Pekan ini sorot media tertuju pada dana hibah Pemprov DKI Jakarta. Dana ini diberikan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kepada partai politik di Jakarta. Seperti diketahui, Anies dalam tahap jelang masa akhir jabatan sebagai Gubernur DKI. Apakah yang dilakukan Anies merupakan usaha meletakkan warisan politik?
Pekan ini terdapat peristiwa menarik dari Balai Kota DKI Jakarta, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membagikan dana hibah kepada sepuluh partai politik untuk tahun anggaran 2021. Total dana hibah yang dianggarkan Pemprov DKI sebesar Rp 27,2 miliar.
Anies memberikan pernyataan dalam berbagai media, menyebutkan bahwa bantuan ini berasal dari warga Jakarta yang diamanatkan untuk partai politik di DKI Jakarta. Besaran dana hibah diberikan sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh masing-masing partai, dengan hitungan Rp 5.000 per suara.
Dana ini diberikan kepada seluruh parpol tidak terkecuali dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Terlihat banyak warganet menanggapi sinis karena telah lama terlihat PSI selalu bertentangan dengan kebijakan-kebijakan Anies.
Dengan adanya dana hibah ini, Anies mengharapkan pengelolaan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) atau Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) parpol di Jakarta dapat menjadi rujukan bagi DPD/DPW parpol di daerah lainnya.
Anies seolah ingin memberikan pesan kepada parpol agar dapat melakukan pengelolaan manajemen keuangan. Seperti yang kita tahu, maraknya kasus korupsi disebabkan oleh pengelolaan manajemen keuangan parpol yang buruk, sehingga muncul ketidakpercayaan publik tentang parpol yang punya stigma dekat dengan tindakan korupsi.
Narasi menarik lainnya, pemberian dana hibah kepada parpol dilekatkan dengan narasi bahwa Anies ingin meninggalkan warisan politik atau political legacy di akhir kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Lantas, seperti apa warisan politik dalam konteks politik kita?
Baca juga: Gabung Demo Buruh, Populisme ala Anies?
Memahami Political Legacy
Ekuslie Goestiandi dalam tulisannya Pola Pikir yang Menentukan Legacy Sang Pemimpin, mengatakan istilah legacy atau warisan selalu muncul saat seorang pemimpin akan mengakhiri masa jabatan kepemimpinannya.
Goestiandi mengandaikan saat seorang pemimpin politik akan berlalu dari tampuk kekuasaan, orang akan bertanya, “Apa legacy yang hendak ia tinggalkan selama periode kepemimpinannya?”. Karena dengan legacy, pemimpin akan dikenang oleh masyarakat yang dipimpinnya.
Kemudian, Goestiandi dengan mengutip kamus Merriam-Webster, mengartikan makna legacy dalam dua perspektif. Pertama, legacy sebagai uang atau harta fisik yang diwariskan kepada seseorang. Kedua, bersifat lebih luas, yakni legacy sebagai sesuatu yang dialihkan oleh generasi pendahulu kepada generasi berikutnya. Dalam konteks ini, legacy terutama dilihat sebagai sebuah sifat ataupun kondisi yang diwariskan.
Dalam perspektif yang lain, kita juga dapat melihat legacy sebagai upaya alamiah manusia. Dalam artian, bahwa manusia dalam menjalani hidup punya kecenderungan untuk membuat sebuah legacy. Hal ini tidak luput dari karakter pemimpin yang juga punya tuntutan tersebut.
Stephen Covey dalam bukunya The 8th Habit: Melampaui Efektivitas Menggapai Keagungan, mengatakan bahwa secara alami, manusia memiliki empat dorongan dalam kehidupan, yaitu to live (hidup), to learn (belajar), to love (mencintai), dan yang terakhir, to leave a legacy (meninggalkan warisan).
Niat untuk meninggalkan legacy itulah yang seringkali membuat seseorang, khususnya para pemimpin, berlomba-lomba melakukan inovasi dan kebijakan yang menjadi sorotan banyak orang. Jika bisa, secepat dan sebanyak mungkin, agar masyarakat semakin paham akan legacy yang ditinggalkannya. Semakin cepat kebijakan itu dilakukan, semakin naik nama baik seorang pemimpin.
Denny JA dalam bukunya Membangun Legacy, mengajukan sebuah tesis bahwa puncak menjadi seorang politisi terletak pada legacy yang ditinggalkan dalam sebuah masyarakat. Hal ini sangat menarik, mengingat Indonesia saat ini menganut rezim pemilihan berkala lima tahunan. Tentunya berpotensi mereduksi kebijakan yang akan dibuat karena kebijakan akan perspektif kepentingan jangka pendek atau lima tahunan.
Denny JA juga memberikan muatan etis dalam marketing politik soal pencapaian kerja seorang politisi. Dia mengatakan, bahwa sukses tidaknya seorang politisi bukan berdasarkan klaim politisi, di saat dan pasca menjabat. Sukses seorang politisi berada dalam kesan dan image. Yaitu apa yang tertanam dalam benak publik pasca sang politisi itu berkuasa.
