Sukmawati Soekarnoputri kembali dipolisikan atas dugaan penistaan agama terkait pidatonya yang membandingkan Nabi Muhammad dengan Soekarno. Melihat pada struktur argumentasinya, pernyataan Sukmawati termasuk dalam fallacy of faulty comparison atau kekeliruan komparasi karena membandingkan dua hal yang tidak sebanding. Beberapa pihak menyebutkan bahwa besar kemungkinan hal tersebut terjadi karena adanya pengkultusan sosok Soekarno secara berlebihan. Benarkah demikian?
PinterPolitik.com
Belum surut ingatan publik atas kasus dugaan penistaan agama dalam puisi “Ibu Indonesia” yang dibuatnya, kini Sukmawati Soekarnoputri terkena delik serupa terkait pidatonya yang memiliki tendensi untuk membandingkan peran Nabi Muhammad dengan Soekarno dalam hal kemerdekaan Indonesia di awal abad 20.
Sukmawati, ibarat menyiram bensin di atas nyala api, sontak saja membuat berbagai elemen masyarakat langsung mengkritik dirinya. Bahkan saat ini, laporan atas dugaan penistaan agama telah masuk di Polda Metro Jaya. Adalah Ratih Puspa Nusanti, salah satu anggota Koordinator Bela Islam (Korlabi) yang menjadi sosok terdepan dalam pelaporan tersebut.
Tidak hanya karena ketidakjeliannya dalam melihat tensi publik yang sensitif terhadap hal-hal yang berbau agama, Sukmawati seolah tidak belajar dari kesalahan pada puisi “Ibu Indonesia” dan terjatuh di lubang yang sama.
Ketua Bantuan Hukum Front Pembela Islam (FPI) Sugito Atmo Prawiro misalnya, juga menuturkan penyesalannya atas kesalahan berulang yang dilakukan oleh Sukmawati.
Sadar akan tingginya tensi publik terhadap dirinya, Sukmawati lantas memberi klarifikasi bahwa ia tidak bermaksud untuk menghina Nabi Muhammad. Menurutnya, pidato tersebut disampaikan semata-mata untuk melihat pengetahuan sejarah para peserta acara diskusi terkait kemerdekaan Indonesia.
Di luar persoalan tendensi penistaan atas diri Nabi Muhammad, pidato tersebut memang terbilang tidak proporsional.
Jika menganalisis pidato tersebut menggunakan “logika” – yaitu metode bernalar yang mengkaji mana argumentasi yang valid dan yang tidak valid – dengan merujuk pada Bradley H. Dowden dalam Logical Reasoning, pidato Sukmawati tersebut termasuk ke dalam kekeliruan bernalar yang bernama fallacy of faulty comparison atau kekeliruan komparasi.
Lantas, kekeliruan apa itu dan mengapa hal itu dapat terjadi?
Kekeliruan Bernalar Sukmawati
Mengulang pernyataan sebelumnya, pidato Sukmawati memang terbilang aneh dan mengandung kekeliruan bernalar yang disebut dengan fallacy of faulty comparison, atau yang sederhananya bisa disebut tidak apple to apple.
Kekeliruan tersebut ditunjukkan pada suatu pernyataan yang telah gagal melakukan perbandingan karena hal yang dibandingkan tidak sebanding.
Pada kasus pidato Sukmawati yang membandingkan peran Nabi Muhammad dengan Soekarno bagi kemerdekaan Indonesia di awal abad 20, terlihat jelas kekeliruan tersebut telah terjadi.
Pasalnya, Sukmawati membandingkan peran kedua sosok yang terpaut lebih dari 1.000 tahun masa hidupnya. Dengan kata lain, dengan konteks pertanyaan siapa yang berperan atas kemerdekaan Indonesia di awal abad 20, tentu saja jawabannya akan merujuk pada Soekarno. Hal ini karena hanya Soekarno-lah yang memenuhi kategori sosok yang berada di awal abad 20, dan berperan bagi kemerdekaan Indonesia.
Entah disadari atau tidak oleh putri ketiga Soekarno ini, pertanyaan tersebut seolah telah didesain agar jawabannya pasti merujuk pada Soekarno.
Pandangan serupa juga diungkapkan oleh Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas, bahwasanya pertanyaan tersebut memiliki tendensi untuk mengarahkan jawaban pada Soekarno terkait siapa yang berperan pada kemerdekaan Indonesia.
