Peran keluarga Wanandi memang sangat besar dalam CSIS melalui Jusuf Wanandi. Saudaranya, Sofyan Wanandi terpilih menjadi staf ahli Wakil Presiden, Jusuf Kalla. Akibatnya, banyak yang menilai CSIS menjadi salah satu aktor di balik pemerintahan Jokowi-JK.
PinterPolitik.com
“You can’t depend on polls” – Michael Bloomberg
[dropcap size=big]L[/dropcap]embaga Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia menjadi think tank terbaru yang mengeluarkan hasil surveinya terkait tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Survei yang dikeluarkan bertepatan dengan peringatan ulang tahun ke-46 CSIS ini menggambarkan secara positif pencapaian tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK.
Setidaknya, hal itu tergambar dari peningkatan angka kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK yang menyentuh angka 68,3 persen. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2016 dengan 66,5 persen responden yang puas dengan hasil kerja Jokowi-JK. Walaupun tidak signifikan, peningkatan ini menggambarkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia puas terhadap kinerja Jokowi-JK – setidaknya menurut hasil survei CSIS tersebut.
Selain itu, CSIS juga menyebutkan adanya peningkatan elektabilitas Jokowi jika dibandingkan tahun 2015 dan 2016. Elektabilitas Jokowi bahkan telah menyentuh angka 50,9 persen, atau naik hampir 10 persen jika dibandingkan dengan tahun 2016 dan besarannya mencapai 2 kali lipat elektabilitas Prabowo Subianto yang ada di urutan kedua.
Fadli Zon: Survei CSIS Tidak Sesuai Faktahttps://t.co/s3lsBLHTSq
— Fadli Zon (@fadlizon) September 13, 2017
Namun, beberapa pihak menyebutkan bahwa kondisi yang terjadi di masyarakat adalah yang sebaliknya. Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon menyebutkan bahwa masyarakat menganggap kondisi ekonomi saat ini cukup sulit, apalagi jika dilihat dari daya beli masyarakat yang cenderung turun. Sektor properti dan retail merupakan sektor yang paling terdampak – hal yang bisa terlihat misalnya dalam kasus akan ditutupnya 8 gerai Ramayana.
Lalu, apakah itu berarti survei CSIS tidak sesuai dengan fakta di lapangan?
CSIS dan Survei Politik
Seperti kata-kata orang terkaya nomor 10 di dunia, Michael Bloomberg di awal tulisan ini, faktanya memang sangat sulit untuk melepaskan hasil survei dari kepentingan. Bahkan, tidak jarang survei juga selalu berhubungan dengan upaya pembentukan opini publik – hal yang sangat sering ditemukan dalam politik di hampir seluruh negara demokrasi di dunia.
Bagaimana dengan CSIS?
CSIS memang tidak sesering lembaga survei lain dalam mempublikasikan hasil penelitiannya. Bahkan, dalam beberapa gelaran politik terakhir – misalnya di Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu – CSIS tidak begitu terlihat, walaupun sempat pula mengeluarkan beberapa survei. Namun, hasil penelitian lembaga ini seringkali dipakai sebagai rujukan, mengingat kiprah CSIS yang hampir satu abad berdiri di Indonesia.
Jika menilik sejarahnya, CSIS didirikan pada zaman Presiden Soeharto, tepatnya pada 1 September 1971. Namanya sama dengan CSIS yang ada di Amerika Serikat, lalu apakah CSIS Indonesia punya hubungan dengan CSIS yang ada di Amerika Serikat? Mungkin saja. Yang jelas, saat itu, tokoh-tokoh militer yang menjadi penasehat Soeharto, seperti Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardhani melihat pentingnya mengumpulkan peneliti dan scholar yang bisa ikut merumuskan kebijakan Soeharto.
Institute for Research and Public Policy (IRPP) – sebuah lembaga riset dari Kanada – pernah mengeluarkan laporan pada tahun 1991 terkait kelahiran CSIS sebagai upaya dua kelompok peneliti Indonesia (yang ada di tanah air dan yang sedang berkuliah di Eropa dan Amerika Serikat) dengan didukung penuh oleh Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardhani untuk melahirkan lembaga yang bisa berkontribusi pada pemerintahan Soeharto. Saat itu, pendanaan CSIS bersumber dari Yayasan Proklamasi.
Belakangan, peran CSIS semakin kuat setelah dipimpin oleh dua jebolan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jusuf Wanandi dan Harry Tjan Silalahi. Grayson Lloyd dan Shannon L. Smith dalam buku Indonesia Today menyebut kedua tokoh ini berperan penting ketika Soeharto dan Ali Murtopo mereformasi kebijakan politik domestik dan lanskap politik saat itu, terutama dalam menyediakan cetak biru dan landasan ideologisnya. CSIS juga disebut sebagai aktor penting dalam percepatan modernisasi Indonesia dan penerapan kebijakan ekonomi-konglomerasi serta industri yang berbasis doktrin Pancasila.
Namun, setelah Soeharto lengser, CSIS memang tidak banyak terdengar lagi. Mungkin karena identik dengan Soeharto, nama CSIS tidak muncul ke permukaan. Jurnal dan hasil risetnya mungkin masih diterbitkan, namun secara politik, lembaga ini tidak banyak terlihat bergerak.
