HomeNalar PolitikSun Tzu dalam Serangan Prabowo

Sun Tzu dalam Serangan Prabowo

Penampilan Prabowo Subianto dalam debat keempat Pilpres beberapa hari lalu dianggap cukup dominan. Ketika berbicara mengenai isu militer dan hubungan internasional misalnya, ia tampak sangat memahami konteks persoalan yang tengah dihadapi Indonesia. Ia juga tegas menyerang kebijakan-kebijakan Jokowi. Faktanya, apa yang dilakukan oleh Prabowo telah dipakai oleh banyak tokoh besar sepanjang sejarah untuk mengalahkan musuh dalam banyak perang besar, setidaknya sejak Sun Tzu memperkenalkan The Art of War.


PinterPolitik.com

“Avoid strength, attack weakness”.

:: Sun Tzu (544-496 SM), jenderal militer Tiongkok kuno ::

[dropcap]H[/dropcap]indari sisi kuatnya dan seranglah musuhmu di titik lemahnya. Demikianlah salah satu strategi perang yang dikemukakan oleh ahli militer di era Tiongkok kuno, Sun Tzu. Prinsip tersebut nyatanya telah membantu banyak pemimpin hebat memenangkan peperangan. Hal ini jugalah yang membuat negara-negara besar selalu berupaya untuk terlihat kuat agar tidak mudah diserang musuh.

Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei dalam salah satu pidatonya pada Maret 2017 menyebutkan secara spesifik bahwa perang seringkali terjadi karena negara menunjukkan kelemahannya. Kelemahan membuat negara menjadi rentan diserang. “Your display of weakness will encourage enemy to attack”, demikian ditulis oleh website resmi sang pemimpin agung.

Karena politik sama dengan perang – demikian kata Perdana Menteri Inggris di era Perang Dunia II, Winston Churchill – maka strategi yang serupa bisa pula diaplikasikan dalam upaya memenangkan pertarungan menuju kursi kekuasaan. Seorang kandidat pemenang akan selalu berupaya untuk menyerang titik lemah lawannya, entah itu dalam hal gagasan, program kerja, termasuk dalam debat-debat politik.

Pemilu seperti permainan game. Ketika sampai ke level tertinggi dan harus melawan musuh utama yang seolah tak terkalahkan, hal yang harus dilakukan adalah menyerang di titik lemahnya. Share on X

Setidaknya itulah yang bisa dilihat dalam penampilan kandidat capres nomor urut 02, Prabowo Subianto pada debat keempat Pilpres 2019 beberapa hari lalu. Penampilan Ketua Umum Partai Gerindra itu dianggap  masih meninggalkan kesan bagi banyak pihak, baik dari sisi performa maupun dari konten debat yang disampaikannya.

Sang jenderal juga tampil cukup dominan, cenderung ofensif dan menguasai topik bahasan – terutama terkait persoalan kemiliteran – dengan baik. Prabowo juga dianggap mampu menampilkan pembeda yang signifikan lewat pandangan-pandangan ideologisnya tentang negara dalam tataran pemerintahan, kemiliteran dan hubungan internasional yang menjadi tema debat malam itu.

Sementara sang lawan, Joko Widodo (Jokowi) sebetulnya terlihat cukup terkejut dan agak grogi – demikian menurut beberapa ahli bahasa tubuh – ketika menjawab berbagai persoalan yang disampaikan oleh Prabowo, meskipun sang presiden tetap berusaha untuk terlihat tenang.

Sejak awal debat, Prabowo sudah langsung menyinggung persoalan ideologis terkait tuduhan yang menyebut dirinya akan mengubah Indonesia menjadi khilafah. Demikianpun di bagian berikutnya ketika ia menyinggung anggaran militer Indonesia yang menurutnya terlalu kecil. Ia berbicara dengan cukup keras dan dengan nada yang meledak-ledak.

Tak pelak aksi Prabowo tersebut oleh banyak pihak dianggap justru mengembalikan citra pribadinya yang keras ke hadapan publik, setelah sebelumnya ia sempat tampil berbeda dalam beberapa kampanye di daerah.

