Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) disarankan menggandeng sosok populer seperti Susi Pudjiastuti untuk mendongkrak elektabilitasnya. Namun, mungkinkah Susi yang tidak terafiliasi parpol dan sosoknya yang dikenal sukar berkompromi justru akan menjadi hambatan bagi AHY jika nantinya benar-benar berduet?
Pada 2024 nanti, kita mungkin akan disuguhkan pemandangan terkait perpindahan partai politik (parpol) yang berkuasa. Setidaknya menurut Vilfredo Pareto, sirkulasi elite atau pergantian elite yang berkuasa adalah fenomena yang niscaya terjadi.
Dominasi Partai Demokrat selama 10 tahun, misalnya, nyatanya digantikan oleh PDIP yang setia menjadi oposisi sejak 2004. Tidak hanya tergantikan, perolehan suara partai mercedes juga mengalami penurunan drastis pada Pemilu 2014.
Pada Pemilu 2009, partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini meraih 20,85 persen. Namun, pada 2014 jumlahnya hanya mencapai 9,43 persen – selisih 11 persen.
Jika mengacu pada Pareto, ada kemungkinan posisi PDIP akan tergantikan di 2024 nanti, seperti halnya yang terjadi pada Demokrat di 2014 lalu. Namun, asumsi ini tampaknya mendapatkan banyak kritik menimbang pada perbedaan situasi kedua partai.
Pasalnya, faktor yang membuat Demokrat merosot selain faktor korupsi dan berpindahnya pemilih Nahdlatul Ulama (NU) ke PKB, juga karena telatnya terjadi regenerasi kepemimpinan. Ini kontras dengan PDIP yang disebut-sebut telah menyiapkan deretan nama untuk menjadi kandidat di 2024. Sebut saja Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Menteri Sosial Tri Rismaharini.
Akan tetapi, terdapat celah yang dapat dimanfaatkan Demokrat saat ini, yakni sentimen minor publik terhadap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Dengan berlabuhnya Sandiaga Uno menjadi menteri, berbagai pengamat menilai, mereka yang kecewa dengan keputusan Sandi mungkin akan menjadikan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai salah satu pilihan alternatif.
Baca Juga: 2024, PKS Gantikan PDIP?
Konteks tersebut memang tidak terlepas dari konsistensi Demokrat, PKS, dan PAN berada di luar pemerintahan. Namun, menimbang pada sikap mendua PAN, dan PKS yang belum memiliki sosok populer, AHY bersama Demokrat tampaknya memiliki keuntungan tersendiri.
Meski demikian, elektabilitas yang masih rendah, serta belum teruji sebagai pejabat publik dinilai sebagai faktor yang membuat jalan AHY masih sulit untuk menatap Pilpres 2024. Oleh karenanya, berbagai pengamat mengusulkan agar putra SBY tersebut menggandeng sosok populer, seperti Susi Pudjiastuti untuk mendongkrak elektabilitas dan popularitasnya.
Lantas, apakah menggandeng Susi adalah pilihan yang tepat bagi AHY?
Hambatan yang Mungkin Ada
Bersama dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan presenter Najwa Shihab, popularitas Susi telah menempatkannya sebagai salah satu perempuan paling dikagumi di Indonesia. Setidaknya berdasarkan survei yang dilakukan oleh YouGov.co.uk – lembaga survei yang berbasis di London, Inggris.
Kendati begitu populer, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno tampaknya tidak begitu setuju dengan wacana AHY-Susi di 2024. Menurutnya, terdapat beberapa hambatan yang ada.
Pertama, popularitas Susi disebut hanya besar di media sosial (medsos), sementara di level grassroots (akar rumput), nama Susi belum begitu dikenal. Kedua, dan yang terpenting, Susi tidak memiliki back up parpol.
Pada alasan pertama, kita dapat melihat pembuktian empirisnya pada kasus eks politisi PAN, Faldo Maldini. Politikus muda yang sekarang berseragam PSI ini mendapatkan momentum yang luar biasa pada Pilpres 2019 lalu. Tidak tanggung-tanggung, Ia bahkan menjadi salah satu juru bicara (jubir) Prabowo-Sandi.
Jelas saja, banyak pihak yang menilai karier Faldo sebagai politisi akan moncer seterusnya. Namun, fakta berkata lain. Popularitas mantan Ketua BEM Universitas Indonesia (UI) tersebut tidak mampu membuatnya terpilih ke Senayan menjadi anggota DPR RI. Suka atau tidak, itu adalah indikasi kuat bahwa Faldo belum memiliki basis suara di akar rumput.
Menariknya, alih-alih melakukan evaluasi dengan memperkuat akar rumput, Faldo justru memilih maju di Pilkada Sumatera Barat (Sumbar). Kelanjutannya? Kita semua tahu, Ketua DPW PSI Sumbar itu gagal menjadi kandidat karena tidak mendapat dukungan parpol yang cukup.
Persoalan popularitas di medsos yang tidak berbanding lurus dengan di akar rumput dapat kita refleksikan melalui tulisan Kalev Leetaru yang berjudul Does Social Media Actually Reflect Reality?. Menurutnya, saat ini medsos telah menjadi sumber data dominan yang digunakan pemerintah, korporasi, dan akademisi untuk melakukan studi-studi sosial.
