HomeHeadlineSuksesor Prabowo, AHY vs Tiga Jenderal?

Suksesor Prabowo, AHY vs Tiga Jenderal?

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tampak cukup bersaing dengan tiga purnawirawan jenderal sebagai kandidat penerus Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Namun, di balik ingar bingar prediksi iitu, analisis proyeksi jabatan strategis seperti siapa Menhan RI berikutnya kiranya “sia-sia” belaka. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Setelah Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka diperkirakan menang satu putaran di PIlpres 2024, prediksi siapa yang akan mengisi pos-pos strategis dalam kabinet bermunculan. Utamanya, terkait siapa penerus Prabowo sebagai Menteri Pertahanan (Menhan).

Nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjadi salah satu yang muncul setelah Prabowo menemui Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Pacitan, Jawa Timur pada hari Sabtu, 17 Februari 2024 lalu.

Direktur Eksekutif Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno pun menyatakan analisis yang mengarah pada presumsi tersebut saat berkaca pada latar belakang AHY.

Namun, AHY yang pensiun dini dari dinas kemiliteran dengan pangkat mayor bukan satu-satunya yang diprediksi menjadi suksesor Prabowo.

pengganti mahfud ahy vs dudung

Tiga jenderal, yakni KSAD ke-33 Jenderal TNI (Purn.) Dudung Abdurachman, Wamenhan saat ini Letjen TNI (Purn.) M. Herindra, dan Wamenhan (2010-2014) Letjen TNI (Purn.) Sjafrie Sjamsoeddin menjadi pesaing AHY dalam bursa dan analisis.

Akan tetapi, di luar itu, analisis nama-nama Menhan RI penerus Prabowo kiranya akan serupa seperti prediksi mengenai siapa saja sosok menteri di kabinet dan pemerintahan sebelumnya.

Hal tersebut dikarenakan, siapa menjadi menteri apa terkadang menjadi tak terduga dan membuat analisis menjadi “sia-sia”.

Lalu, mengapa itu bisa terjadi?

Hakikat Pos Strategis

Dalam banyak kasus, analisis mengenai prediksi atas keputusan yang bersifat politik dianggap percuma. Proses dan perilaku para aktor politik yang sangat dinamis membuat keputusan strategis terkadang jauh di luar prediksi.

Begitu pula yang terjadi dengan prediksi penentuan menteri. Tak perlu jauh-jauh, Prabowo sebelumnya tak ada dalam meja analisis saat berbicara posisi Menhan di pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) 2019-2024.

Lobi politik Jokowi yang diterima Prabowo membuat semua analisis dan interpretasi para ahli pun buyar. Tak menutup kemungkinan, turut membuat kecewa kandidat Menhan lain yang sebelumnya diprediksi kuat menjadi penerus Ryamizard Ryacudu.

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Di titik ini, pemahaman mengenai mengapa analisis, khususnya dalam politik, terkadang dianggap sia-sia menjadi penting.

Tak dapat dipungkiri, keterbatasan kognisi manusia menjadi pangkal dari persoalan tersebut.

Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus: A Brief History of Tomorrow mengutip hasil penelitian Daniel Kahneman. Harari menjelaskan bahwa kemampuan kognisi manusia sesungguhnya begitu rapuh.

Demi mewujudkan solidaritas serta kebaikan bersama (good will), manusia dituntut menjadi organisme rasional. Itu membuat manusia selalu melakukan kalkulasi terbaik untuk menyelesaikan setiap persoalan.

Secara spesifik, Harari menyoroti insufisiensi kemampuan manusia dalam mengolah pengalaman yang dijadikan acuan dalam memberi penilaian dan membuat sebuah prediksi, analisis, hingga keputusan.

Dalam temuan Kahneman, kognisi manusia nyatanya memiliki kecenderungan untuk mereduksi pengalaman hanya menjadi awal dan akhir.

Hal ini lah yang membuat dalam beberapa kasus, prediksi, analisis, dan keputusan pihak ketiga mengenai dinamika politik yang begitu dinamis seolah menjadi sia-sia.

Selain itu, keputusan politik, termasuk mengenai jabatan strategis seperti Menhan, agaknya dikonklusikan oleh segelintir orang saja. Ihwal yang dapat dipahami melalui konsep smoke-filled room.