Apalagi, dalam salah satu kesempatan, mantan menantu Soeharto itu sempat “memarahi” hadirin acara debat tersebut, “menyindir” para dubes dan tamu negara, serta cukup banyak mengkritisi bawahan-bawahan Jokowi yang disebutnya “memberikan briefing yang salah” soal isu pertahanan keamanan.

Baca juga :  Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Hal-hal tersebut pada akhirnya mendatangkan kritik dari kubu lawan. Kubu Jokowi-Ma’ruf Amin bahkan menyebut Prabowo bukan berbicara sebagai capres, tetapi sebagai pengamat militer.

Namun, jika diperhatikan secara spesifik, apa yang dilakukan oleh Prabowo tersebut adalah aplikasi dari pemikiran Sun Tzu dalam konteks kontestasi elektoral.

Ia memang terlihat menyerang kelemahan utama Jokowi dalam isu militer dan hubungan internasional, serta mengkapitalisasi isu-isu tersebut dengan cukup baik untuk membedakan keunggalan politiknya dibandingkan Jokowi.

Persoalannya adalah apakah hal tersebut akan efektif  dan mampu mengantarkan sang jenderal memenangkan kontestasi elektoral kali ini?

Menyerang Kelemahan Jokowi

Sun Tzu memang bukan tokoh sembarangan ketika menyebutkan bahwa menyerang kelemahan lawan adalah salah satu kunci kemenangan. Hidup di masa kekuasaan Dinasti Zhou, Sun Tzu menjadi jenderal militer dan ahli strategi di negara bagian Wu.

Terkenal karena karyanya yang berjudul The Art of War, pemikiran-pemikiran Sun Tzu di antaranya tertuang dalam istilah Zheng dan Qi sebagai variabel penentu hasil akhir peperangan.

Zheng adalah hal-hal yang ortodoks atau berhubungan dengan serangan statis kepada musuh, sementara Qi adalah hal-hal yang unorthodox atau berhubungan dengan pengalihan, permainan psikologis, atau serangan-serangan ke titik lemah lawan.

Menurutnya, dengan momentum yang tepat antara Zheng dan Qi, peperangan akan lebih mudah dimenangkan. Penggunaan Zheng dan Qi ini telah memenangkan banyak pemimpin, seperti Napoleon Bonaparte hingga Mao Zedong yang menggunakan pemikiran-pemikiran tersebut.

Strategi untuk menyerang titik lemah lawan memang menjadi hal yang intrinsik dari upaya tersebut. Dalam konteks politik jelang Pilpres 2019, menyerang titik lemah lawan ini dilakukan oleh Prabowo kepada Jokowi dalam debat keempat Pilpres.

Hal ini dapat terjadi karena Jokowi adalah presiden terlemah sepanjang sejarah negara ini setelah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) karena tidak memiliki rekam jejak militer dan bukan berasal dari kelompok elite partai politik – setidaknya demikian yang disebutkan oleh Jeffrey Winters dari Northwestern University.

Jokowi adalah seorang pengusaha mebel yang telah mendapatkan momentum politiknya ketika maju menjadi Wali Kota Solo, kemudian Gubernur DKI Jakarta, dan akhirnya Presiden RI. Namun, ia dianggap lemah dalam konteks hubungan sipil dan militer karena tak punya rekam jejak militer.

Hal ini mau tidak mau membuatnya membangun hubungan yang cenderung setara dengan militer, terutama dengan Angkatan Darat sebagai matra paling dominan di TNI. Strategi Jokowi ini salah satunya diungkapkan oleh Profesor Vedi Hadiz dari Murdoch University, Australia.

Jokowi memang terlihat menggunakan militer untuk memperkuat posisi politiknya di hadapan banyak patron politik serta oligarki lama seperti Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, A.M. Hendropriyono, Wiranto, dan lain sebagainya. Artinya, hubungan Jokowi dan militer memang ada pada tataran yang cenderung setara karena ia butuh entitas tersebut untuk memperkuat posisi politik kekuasaannya.

