Site icon PinterPolitik.com

Sulitnya Menebak Jokowi

Sulitnya Menebak Jokowi

Presiden Joko Widodo. (Foto: mediakepri)

Presiden Jokowi kerap disebut sebagai boneka, khususnya oleh para oposisi. Namun di periode keduanya, Jokowi justru menunjukkan diri sebagai magnet politik. Apakah mantan Wali Kota Solo ini telah bermetamorfosis dari wayang menjadi dalang politik?


PinterPolitik.com

“Be unpredictable, be real, be interesting. Tell a good story.” – James Dashner, penulis Amerika Serikat

Siapa yang bisa menebak seorang Joko Widodo (Jokowi) akan menjadi Presiden RI? Itu menjadi salah satu topik pembicaraan hangat ketika mantan Wali Kota Solo itu berhasil mengalahkan Prabowo Subianto pada Pilpres 2014 lalu. Bukan tanpa alasan kuat, Jokowi menampilkan gestur yang benar-benar berbeda dari elite politik kebanyakan.

Ia tidak terlihat garang, gagah, ataupun menggunakan bahasa-bahasa tegas seperti layaknya kebanyakan elite. Jokowi tampil sebagai pendobrak. Ia mendisrupsi gestur politik yang selama ini dibaca publik. “Dia (Jokowi) antitesa dari Presiden Yudhoyono,” ungkap Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute, Hanta Yuda pada Juni 2013.

Tidak hanya masyarakat luas, berbagai akademisi politik juga memberi perhatian khusus kepada Jokowi. Salah satu Indonesianis paling terkenal saat ini, Jeffrey Winters, bahkan menyebut Jokowi sebagai Presiden terlemah secara politik sejak Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Ini tentu masuk akal menimbang pada status Jokowi yang bukan elite partai, militer, maupun oligarki Orde Baru.

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri bahkan berulang kali menyebut kata petugas partai. Suka atau tidak, ini jelas merupakan bahasa politik. Kendati Jokowi adalah Presiden, tengah dicoba untuk ditegaskan bahwa secara hierarkis politik ia berada di bawah partai.

Diksi petugas partai tersebut dapat ditarik pada proses terpilihnya Jokowi sebagai kandidat PDIP. Menurut Leo Suryadinata dalam tulisannya Golkar’s Leadership and the Indonesian President, berbagai petinggi PDIP sebenarnya tidak begitu menyukai Jokowi pada 2014. Namun Megawati tetap mengusungnya karena elektabilitasnya yang tinggi. 

Menurut Suryadinata, Jokowi sadar bahwa dirinya tidak disukai oleh PDIP. Oleh karenanya, mantan Wali Kota Solo ini mulai membangun relasi yang baik dengan partai besar lain, seperti Partai Golkar. 

Konteks yang disebutkan Suryadinata sangatlah menarik. Merujuk pada manuver Jokowi mendekati partai besar lainnya, hingga pernyataan berulang Megawati soal “petugas partai”, bukankah itu menunjukkan Jokowi tidak membiarkan dirinya menjadi “wayang politik”? 

Dalang atau Wayang?

Bagi yang mengikuti pemberitaan politik nasional, pasti tidak asing dengan pernyataan “Jokowi adalah boneka”. Berbagai pihak, khususnya oposisi menilai Jokowi hanyalah wayang yang dimainkan oleh elite-elite partai di belakangnya.  

Dalam literatur politik, itu disebut dengan puppet leader atau pemimpin boneka. Dennis R. Young dalam tulisannya Puppet Leadership: An Essay in honor of Gabor Hegyesi, menjelaskan puppet leader memiliki dua elemen fundamental. 

Pertama, terdapat penarik tali (string-pullers), yakni kelompok atau individu kuat yang mengontrol tindakan dan keputusan pemimpin tanpa dianggap melakukannya. Kita kerap menyebut mereka sebagai oligarki. Kedua, kandidat puppet leader bersedia untuk berkompromi di bawah kondisi tersebut jika nantinya terpilih. 

Menurut Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy and Democracy in Indonesia, kemenangan Jokowi di Pilgub DKI Jakarta 2012 tidak mungkin terjadi tanpa oligarki Prabowo Subianto dan adiknya yang kaya raya, Hashim Djojohadikusumo. 

Ada peran besar Partai Gerindra di balik kemenangan tersebut. Mengutip Ross Tapsell dalam bukunya Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution, Gerindra telah menghabiskan biaya besar untuk iklan dan kampanye politik Jokowi di televisi.

