Di tengah ramainya berbagai isu miring yang berseliweran di media massa, mulai dari konflik Natuna, kasus Jiwasraya dan Asabri, serta kasus suap yang melibatkan KPU dan PDIP, fenomena Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire tiba-tiba muncul di headline pemberitaan berbagai media dan menarik perhatian masyarakat luas. Lantas, benarkah viralnya fenomena tersebut untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu penting lain yang belakangan ini terjadi?
PinterPolitik.com
Pada konteks munculnya Keraton Agung Sejagat di Purworejo dan Sunda Empire di Bandung, Profesor Salim Said benar-benar senada dengan Presiden ke-32 Amerika Serikat (AS), Franklin Delano Roosevelt yang menyebutkan bahwa “di dalam politik tidak ada hal yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, kita dapat bertaruh bahwa hal tersebut telah direncanakan”.
Di dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) pada 21 Januari 2020, Profesor Salim Said menerangkan bahwa sejak era Presiden Soekarno, kasus di mana terdapat pihak yang mengklaim sebagai keturunan raja selalu terjadi. Menariknya, dari banyaknya kasus yang ia temui, fenomena tersebut kerap terjadi di Pulau Jawa.
Menurutnya, setidaknya terdapat dua hal yang membuat fenomena ini marak terjadi di Pulau Jawa.
Pertama, secara budaya, di Jawa memang kental dengan sejarah keraton dan kerajaan. Sehingga, ini akan membuat masyarakat Jawa akan begitu dekat cerita-cerita keturunan raja yang dibawa.
Kedua, karena menurutnya Pulau Jawa memiliki signifikansi politik. Simpulan ini didapatkannya setelah mewawancarai salah satu pemimpin pemberontakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), Herman Nicolas Ventje Sumual, yang menyebutkan targetnya adalah untuk merebut Jawa. Menurut Sumual, apabila tidak menguasai Jawa maka usaha untuk melakukan pemberontakan adalah sia-sia.
Atas berbagai fenomena tersebut, Salim Said menegaskan mestilah terdapat kepentingan yang bersembunyi di belakang viralnya fenomena tersebut, baik itu kepentingan ekonomi maupun kepentingan politik.
Di acara yang sama, sejarawan Ridwan Saidi juga menyimpulkan hal yang sama bahwa terdapat hidden system yang merancang viralnya Keraton Agung Sejagat maupun Sunda Empire. Menurutnya, viralnya fenomena ini ditujukan untuk memecah fokus masyarakat terhadap isu yang tengah menyedot perhatian publik, seperti kasus Natuna.
Tentu pertanyaannya, benarkah viralnya Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire ditujukan untuk memecahkan fokus masyarakat ataupun memiliki kepentingan politik tertentu di belakangnya?
Mengapa Dapat Terjadi?
Menimbang pada pernyataan Salim Said bahwa peristiwa serupa kerap terjadi sejak dahulu, tentu pertanyaannya mengapa selalu terdapat kelompok masyarakat yang hanyut di dalam cerita-cerita kerajaan tersebut?
Konteks masalah tersebut dapat kita jawab dengan konsep psikologi yang ditemukan oleh psikolog, Carl Hovland yang bernama sleeper effect atau efek tertidur. Efek tertidur yang dimaksud di sini terkait dengan mereka yang mempercayai suatu propaganda atau konspirasi terjadi karena adanya kecenderungan psikologis manusia untuk mengabaikan atau cepat melupakan fakta – atau manusia cenderung tertidur melihat fakta.
Efek ini tercipta tidak lain karena keterbatasan dari memori manusia itu sendiri yang cenderung lebih cepat memudarkan atau melupakan sumber informasi daripada informasi atau argumentasi yang diterima. Dengan kata lain, ini sebenarnya menjelaskan bahwa kognisi manusia sebenarnya lebih tertarik pada suatu informasi ketimbang sumber informasi itu sendiri.
Efek tertidur terhadap fakta ini dengan jelas terlihat dari keterangan Toto sang Raja Keraton Agung Sejagat ataupun Rangga yang merupakan petinggi di Sunda Empire yang menyebut berbagai cerita konspiratif dengan dalih inilah sejarah yang sebenarnya.
Bayangkan saja, di tengah revolusi teknologi informasi yang membuat sekat-sekat informasi sudah tidak lagi terasa, bagaimana mungkin terdapat pihak-pihak yang tidak dapat mencari tahu bagaimana NATO atau PBB terbentuk?
Merujuk pada efek tertidur, kita tentu dapat memahami mengapa para pengikut Sunda Empire menjadi percaya terhadap cerita konspiratif terkait NATO dan PBB yang disebut memiliki pertautan dengan Bandung.
Memecah Perhatian Masyarakat?
Melihat berbagai keganjilan yang ada, simpulan Salim Said dan Ridwan Saidi terkait adanya kepentingan tertentu maupun adanya usaha untuk memecah perhatian masyarakat nampaknya memiliki alasan yang cukup kuat.
Pertama, Keraton Agung Sejagat ataupun Sunda Empire sudah sejak bertahun-tahun yang lalu didirikan. Video pidato Sunda Empire yang viral di sosial media beberapa waktu yang lalu juga diambil pada 2018. Ini tentu menimbulkan pertanyaan, mengapa keduanya baru viral saat ini atau mungkin tepatnya diviralkan?