Hal ini tentu berbeda dengan Prabowo yang bisa menerapkan relasi top down dengan institusi tersebut berbekal rekam jejaknya dan pengetahuannya. Jokowi misalnya tentu hanya akan menerima segala informasi tentang militer dari pucuk kekuasaan tertinggi tanpa bisa berbuat banyak.

Ia tidak bisa – katakanlah – marah-marah pada petinggi militer seperti yang dilakukannya pada bawahan-bawahannya di kementerian atau lembaga lain. Apalagi, “political power grows out of the barrel of a gun”, demikian kata-kata Mao Zedong. Militer adalah faksi yang punya senjata, dan dengan demikian mereka adalah sumber kekuasaan politik yang sesungguhnya.

Jika terlalu kritis atau “mengganggu kepentingan”, simbiosis mutualisme yang terjadi bisa saja ikut terganggu dan mempengaruhi posisi politik Jokowi di hadapan patron-patron politik di sekitaran kekuasaannya. Beberapa pihak bahkan menyebutkan bahwa jika hubungan dengan militer tidak baik, Jokowi bisa saja jatuh dari kekuasaannya saat Aksi 212 terjadi pada 2016 lalu. (Baca: Jurus Hatrick Jusuf Kalla)

Pertaruhan Jelang Pemungutan Suara

Pada titik inilah Prabowo secara jeli memanfaatkan persoalan tersebut sebagai serangan dalam debat. Berbekal pengetahuan yang lebih banyak tentang militer, ia dengan mudah “menjebak” Jokowi.

Ia menyinggung hal-hal seperti budaya “Asal Bapak Senang” di militer, pengetahuan tentang peluru kendali, radar, hingga anggaran yang semuanya secara spesifik jauh lebih dipahaminya untuk menunjuk kelemahan Jokowi dalam konteks militer tersebut.

Serangan ini nyatanya cukup efektif. Para pengamat bahasa tubuh menyebut Jokowi terlihat grogi ketika membahas persoalan seputar militer. Ini sekaligus membenarkan bahwa soal militer adalah kelemahan utama Jokowi.

Demikian pun yang terjadi dalam isu hubungan internasional, di mana pemahaman Prabowo yang cenderung melihat isu tersebut sebagai hal yang konfliktual membuat gagasannya tentang pertahanan keamanan negara terlihat jauh lebih matang dan utuh. Ia juga mampu mengedepankan konteks kebanggaan nasional ketika berbicara tentang kekuatan nasional.

Sementara Jokowi masih bertahan dengan pemahaman konteks hubungan internasional dalam tataran normatif lewat kerja sama di forum-forum internasional semata.

Artinya, jelas bahwa Prabowo melakukan strategi serangan di titik lemah seperti yang diungkapkan oleh Sun Tzu. Isu militer adalah hal yang vital untuk presiden berlatar belakang sipil seperti Jokowi. Demikian pun dengan isu hubungan internasional yang belakangan juga kerap mendatangkan kritik.

Persoalannya adalah tinggal bagaimana Prabowo mempertahankan momentum tersebut hingga ke hari pemungutan suara. Jika mampu menjaga momentum keunggulan ini, sangat mungkin sang jenderal bisa menggalang lebih banyak pemilih kritis yang memang melihat debat sebagai ajang untuk menentukan pilihan mereka.

Pada akhirnya, Pemilu itu memang  seperti permainan game. Ketika sampai ke level tertinggi dan harus melawan musuh utama yang seolah tak terkalahkan, hal yang harus dilakukan adalah menyerang di titik lemahnya.

Sun Tzu telah menyebutnya, Ali Khomeini telah menegaskannya, dan Prabowo telah melaksanakannya. Tinggal pembenaran atas teorema tersebut yang akan dibuktikan pada 17 April mendatang. Menarik untuk ditunggu. (S13)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.