Nama CSIS baru muncul lagi setelah Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden pada 2014. Peran keluarga Wanandi memang sangat besar dalam CSIS melalui Jusuf Wanandi. Oleh karena itu, ketika saudaranya, Sofyan Wanandi terpilih menjadi staf ahli Wakil Presiden, Jusuf Kalla (JK), banyak pihak yang kemudian menganggap CSIS sebagai salah satu aktor penting di balik pemerintahan Jokowi-JK.
Beberapa praktisi yang pernah berkecimpung di dunia konglomerasi – yang tidak bisa disebutkan namanya – juga menyebutkan bahwa CSIS pernah mendapat dukungan pendanaan dari beberapa konglomerat. Beberapa di antara konglomerat tersebut saat ini ikut mendukung pemerintahan Jokowi.
Oleh karena itu, sulit untuk melihat ketidakberpihakan hasil survei CSIS terhadap pemerintahan Jokowi-JK jika dilihat dari latar belakang think tank ini dan hubungannya dengan pemerintahan Jokowi-JK. Lalu, apakah itu berarti Survei CSIS tidak sesuai dengan kenyataan?
Benarkah Hasil Survei CSIS?
Faktanya, masyarakat memang masih cukup puas dengan hasil kerja dan pembangunan yang digalakkan oleh Jokowi. Jika dilihat dari antusiasme dan tingkat kesadaran politik masyarakat saat ini, bisa dipastikan kerja-kerja Jokowi melalui pembangunan infrastruktur memang mendatangkan kepuasan publik. Sebut saja misalnya harga-harga barang yang menjadi jauh lebih murah di Indonesia bagian timur, pembangunan jalan-jalan tol, hingga proyek infrastruktur lainnya.
Jika dibandingkan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Indobarometer yang dipublikasikan pada Maret 2017 lalu, angka kepuasan masyarakat dalam survei CSIS masih lebih tinggi. Indobarometer saat itu menyebutkan 66,4 persen masyarakat puas dengan kerja Jokowi-JK, sementara CSIS memberikan angka 68,3 persen atau 2 persen lebih tinggi.
Namun, dalam survei CSIS, indikator kepuasan dalam bidang ekonomi hanya ada pada angka 56,9 persen, atau jauh jika dibandingkan dengan kepuasan di bidang maritim yang mencapai 75,5 persen. Artinya, boleh jadi tingkat kepuasan masyarakat dari sisi kesejahteraan relatif masih rendah. Secara ekonomi, masih banyak orang yang merasa kesulitan, ekonomi masih timpang, dan semakin dipersulit oleh kebijakan pemerintah, namun mereka optimis pemerintahan Jokowi bisa memperbaiki hal tersebut.
Katakanlah jika dilihat dari angka kemiskinan yang justru meningkat tipis dari 27,74 juta pada 2016, menjadi 27,77 juta pada 2017 (naik 30 ribu jiwa). Selain itu, pengusaha-pengusaha di sektor retail banyak yang kesulitan akibat penurunan daya beli. Mall-mall dan pusat perbelanjaan menjadi sepi dan banyak pedagang yang terus merugi. Di sektor properti, banyak pengusaha swasta yang merugi karena begitu banyak proyek yang dimonopoli oleh BUMN. Hal lain juga misalnya terlihat dari postur RAPBN 2018 yang mengalami defisit karena dipakai untuk membayar utang.
Artinya, dari sisi kepuasan masyarakat, memang bisa terlihat Jokowi masih menjadi tokoh yang populer. Namun, jika menilik dari kebijakan ekonomi – yang oleh Rizal Ramli disebut sebagai ‘kebijakan konservatif’ – tim ekonomi Jokowi memang belum banyak menghasilkan perubahan. Oleh karena itu, agak sulit untuk membandingkan secara head to head kepuasan masyarakat secara keseluruhan dengan kepuasan pada bidang ekonomi sebab margin kepuasan di bidang ekonomi hampir 10 persen lebih rendah. Mungkin, kepuasan masyarakat terhadap Jokowi-JK sangat terbantu dengan kepuasan di bidang maritim, sebut saja lewat aksi-aksi ‘koboi’ Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.
Dengan demikian, survei CSIS tentu bisa diterima, namun bukan berarti tanpa cela. Jika CSIS murni tanpa kepentingan dan dukungan, maka sudah selayaknya kritik terhadap pembangunan ekonomi Jokowi harus menjadi focus point untuk menilai kepercayaan masyarakat terhadap Jokowi karena faktanya secara eknomi masih terdapat banyak kekurangan.
Jokowi juga masih harus bekerja keras karena bagaimana pun juga tingkat kepuasan masyarakat akan sangat menentukan tingkat keterpilihannya jika ia maju pada Pilpres 2019. Survei dari CSIS – terlepas dari ada atau tidaknya keberpihakan – menjadi indikator bahwa secara ekonomi, rapor tim Jokowi belum bagus. Oleh karena itu, tim ekonomi Jokowi – seperti kata Rizal Ramli – jangan banyak ngeles. (S13)