Tren Pilkada dengan calon tunggal diprediksi akan berlanjut. Fenomena ini diduga berkaitan erat dengan tidak bekerjanya mesin parpol dalam mencetak kader berkualitas.
PinterPolitik.com
[dropcap]U[/dropcap]u Ruzhanul Ulum tidak terbendung. Pada Pilkada Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, 2015 lalu, ia berhasil memenangi pemilihan tanpa perlawanan sengit. Bukan karena kandidat lawannya yang terlalu lemah, tetapi ia menang tanpa adanya kompetitor. Ia adalah calon bupati tunggal pada pilkada tersebut.
Fenomena serupa ternyata berlanjut. Haryanto sebagai petahana melenggang mulus menjadi Bupati Pati, Jawa Tengah, pada Pilkada 2017. Berpasangan dengan Saiful Arifin, mereka menjadi satu-satunya pasangan yang tersedia. Jabatan bupati dengan mudah pun, ia rengkuh karena hanya berhadapan dengan ‘kotak kosong’.
Di tengah gempita dan persaingan sengit Pilkada, ternyata ada sejumlah daerah yang menggelar hanya dengan satu pasangan calon saja. Dari dua Pilkada terakhir, fenomena ini secara tren mengalami kenaikan.
Pilkada dengan calon tunggal adalah sebuah fenomena yang mengherankan. Di tengah sistem multipartai, seharusnya negeri ini tidak kekurangan kandidat mumpuni untuk menjadi kepala daerah. Kader-kader partai yang biasanya gemar berebut kuasa, justru terkesan enggan bertarung pada Pilkada. Mengapa fenomena seperti ini dapat terjadi?
Tren yang Tengah Menanjak
Pilkada yang diikuti oleh satu pasangan calon saja dimungkinkan secara hukum. Hal ini terjadi pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2015. Kala itu, KPU tengah dipusingkan dengan beberapa daerah yang terancam menggelar Pilkada dengan calon tunggal.
Aturan yang ada saat itu adalah UU Pilkada No. 8 tahun 2015. Pada UU tersebut disebutkan bahwa Pilkada baru dapat dijalankan jika ada minimal dua pasangan calon. MK berpandangan, ada kekosongan hukum akibat UU tersebut. Oleh karena itu, MK memutuskan bahwa Pilkada dapat digelar meski hanya dengan calon tunggal. Ini dimanifestasikan ke dalam UU No. 10 tahun 2016.
Pasca putusan tersebut, kebuntuan yang melanda sejumlah daerah akhirnya terpecahkan. Pada tahun 2015, ada tiga daerah yang menggelar Pilkada dengan calon tunggal. Calon-calon tersebut dapat melenggang ke kursi kepala daerah dengan mulus.
Kemunculan calon tunggal berlanjut di Pilkada serentak 2017. Di tahun ini, angkanya bahkan meningkat hingga tiga kali lipat dibanding tahun 2015. Ada total sembilan pasangan calon yang melaju tanpa kandidat penanding pada pesta demokrasi di tahun tersebut.
Diprediksi, fenomena ini akan berulang pada Pilkada Serentak 2018. Jika melihat pola dan tren yang ada, grafik angka Pilkada dengan satu pasangan calon bisa saja kembali menanjak. Hal ini terutama jika melihat fakta bahwa 90 persen petahana akan kembali melaju pada gelaran politik lokal tahun ini.
Fenomena ini sebenarnya cukup menarik. Pemilihan kepala daerah juga terjadi di negara-negara lain. Inggris adalah salah satu negara yang membuka peluang bagi calon tunggal untuk dipilih dalam pemilu tingkat lokal. Akan tetapi, kondisi ini umumnya terjadi di area yang profil demografinya cenderung kecil.
Pada Pilkada tahun 2015, wilayah yang menempatkan satu calon pasangan terjadi di Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Timor Tengah Utara, dan juga Kabupaten Blitar. Di atas kertas, Tasikmalaya dan Blitar bukanlah wilayah dengan penduduk sedikit. Kedua wilayah tersebut memiliki jumlah penduduk di atas satu juta.
