari para pakar.
Dalam studi psikologi, apa yang dijelaskan oleh Nichols disebut dengan Dunning-Kruger effect. Ini adalah konsep psikologi yang diambil dari tulisan David Dunning dan Justin Kruger yang berjudul Unskilled and unaware of it: how difficulties in recognizing one’s own incompetence lead to inflated self-assessments.
Tulisan yang diterbitkan pada tahun 1999 itu menjelaskan bias kognitif yang terjadi ketika kita melebih-lebihkan pengetahuan atau kemampuan di bidang tertentu. Ini terjadi karena kita jarang merefleksikan atau merenungkan seberapa dalam kita mengetahui sesuatu. Sering kali, kita hanyut dalam kepercayaan diri dan malu mengakui ketidaktahuan.
Akar dari Dunning-Kruger effect adalah lemahnya intellectual humility, yakni kesadaran bahwa kita kurang atau tidak mengetahui sesuatu. Brian Resnick dalam tulisannya Intellectual humility: the importance of knowing you might be wrong, menyebut konsep ini telah dari jauh-jauh hari diperkenalkan oleh filsuf Prancis, Michel de Montaigne pada abad ke-16. Montaigne menulis, “the plague of man is boasting of his knowledge.”
Kembali pada survei kinerja menteri. Dengan fakta butuh pakar untuk menilai kinerja menteri – misalnya Menkeu dinilai oleh para dosen, pakar, dan pelaku ekonomi – mengapa masyarakat umum yang menjadi responden merasa memiliki kapabilitas dalam menilai para menteri?
Kembali mengutip Nichols, ada gap pengetahuan antara masyarakat umum dengan para pakar yang sering kali dinafikan.
Survei Tidak Perlu?
Pada kasus memuaskannya kinerja Menhan Prabowo, misalnya, dengan fakta saat itu Prabowo belum mampu mendatangkan alutsista, serta sampai saat ini belum mampu mengembangkan alutsista nasional, bagaimana mungkin kinerjanya dinilai memuaskan? Atas keganjilan ini, besar kemungkinan para responden mengacu pada berbagai berita seputar diplomasi pertahanan Prabowo.
Ini jelas rancu. Pasalnya, semua Menhan memang melakukan diplomasi pertahanan. Dengan kata lain, ini bukanlah suatu prestasi, melainkan aktivitas yang lumrah dilakukan oleh seorang Menhan.
Pun demikian pada survei terbaru dari Indikator Politik Indonesia. Apakah para responden memiliki pengetahuan memadai soal program dan kriteria penilaian Mensos? Apakah para responden memiliki pengetahuan yang sepadan dengan para dosen ekonomi dalam menilai kinerja Menkeu?
Seperti pernyataan Willy Aditya, jangan-jangan ini bukan menunjukkan tingkat kinerja, melainkan tingkat popularitas. Bukan tidak mungkin para responden menilai kinerja para menteri berdasarkan pada citra sang menteri, atau sejauh mana pemberitaan positif terhadap sang menteri.
Jika benar ada fenomena Dunning-Kruger effect dan lemahnya intellectual humility, dapat dikatakan survei semacam ini pada dasarnya tidak perlu. Pasalnya, terdapat lembaga resmi negara seperti Badan Pengawas Keuangan (BPK) yang tidak hanya mengaudit keuangan, melainkan juga mengaudit kinerja.
Dengan kata lain, kalaupun ingin memberikan informasi kepada publik terkait siapa saja menteri yang memiliki kinerja baik, para lembaga survei cukup mengambil data dari berbagai lembaga resmi yang melakukan audit kinerja setiap kementerian.
Mengutip ilmuwan politik Francis Fukuyama, sebagai bentuk akuntabilitas yang menjadi ciri khas demokrasi modern, Presiden Jokowi juga dapat menyampaikan rapor para menteri kepada publik.
Sebagai penutup, survei semacam ini pada dasarnya tidak tepat dilakukan karena dapat menghasilkan kesimpulan yang rancu. Sekalipun ingin dilakukan, solusinya ada dua. Pertama, mengambil data dari lembaga resmi negara yang melakukan audit kinerja. Kedua, responden survei bukanlah masyarakat umum, melainkan para pakar di bidangnya. (R53)