Istilah itu dipopulerkan sekitar abad ke-20. Pada masa itu, para politisi kerap berkumpul di ruangan yang dipenuhi asap cerutu untuk berdiskusi dan mengambil keputusan tentang masalah-masalah penting.

Smoke-filled room digunakan untuk menggambarkan situasi di mana politisi atau individu kuat berkumpul di ruang pribadi tertutup untuk membuat keputusan atau negosiasi penting tanpa intervensi tak perlu atau pengawasan publik.

Hal tersebut agaknya juga relevan untuk menggambarkan perumusan keputusan mengenai posisi dalam kabinet pemerintahan, seperti Menhan yang merupakan pilar triumvirat sebuah negara.

Akan tetapi, manusia mustahil berpikir dan berperilaku rasional setiap waktu. Selain lobi politik tingkat tinggi, kiranya terdapat momen di mana analisis dan interpretasi, baik rasional maupun irasional, yang terkadang turut menjadi pertimbangan para aktor pembuat keputusan.

Berbicara mengenai proyeksi Menhan penerus Prabowo dan saat sampai pada relevansi irasionalitas ini, kembali, AHY tampaknya sangat berpeluang untuk mengampu posisi tersebut.

ahy jadi cawapres atau menhan

AHY, Pembuktian Prabowo?

Saat dikalkulasi menggunakan algoritma yang mengacu pada proses politik 2019 lalu, AHY setidaknya di-endorse oleh dua entitas politik yang menariknya, berbeda haluan saat itu.

Baca juga :  Rahasia Rotasi Para Jenderal Prabowo

Adalah Hashim Djojohadikusumo selaku Direktur Media dan Komunikasi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, yang pada April 2019 menyebut bahwa kubunya mempertimbangkan AHY sebagai Menhan apabila porosnya menang.

Sebelumnya, pada pertengahan 2018, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PSI Raja Juli Antoni mengusulkan nama AHY untuk mengisi kursi Menhan kepada Presiden Jokowi jika kembali terpilih di 2019.

Mengenai latar belakang pendidikan dan kemiliteran, kendati hanya berpangkat mayor, AHY dapat dikatakan memiliki cukup bekal untuk mengampu jabatan politik di pemerintahan perdananya.

Dan saat dikritik karena tanda pangkatnya, preseden di Amerika Serikat (AS) kiranya dapat menjadi sampel sekaligus cerminan untuk membuka kultur baru di tata kelola pertahanan tanah air.

Ya, di tiga pemerintahan terakhir, AS sempat memiliki Secretary of Defense dengan pengalaman militer yang tak sampai jenderal.

Terdapat nama Mark Esper yang terakhir berpangkat letnan kolonel dan mengampu posisi Menhan di era Presiden Donald Trump. Lalu, Menhan era George W. Bush, yakni Donald Rumsfeld yang purna tugas dengan pangkat kapten.

Tak ketinggalan pula nama Charles Timothy  “Chuck” Hagel yang “hanya” bertitel pangkat sersan namun menjadi Secdev di administrasi kepresidenan Barack Obama.

Kendati demikian, kultur pertahanan dan militer Indonesia kiranya masih belum familiar dengan hal tersebut. “Senioritas” dan reputasi tampak masih dipegang mengingat dalam sejarahnya, belum pernah ada nonjenderal atau sosok sipil muda yang salah satu fungsinya adalah mengoordinir empat jenderal bintang empat aktif di Mabes TNI, TNI-AD, TNI-AL, dan TNI-AU.

Selain itu, seorang Menhan juga kerap dikatakan akan selalu dibayangi tarik menarik vested interest atau aktor eksternal (pihak ketiga) dengan kepentingan tertentu. Hal ini terjadi dalam konteks intervensi perumusan kebijakan pertahanan, terutama yang terkait belanja pertahanan.

Tapi, interpretasi dan kalkulasi bisa saja dibalik, saat AHY bukan tidak mungkin mampu untuk menjawab tantangan itu.

AHY pun bisa menjadi pembuktian pamungkas Prabowo mengenai komitmennya memberikan ruang bagi sosok muda, sebagaimana dirinya mempercayakan posisi cawapres kepada Gibran Rakabuming Raka. (J61)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?