Idealnya, tidak sulit untuk menemukan setidaknya satu pasangan saja untuk melawan kandidat petahana di kedua daerah tersebut. Selain itu, jumlah penduduk di atas satu juta juga berpotensi memberikan keuntungan pada pelaksanaan Pemilu jika kepala daerah dipegang kader parpol. Akan tetapi, kenyataannya Pilkada justru berlangsung dengan calon tunggal.
Kondisi serupa terjadi pada tahun 2017. Beberapa daerah yang menggelar Pilkada dengan calon tunggal justru adalah kabupaten/kota dengan jumlah penduduk tinggi atau wilayah yang strategis untuk meraup suara pada Pemilu.
Kota Jayapura di Papua dan Kota Sorong di Papua Barat misalnya, merupakan daerah yang strategis jika ingin meraup suara. Keduanya menduduki posisi tertinggi dalam jumlah penduduk di provinsi masing-masing. Akan tetapi, Pilkada di kedua kota tersebut justru diikuti oleh calon tunggal.
Ini menjadi anomali bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Di tengah penduduk yang tinggi dan sistem multipartai justru terjadi kegagalan dalam menghadirkan kompetisi politik dari kader-kader berkualitas. Idealnya, parpol berani mengusung calon di daerah potensial tersebut.
Calon Tunggal yang Tak Tertanding
Jika dilihat dari pola, Pilkada yang dihelat dengan hanya satu kandidat saja umumnya diikuti oleh petahana. Kandidat ini umumnya memiliki modal popularitas dan elektabilitas yang amat tinggi. Petahana-petahana tersebut kerapkali unggul telak pada berbagai survei jelang Pilkada.
Popularitas petahana yang demikian tinggi membuat posisinya sulit dijungkalkan. Di atas kertas, petahana-petahana tersebut akan menang mudah melawan kandidat manapun. Disinyalir inilah yang membuat kandidat lain enggan mendaftar dan bertarung melawan mereka.
Umumnya basis dukungan publik begitu kuat bagi petahana tersebut. Dukungan publik cenderung mengarah kepada satu nama saja. Akan bertambah sulit lagi jika petahana tersebut memiliki segudang prestasi atau jarang diterpa isu miring.
Pilkada Calon Tunggal 2017 Akan Pakai Surat Suara Baru https://t.co/gLNLd35kN0 @juriardiantoro @ferryfkr @robie2u @K_Setyawan pic.twitter.com/ZLQKfQLaPg
— KPU RI (@KPU_ID) October 23, 2016
Parpol-parpol juga memperhitungkan kondisi tersebut. Ketimbang berjudi lalu babak belur dengan kandidat baru, mereka cenderung lebih senang mendukung calon yang lebih populer. Oleh karena itu, banyak parpol yang akhirnya bersekutu mendukung petahana yang menjadi calon tunggal atau tidak mendukung kandidat manapun.
Kondisi ini menjadi penanda bahwa mesin partai tidak berjalan dengan baik. Kaderisasi parpol tidak berhasil memunculkan nama-nama baru yang dapat menyaingi kandidat petahana. Dalam konteks ini, parpol gagal menghasilkan kandidat mumpuni dengan popularitas setara dengan petahana.
Disinyalir, Pilkada yang dilaksakanakan secara serentak memiliki pengaruh pada kondisi ini. Parpol tidak siap dengan pilkada yang dihelat berbarengan sehingga kelimpungan mencari calon. Salah satu solusi paling instan adalah mendukung kandidat dengan popularitas paling tinggi.
Kondisi ini merupakan ironi. Di sistem multipartai, seharusnya terjadi surplus kandidat berkualitas yang mewakili parpol masing-masing. Akan tetapi, parpol-parpol justru bermain aman dan tidak mendorong kader untuk melaju di Pilkada.