Menurut Winters, tanpa adanya oligarki, potensi Jokowi untuk menjadi kandidat tidak mungkin teraktualisasi. Indonesianis lainnya, seperti Vedi Hadiz dan Richard Robison, juga menyebutkan bahwa Jokowi “terpaksa” bersekutu dengan berbagai kelompok oligarki Orde Baru agar dapat menang menjadi Presiden. 

Atas anasir-anasir tersebut, tidak heran kemudian label boneka kerap disematkan ke Jokowi. Namun yang menjadi pertanyaan, Jokowi justru tidak menunjukkan dirinya dikontrol. Yang lebih mengagumkan lagi, di periode kedua ini, Jokowi bahkan terlihat menjadi magnet kekuatan politik.

Pada Pilkada 2020, misalnya, seolah mengabaikan persepsi publik atas politik dinasti, Jokowi mendukung anaknya Gibran Rakabuming Raka maju di Pilwalkot Solo, dan menantunya Bobby Nasution di Pilwalkot Medan. Hebatnya lagi, hampir semua partai politik mendukung pencalonan keduanya. PDIP yang awalnya menolak sampai dibuat mengalah dan mendukung Gibran meneruskan jejak sang ayah sebagai Wali Kota Solo. 

Kemudian saat ini, berbagai petinggi partai mengeluarkan dukungan untuk memperpanjang jabatan Jokowi. Setelah narasi dukungan tiga periode terlihat kandas, saat ini diserukan penundaan Pemilu 2024. Pertanyaannya, tidak seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengalami kutukan periode kedua, mengapa Jokowi justru terlihat semakin kuat di periode keduanya menjadi Presiden?

Variabel-variabel ini kemudian membuat kita merenung, apakah Jokowi adalah wayang atau dalang politik? Jika ia adalah wayang atau petugas partai, mengapa justru PDIP dan partai besar lainnya terlihat mengikuti arus Jokowi, bukan sebaliknya?

Lantas, apakah Jokowi telah berubah? Apakah sekarang ia merupakan dalang politik, bukan lagi wayang politik?

The Unpredictable?

Jika benar Jokowi telah mengalami metamorfosis, dari wayang menjadi dalang politik, ini membuat kita teringat pada tulisan Kishore Mahbubani yang berjudul The Genius of Jokowi. Di dalamnya, Mahbubani memberikan sanjungan yang tinggi kepada Jokowi karena kehebatannya dalam memimpin.

Yang paling menarik, Mahbubani membandingkan pemerintahan Jokowi dengan pemerintahan Joe Biden di Amerika Serikat (AS). Berbeda dengan pemerintahan Biden yang belum mendapat pengakuan dominan di Partai Republik, pemerintahan Jokowi justru berhasil menggandeng saingan beratnya, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno masuk ke dalam pemerintahan.

Menurut Mahbubani, sebanyak 78 persen Republikan belum mengakui legitimasi kemenangan Biden. Sementara Jokowi, saat ini berhasil membangun koalisi terbesar sejak Reformasi. Singkatnya, mungkin tepat pemilihan judul yang dilakukan Mahbubani, Jokowi adalah politisi jenius. Ia mampu mengubah keadaan dari yang sebelumnya dipandang remeh, menjadi terlihat kuat dan disegani. 

Menurut pengamatan berbagai pihak, tidak seperti di periode pertamanya, Jokowi memang terlihat sangat percaya diri saat ini. Evan A. Laksmana dalam tulisannya Civil-Military Relations under Jokowi: Between Military Corporate Interests and Presidential Handholding, misanya, melihat perubahan ini dalam kemampuan Jokowi membangun hubungan dengan militer. Menurutnya, tidak seperti periode pertama, di mana Jokowi mengandalkan purnawirawan TNI berpengaruh seperti Luhut dan Moeldoko, saat ini Jokowi percaya diri pada kemampuannya dalam berhubungan dengan militer.

Jika benar demikian, ini jelas sangat tidak terduga. Benar-benar sulit ditebak. Seorang yang bukan bagian dari elite partai, militer, dan oligarki Orde Baru justru tengah menjadi magnet kutub politik. Dukungan politik Jokowi bahkan sangat dicari saat ini oleh berbagai partai dan kandidat yang ingin maju di Pilpres 2024.

Jika boleh sedikit memberi usul, Mahbubani mungkin perlu mengganti judul tulisannya. Tidak menggunakan kata genius, melainkan unpredictable. Judulnya menjadi The unpredictable Jokowi.

Well, sebagai penutup, seperti pandangan Marcus Mietzner dalam bukunya Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia, Jokowi adalah simbol sekaligus fenomena kebangkitan kekuatan politik. Sosok yang bukan dari oligarki ini mampu menjadi kekuatan baru dan memaksa oligarki untuk mendukungnya. Itu lah Jokowi, Presiden yang sulit ditebak. (R53)

Exit mobile version