Kecurigaan diviralkannya fenomena ini diperkuat dengan pengakuan Kepala Bidang Ideologi dan Wawasan Kebangsaan (Kesbangpol) Bandung, Sony yang menyebutkan Sunda Empire sebenarnya telah dibubarkan oleh Kodam III/Siliwangi pada 2018 lalu.
Tidak hanya itu, ternyata terdapat pertalian yang erat antara Keraton Agung Sejagat dengan Sunda Empire karena Toto Santosa yang merupakan Raja Keraton Agung Sejagat pernah menjadi anggota Sunda Empire sebelum memutuskan membentuk kerajaannya sendiri.
Kedua, pada Desember 2019, pihak kepolisian menemukan terdapat uang senilai Rp 1,4 miliar masuk ke rekening Toto yang tidak jelas sumbernya dari mana. Pasalnya, tidak mungkin uang sebesar itu dikirimkan pihak tertentu secara “iseng”, dan bagaimana caranya nomor rekening Toto diketahui? Bukankah tidak mungkin pihak sembarang mampu mengetahui nomor rekening seseorang?
Keanehan ini sangat relevan dengan kecurigaan Ridwan Saidi bahwa viralnya fenomena ini besar kemungkinan telah disiapkan beberapa bulan sebelumnya, atau hanya menunggu waktu yang tepat untuk dimunculkan ke publik.
Budi Gunawan (BG) selaku Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) juga telah menuturkan bahwa Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire sebenarnya telah lama dideteksi. Anehnya, jika telah lama dideteksi, mengapa tidak sedari dulu ditindak?
Ketiga, seperti yang disebutkan sebelumnya, viralnya fenomena ini begitu bertepatan dengan berbagai isu negatif yang tengah mendera pemerintah. Melihat kedekatannya, agaknya sulit bagi kita untuk memahami bahwa peristiwa ini hanyalah kebetulan semata.
Lebih hebatnya lagi, Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire bahkan diangkat menjadi topik pembahasan di acara ILC dengan judul “Siapa Di Balik Raja-Raja Baru?” Melihat polanya, acara yang telah menjadi standar kecerdasan dalam melakukan diskursus politik ini tidak pernah sembarangan dalam mengangkat suatu topik.
Sebelum menjadi topik di ILC, fenomena tersebut bahkan telah malang-melintang di berbagai media massa. Dengan kata lain, viralnya kasus ini memang telah benar-benar memecah perhatian publik terhadap berbagai isu negatif yang tengah terjadi. Singkat kata, Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire, benar-benar telah menciptakan kebisingan politik yang begitu baik.
Konteks masalah ini sangat sesuai dengan yang ditulis oleh Ed Rogers dalam The Politics of Noise, bahwa kebisingan politik dapat membuat publik menjadi tidak fokus pada inti masalah yang tengah terjadi karena lebih menyibukkan diri membahas kebisingan politik yang tercipta.
Menciptakan kebisingan politik untuk memecah perhatian publik tersebut dapat kita pahami melalui teori komunikasi publik yang disebut dengan manajemen isu. Manajemen isu adalah proses strategis dan antisipatif yang membantu organisasi – dalam konteks ini adalah pemerintah – untuk mendeteksi dan merespons berbagai perubahan tren atau isu yang muncul di lingkungan sosial-politik.
Karena perubahan tren dan isu tersebut dapat mengkristal menjadi suatu masalah yang dapat memberikan dampak destruktif, maka organisasi terkait perlu untuk memberikan respon yang tepat untuk mencegah terjadi kristalisasi masalah. Salah satu caranya dengan melemparkan isu agar isu yang tengah terjadi tidak mengkristal – atau yang kita sebut dengan pengalihan isu.
Mantan praktisi di lingkaran istana yang pernah dimintai keterangan oleh PinterPolitik juga menuturkan bahwa pengalihan isu adalah hal yang sangat lumrah terjadi – khususnya sebagai strategi politik pemerintahan yang berkuasa. Dengan menggunakan berbagai instrumen yang dimiliki, kapabilitas untuk mengalihkan isu, tentu sangat dimungkinkan demi menciptakan koridor situasi nasional yang kondusif.
Presiden Jokowi sendiri, ketika ditanya pendapatnya oleh media massa terkait Keraton Agung Sejagat menjawab “itu hiburan lah” sambil tertawa. Mungkinkah viralnya fenomena ini memang diperuntukkan untuk memberikan semacam hiburan kepada masyarakat karena tengah begitu tegang dengan berbagai isu negatif yang tengah terjadi?
Atau memang kasus ini dimaksudkan agar masyarakat tak terlalu banyak bereaksi terhadap skandal besar macam Jiwasraya dan Asabri yang merugikan negara hingga belasan triliun rupiah? Tak ada yang tahu pasti.
Pada akhirnya, kita mungkin dapat menyimpulkan bahwa viralnya Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire merupakan suatu bentuk pengalihan isu untuk meredam mengkristalnya berbagai isu negatif yang tengah terjadi agar tidak menjadi masalah tersendiri bagi pihak-pihak terkait.
Namun, tidak menutup kemungkinan pula bahwa viralnya fenomena tersebut mungkin hanyalah kelihaian media massa dalam mencari berita. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.