Selain kesulitan menandingi kandidat yang lebih kuat, Pilkada dengan satu pasangan calon juga dimungkinkan terjadi akibat biaya politik yang tinggi. Sudah bukan rahasia kalau parpol kerap meminta mahar kepada calon, agar dapat diusung dalam pemilihan umum. Hal ini dapat mengganjal suatu kandidat mendaftar ke parpol untuk mengikuti Pilkada.
Selain itu, rumitnya persyaratan juga menjadi salah satu pemicu kondisi ini. Hal ini terutama berlaku pada calon yang akan menempuh jalur perseorangan. Persyaratan dukungan minimal KTP kerapkali menjadi sandungan bagi mereka, sehingga niat untuk melaju di Pilkada pun diurungkan.
Masa Depan di Tangan Calon Tunggal
Meski menjadi solusi bagi kebuntuan yang ada, Pilkada dengan calon tunggal dapat menjadi sinyal bahaya bagi pelaksanaan demokrasi di negeri ini. Salah satu yang paling dirugikan adalah partai politik.
Kaderisasi di internal parpol akan mengalami gangguan berat akibat fenomena ini. Parpol akan memilih calon yang lebih mudah menang ketimbang mengusung calon dari rahim sendiri. Akibatnya, tidak ada kader-kader baru yang mumpuni untuk membangun suatu daerah.
Mekanisme internal di dalam parpol jadi mandek jika fenomena ini terus berlanjut. Proses rekrutmen dan kaderisasi politik sebagai fungsi parpol tercederai akibat kondisi ini. Lama-lama, parpol bisa saja tidak perlu lagi merekrut kader secara berjenjang karena lebih memilih kandidat populer
Calon tunggal bukan pilihan ideal. Tapi menciptakan calon boneka hanya agar tdk ada calon tunggal adalah lebih buruk. https://t.co/XlMIkCz05f
— Titi Anggraini (@titianggraini) May 29, 2017
Publik secara luas juga mengalami kerugian akibat fenomena ini. Masyarakat tidak disuguhkan alternatif untuk mengukur dan membandingkan suatu pasangan calon. Akibatnya, calon petahana tidak perlu menunjukkan narasi atau program yang inovatif. Tidak adanya pembanding membuat program apapun saat kampanye akan ditelan publik mentah-mentah.
Jika berlangsung jangka panjang, Pilkada dengan calon tunggal juga bisa saja menurunkan angka pemilih. Minimnya opsi dapat membuat masyarakat enggan pergi ke bilik suara. Apatisme pada politik bisa saja muncul akibat calon tunggal ini.
Masyarakat juga dirugikan karena ada kemungkinan kekuasaan akan dipegang oleh segelintir elit saja. Kekuasaan berpotensi hanya berputar di antara kepala daerah dan parpol pendukung saja. Hal ini tambah berbahaya jika ada transaksi antara kepala daerah dengan parpol. Ada potensi isu publik akan dikesampingkan untuk memuluskan kepentingan parpol terlebih dahulu.
Indonesia punya PR besar soal calon tunggal trutama sosialisasi & pdidikan pemilih ttg pilihan2 yg tetap mrk punya.
— Perludem (@perludem) February 22, 2017
Jangan lupakan pula sistem check and balances pada calon tunggal yang didukung banyak parpol. Tidak ada oposisi membuat posisi kepala daerah terlampau kuat. Segala kebijakan kepala daerah bisa saja dengan mudah disetujui tanpa kritik. Hal ini dapat membuat kualitas kebijakan yang dinikmati publik tergolong rendah. Kondisi lebih buruk seperti korupsi juga bisa saja terjadi jika pengawasan berjalan dengan buruk.
Pilkada dengan calon tunggal memang tidak selamanya buruk. Akan tetapi, demi masa depan demokrasi, fenomena ini perlu dikikis secara perlahan. Hal ini sendiri baik bagi parpol untuk meningkatkan kelembagaan partai. Idealnya, parpol melakukan kaderisasi secara maksimal agar publik disuguhkan alternatif dan perang isu yang baik. Kompetisi sehat berbasis wacana juga tentunya dapat membantu masyarakat mendapatkan kepala daerah dengan kualitas yang mumpuni. (H33)