Ketua Bappilu Partai Demokrat Andi Arief meminta Anas Urbaningrum untuk meminta maaf ke Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) usia bebas dari penjara. Merespons itu, keluarga dan simpatisan Anas justru menyebut SBY yang seharusnya meminta maaf ke Anas.
PinterPolitik.com
Sorotan kuat sedang ditujukan kepada Anas Urbaningrum. Kebebasannya dari penjara dinilai akan menjadi momok menakutkan bagi Partai Demokrat. Anas misalnya dapat dirangkul oleh kubu Moeldoko dalam upayanya untuk mengganti kekuasaan partai mercy.
Namun, diskursus akhir-akhir ini justru tidak berkutat soal “seperti apa manuver Anas?”, melainkan soal “siapa yang harus meminta maaf?”.
Ketua Bappilu Partai Demokrat Andi Arief menyarankan Anas untuk meminta maaf kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) setelah menghirup udara bebas.
“Sebagai sahabat saya menyarankan AU (Anas Urbaningrum) memilih meminta maaf terbuka kepada Bapak SBY dan seluruh kader Demokrat yang hampir karam saat dipimpinnya,” ungkap Andi pada 10 April 2023.
Merespons usulan Andi, keluarga dan simpatisan Anas justru menyebut SBY yang seharusnya minta maaf.
“Kami meyakini bahwa Mas Anas adalah korban dari kriminalisasi. Desainer utamanya Pak SBY. Keyakinan kami seperti itu. Jadi kami sarankan Andi Arief agar menyampaikan ke SBY, agar minta maaf kepada Mas Anas,” ungkap Wakil keluarga Anas dari Blitar, Anna Lutfi pada 10 April 2023.
Terlepas dari siapa yang seharusnya minta maaf, terdapat respons menarik dari warganet seputar diskursus “minta maaf” ini. Pada unggahan infografis PinterPolitik di Instagram, terdapat pandangan bahwa siapa yang meminta maaf akan mendapatkan citra positif dan keuntungan elektoral.
Lantas, tepatkah pandangan tersebut?
Politik Minta Maaf
Kendati pandangan itu berasal dari opini umum, dalam literatur ilmu politik, konteks “minta maaf” yang dilakukan oleh politisi sebenarnya sudah lama menjadi kajian penelitian yang serius.
Patricia O’Brien dalam tulisannya The Politics of Apology in the Pacific, misalnya, menjelaskan pentingnya “politik minta maaf” dalam konteks hubungan antarnegara. Menurut O’Brien, permintaan maaf secara formal merupakan pintu untuk membuka hubungan diplomasi antarnegara yang sebelumnya terlibat konflik.
O’Brien mencontohkan permintaan maaf mantan Perdana Menteri Selandia Baru Helen Clark kepada Samoa pada Juli 2012 lalu. Pada peringatan 40 tahun kemerdekaan Samoa dari negaranya itu, Clark dengan emosional menyampaikan permintaan maaf serta mengungkapkan kesedihan dan penyesalan atas ketidakadilan yang dialami Samoa ketika masih di bawah Selandia Baru.
Permintaan maaf Clark disambut hangat. Masyarakat Samoa menyambutnya dengan ritual pengampunan dan pertukaran hadiah, yakni toga, yang menjadi simbol pengaturan ulang hubungan kedua negara ke depannya.
Apa yang dijelaskan O’Brien sebenarnya tidak hanya terjadi pada diplomasi antarnegara, melainkan juga diplomasi domestik, baik antara politisi dengan masyarakat, maupun politisi dengan politisi. Ketika politisi sadar telah melakukan kesalahan, mereka perlu meminta maaf untuk memperbaiki hubungan yang retak.
Saher Khan dalam tulisannya How to navigate a political apology, menjelaskan terdapat berbagai macam bentuk strategi meminta maaf. Pertama adalah menyampaikan maaf secara formal. Politisi perlu melakukan konferensi pers agar permintaan maafnya dilihat secara umum.
Kedua, politisi perlu menunjukkan bahwa dirinya malu telah melakukan kesalahan. Gestur tersebut dapat menciptakan kesan positif di hadapan publik. Dan ketiga, politisi perlu melakukan perubahan tindakan. Misalnya dengan melanjutkan kebijakan yang mangkrak atau mengubah kebijakan yang menuai kontroversi.
Menurut Khan, permintaan maaf yang paripurna adalah gabungan dari ketiga strategi tersebut. Untuk meraup sentimen positif sebesar mungkin, politisi perlu melakukan permintaan maaf secara formal, menunjukkan rasa malu, dan memperbaiki tindakannya.
Kembali pada diskursus soal hubungan Anas dengan SBY, pandangan bahwa permintaan maaf dapat berbuah citra positif dan keuntungan elektoral dengan jelas terlihat pada pemaparan O’Brien dan Khan.
Namun, terdapat satu masalah fundamental dari pandangan itu. Apakah Anas atau SBY ingin melakukan rekonsiliasi atau memperbaiki hubungannya?
Sulit Dibayangkan
Menariknya, menurut Saher Khan, tidak selamanya politisi perlu meminta maaf. Terkadang, strategi yang perlu dilakukan adalah menghiraukan segala kritik yang ada. Ini disebut dengan the non-apology.
Jika melakukan permintaan maaf, itu menunjukkan bahwa sang politisi memang bersalah. Dengan menghiraukan kritik, politisi hendak menunjukkan bahwa ia tidak melakukan kesalahan dan membiarkan isu tersebut hilang dengan sendirinya.
Barbara Kellerman dalam tulisannya When Should a Leader Apologize—and When Not?, menyebutkan tidak selamanya permintaan maaf mendatangkan buah manis. Pada banyak kondisi, meminta maaf justru dapat menjadi ciuman kematian.
Menurut Kellerman, pengakuan politisi atau pemimpin atas kesalahan dapat merusak hingga menghancurkan kelompok atau organisasi yang menjadi tanggung jawab mereka. Pada situasi krisis atau skandal, reaksi naluriah para pemimpin umumnya adalah menyangkal, menyangkal lagi, dan kemudian membelokkannya ke arah lain.
Penjelasan Kellerman sekiranya yang paling relevan dalam menjelaskan situasi Anas dengan SBY saat ini. Jika salah satu diantaranya menyampaikan permintaan maaf, itu akan menjadi ciuman kematian yang menghancurkan reputasi mereka.
Situasi itu dengan jelas terlihat dari tiap kubu yang merasa benar dan merasa sebagai korban. Kubu SBY menyebut Anas bertanggungjawab merusak Partai Demokrat, sementara kubu Anas menyebut SBY mengkriminalisasinya.
Jika keluar ungkapan permintaan maaf, itu sama saja mengafirmasi tuduhan yang berseliweran selama ini. Benar-benar merupakan ciuman kematian.
Simpulan ini juga terlihat dari pemaparan Direktur Rumah Politik Indonesia, Fernando Ernesto Maraden Sitorus. Prediksinya, kubu Anas akan memainkan gaya “politik teraniaya” untuk meraih simpati publik.
“Upaya yang dibangun Anas dan para loyalis bahwa dia dikorbankan karena bertentangan dengan keinginan SBY mengenai posisi Ketum Partai Demokrat,” ungkap Fernando pada 11 April 2023.
Well, singkatnya, dengan menimbang secara holistik, pandangan bahwa siapa yang meminta maaf akan mendapatkan citra positif dan keuntungan elektoral dapat kita gugurkan.
Apa yang kita lihat ke depannya mungkin adalah politik saling menyalahkan dan merasa yang paling teraniaya seperti prediksi Fernando. (R53)