Tentunya untuk mewujudkan political legacy yang positif bukanlah hal yang mudah. Mengingat pasca memimpin atau berkuasa, akan hadir pemimpin baru yang tidak jarang berusaha membangun basis reputasi baru. Hal tersebut tidak jarang dilakukan dengan menegasikan capaian-capaian dari para pemimpin lama. Ketika berhadapan dengan masyarakat yang berkarakter progresif (menatap masa depan) dan kurang retrospektif (berkaca pada masa lalu), prestasi pemimpin lama mudah terlupakan.
Hal ini yang memperlihatkan bahwa dalam dimensi lain, legacy politik juga menjadi alat pembanding kepemimpinan seseorang saat menjabat menjadi pejabat publik secara politik.
Lantas, seperti apa legacy politik para pemimpin di Indonesia?
Baca juga: Anies Tengah Dekati Santri?
Warisan Pemimpin Indonesia
Warisan politik dapat dilihat dari berbagai sektor, apakah itu bersifat hard legacy maupun soft legacy, rupanya telah lama dilakukan oleh para pemimpin terdahulu. Hard legacy dapat diartikan sebuah warisan dalam bentuk pembangunan fisik, seperti infrastruktur dan sebagainya. Kemudian soft legacy dapat diartikan warisan yang ditunjukkan dalam bentuk kebijakan atau perubahan politik.
Sebelumnya, Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta telah melakukan banyak pembenahan dan pembuatan monumen-monumen di DKI Jakarta, mulai dari tata transportasi yang terintegrasi dalam Jaklingko dan juga pembangunan instalasi bambu Getah Getih, Tugu Sepeda dan Tugu Sepatu. Meski semua pembangunan infrastruktur itu banyak menuai kritik.
Jika dibandingkan, di Era Orde Lama kepemimpinan Presiden Soekarno dan juga era Orde Baru kepemimpinan Presiden Soeharto, banyak legacy yang ditinggalkan. Soekarno dalam kepemimpinannya mempunyai ambisi besar untuk membangun monumen-monumen yang akan dijadikan proyek mercusuar. Misalkan, pembangunan Monumen Nasional (Monas) dan juga Gelora Bung Karno (GBK) menjadi warisan politik Soekarno.
Dalam kepemimpinan Presiden Soeharto, selama tiga puluh dua tahun, meski banyak kritik dikarenakan sikap kepemimpinan otoriter. Banyak legacy yang telah diwariskan, pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Taman Buah Mekarsari, dan Satelit Palapa, menjadi deretan dari berbagai warisan Presiden Soeharto.
Kebanyakan pembangunan di dua periode ini yang masih berbekas sampai saat ini, yaitu pembangunan infrastruktur fisik. Sedangkan untuk soft legacy banyak perdebatan dan resistensi, hal ini tidak lepas dari faksionalisasi politik akibat belahan politik dua orde tersebut.
Baca juga: Ziarah Anies ke Thamrin, Politik Simbol?
Dua puluh tahun setelah reformasi, Indonesia punya lima presiden. Setelah lengsernya Soeharto, digantikan oleh Bacharuddin Jusuf Habibie, yang pada saat itu harus bangkit dari krisis moneter, sekaligus memperbaiki segudang masalah negeri lewat reformasi.
Tak lama setelah dilantik, iklim kebebasan juga diwujudkan oleh Habibie dengan pengesahan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Di era Habibie pula UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers disahkan, UU ini menjamin kebebasan pers yang manfaatnya kita rasakan saat ini.
Di era Abdurrahman Wahid yang singkat, Gus Dur berperan membubarkan praktik dwifungsi ABRI. Ia mengembalikan tentara ke barak. Ia juga yang memisahkan angkatan bersenjata menjadi TNI dan Polri. Berkat Gus Dur, tahun baru Imlek yang dilarang pada masa kolonial Belanda dan dipersulit di era Soeharto, kembali menjadi hari libur nasional yang dirayakan. Ia juga yang mengakui Konghucu sebagai tambahan agama yang diakui di Indonesia.
Warisan di era Megawati adalah lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mega juga dikenal luas karena mengesahkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden pertama di era pemilu demokratis yang berhasil terpilih dua kali. Selama 10 tahun SBY menjabat, pertumbuhan ekonomi disebut melesat. Di era kepemimpinannya, SBY terkenal dengan berbagai subsidi dan bantuan sosial bagi rakyat, seperti bantuan langsung tunai (BLT) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Sedangkan untuk kepemimpinan saat ini, yaitu Presiden Joko Widodo (Jokowi). Banyak narasi tentang legacy yang ingin ditinggalkan, mulai dari Mass Rapid Transit (MRT) hingga pemindahan Ibu Kota baru, dan pembangunan berbagai infrastruktur, seperti jalan tol.
Melihat sejarah dan polanya, dapat dikatakan bahwa legacy adalah sesuatu yang lumrah dilakukan. Tidak heran kemudian di akhir jabatannya, banyak pihak menilai Anies ingin memberikan legacy politik. Selain dana parpol dan pembangunan Jakarta International Stadium (JIS), kenaikan UMP buruh di DKI Jakarta baru-baru ini jamak dimaknai sebagai legacy yang ingin diukir oleh Anies.
Legacy politik ini mengingatkan kita pada kalimat bijak berbunyi, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, dan manusia mati meninggalkan karya-karyanya. Akibatnya, tanpa disadari orang berlomba dan bergegas untuk meninggalkan legacy-nya. (I76)
Baca juga: Anies dan RK Saling Balas!