Baca Juga: Edhy Prabowo Lawan Warisan Susi?
Di sini, Leetaru memberikan pertanyaan kritis yang begitu penting, yakni seberapa akurat data dari medsos dapat diandalkan? Senior Fellow di George Washington University ini misalnya membuktikan persoalan tersebut ketika mengkritisi pemaparan data mengenai pandangan penduduk Suriah di seluruh negeri.
Pada kesempatan itu, Leetaru memberi pertanyaan penting, darimana data tersebut didapatkan? Jawabannya adalah, dengan mengumpulkan puluhan miliar unggahan medsos berbahasa Inggris yang berisi kata-kata emosional tertentu dan juga diberi tag GPS.
Persoalannya adalah, saat itu hanya sedikit unggahan medsos yang diberi tag GPS di Suriah, dan sebagian besar menggunakan dialek Arab lokal daripada bahasa Inggris. Ini kemudian menunjukkan bahwa hanya sedikit data yang didapatkan dari dalam Suriah.
Selain itu, ada pula persoalan hiperrealitas dari Jean Baudrillard yang membantu kita memahami bahwa masifnya terpaan teknologi komunikasi telah membuat masyarakat kontemporer kesulitan dalam menentukan mana realitas dengan mana yang merupakan pencitraan media.
Kemudian pada persoalan kedua. Ini sekiranya jelas, Demokrat yang hanya memeroleh 7,77 persen suara di Pemilu 2019 membutuhkan dukungan parpol lain agar dapat memenuhi Presidential Threshold 20 persen. Ini membuat “PR” AHY bertambah karena harus meyakinkan parpol lain untuk tidak mencalonkan kadernya agar Susi dapat maju.
Kultur Politik yang Mengakar
Peliknya, tidak hanya dua persoalan tersebut yang membuat AHY akan menemui jalan terjal untuk menggandeng Susi. Pasalnya, dari aspek kultur politik, Susi bukanlah sosok ideal untuk menjadi kandidat.
Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam buku Democracy for Sale: Pemilu, Klientelisme, dan Negara di Indonesia menegaskan postulat penting terkait kultur politik di Indonesia. Kendati tidak menyebut kultur klientelisme atau praktik lelang jabatan terjadi di semua tempat dan waktu, Aspinall dan Berenschot menegaskan bahwa kultur transaksi tersebut memang memiliki akar yang kuat di politik Indonesia.
Menariknya, Aspinall dan Berenschot melihat ada perbedaan antara praktik klientelisme di Indonesia dengan di negara lain, seperti Amerika Serikat, India, Argentina, Meksiko, ataupun Brasil. Berbeda dengan negara-negara tersebut, di mana parpol merupakan perantara (intermediary) utama dalam politik klientelisme, di Indonesia hubungan politisi dengan partainya yang sering kali rapuh, membuat aktor non-partai yang justru memiliki peranan vital dalam politik klientelisme.
Singkatnya, praktik klientelisme di Indonesia terjadi antara politisi dengan mereka yang memiliki kekuatan kapital, seperti para pengusaha. Dengan demikian, jika kultur klientelisme semacam itu juga terjadi sampai level Pilpres, maka presiden dan wakil presiden terpilih mestilah memiliki “hutang jasa” dengan para penyokong kapital.
Baca Juga: Susi Tak Mungkin Comeback?
Kultur semacam itu yang sekiranya menjadi ganjalan besar untuk mengusung Susi. Fabio Scarpello dalam tulisannya Research explains why Susi Pudjiastuti was left out of Jokowi’s second-term cabinet, menjelaskan postulat penting mengapa Susi begitu tidak cocok dengan kultur politik tersebut.
Dalam temuannya, Susi disebut sebagai sosok yang sulit berkompromi. Dalam kebijakan penenggelaman kapal ataupun pelarangan cantrang, misalnya, kendati sudah dilobi oleh pengusaha perikanan, politisi elite, bahkan terjadi demonstrasi penolakan dari nelayan, Susi nyatanya seolah bersikap “tak acuh” dan terus melanjutkan kebijakannya.
Dengan fakta mahalnya biaya politik, apalagi perhelatan Pilpres, sokongan dana dari pihak ketiga tampaknya menjadi hal yang sulit dihindari. Di konteks transaksi semacam itu, agaknya sulit membayangkan Susi harus berkompromi dengan para pemilik kapital jika nantinya benar-benar menjadi kandidat.
Pada akhirnya, ada tiga hal yang sepertinya menjadi ganjalan Susi dipilih sebagai pasangan AHY. Pertama adalah popularitasnya yang dinilai masih sebatas di medsos. Kedua adalah Susi yang tidak memiliki back up parpol. Ketiga adalah sifat Susi yang dikenal sulit berkompromi.
Meski demikian, peta Pilpres 2024 masih sangat cair sampai saat ini. Kita nantikan saja kelanjutannya dalam dua sampai tiga tahun mendatang. (R53)