Mengadaptasi istilah epistemik dari filsuf sekaligus fisikawan Thomas Samuel Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions, kekeliruan perbandingan tersebut dapat disebut sebagai incommensurability atau dua hal yang tidak dapat diperbandingkan.
Melihat pada pernyataan dalam pidato tersebut, tentu membuat publik bertanya mengapa Sukmawati begitu percaya diri untuk melontarkan pertanyaan yang membandingkan Nabi Muhammad yang merupakan sosok yang begitu agung bagi umat Islam dengan Soekarno?
Bukankah seharusnya Sukmawati dapat sedikit peka bahwa membawa nama besar seperti Nabi Muhammad begitu rentan menimbulkan gesekan publik?
Lalu, pertanyaan yang lebih krusial adalah, mengapa nama Soekarno ingin coba dibandingkan dengan Nabi Muhammad?
Pengkultusan Sosok Soekarno
Terlepas dari kekeliruan bernalar yang terjadi pada Sukmawati, melihat pada cara kerja psikologisnya, perbandingan suatu hal tertentu sangat mungkin berasal dari asumsi bahwa hal yang dibandingkan pasti dianggap setara. Dengan kata lain, Sukmawati besar kemungkinan memiliki asumsi bahwa Soekarno dan Nabi Muhammad adalah dua sosok yang dapat diperbandingkan.
Atas dasar ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi pengkultusan Soeakrno yang pada titik tertentu membuat sifatnya jadi sama dengan bagaimana umat Islam mengkultuskan Nabi Muhammad.
Melihat pada track record-nya, banyak pihak memang menilai bahwa Sukmawati adalah keturunan Soekarno yang paling mendekati ideologi sang ayah. Ini misalnya terlihat dari usaha Sukmawati yang mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) Soepeni pada 1998, yang kemudian berganti nama menjadi PNI Marhaenisme pada 2002. Nama yang terakhir terbaca jelas merupakan ideologi yang diusung oleh Soekarno.
Xavier Marquez dalam A Model of Cults of Personality menyebut pengkultusan sosok ini sebagai flattery inflation atau inflasi pujian. Istilah tersebut memang terbilang tepat. Pasalnya, ketika suatu sosok telah dikultuskan, terdapat tendensi yang kuat untuk melakukan pujian atau sanjungan, baik yang dilakukan secara sewajarnya, maupun yang sering kali juga dilakukan secara berlebihan.
Pengkultusan sosok ini kerap kali terjadi pada pemimpin-pemimpin bertangan besi atau otoriter, yang jika merujuk pada istilah sosiolog terkemuka Jerman, Max Weber, disebut sebagai charismatic leader atau pemimpin karismatik.
Dalam definisi Weber, karisma adalah kualitas tertentu dari kepribadian individu yang dianggap luar biasa dan diperlakukan sebagai diberkahi dengan supranatural, manusia super, kekuatan atau kualitas luar biasa. Artinya, pemimpin yang karismatik adalah pemimpin yang dianggap memiliki kekuatan atau kualitas yang luar biasa.
Melihat pada rekam jejak Soekarno sebagai Presiden Indonesia, dirinya memang merupakan sosok pemimpin berkarisma, walaupun ujung-ujungnya kekuasaannya mengarah pada absolutisme ketika muncul wacana pengangkatannya sebagai presiden seumur hidup.
Ini tentu memperlihatkan bagaimana kuatnya pengaruh seorang Soekarno dalam dinamika perpolitikan tanah air pada saat itu. Ia juga sosok yang sangat populer di masyarakat kala itu.
Konteks pengkultusan semacam ini memang bisa berdampak negatif, katakanlah misalnya yang terjadi pada presiden penerusnya, Soeharto. Pengkultusan Soeharto adalah salah satu cara presiden yang dijuluki The Smiling General itu untuk mengokohkan kekuasaannya.
Besar kemungkinan terdapat upaya untuk menjaga karisma Soekarno agar dapat menjadi jargon politik yang mumpuni. Share on XAdapun sampai saat ini, karisma Soekarno sendiri memang belum pudar. Bahkan mungkin, karisma tersebut sepertinya memang sengaja dijaga dan dimanfaatkan. Kendati sosoknya telah tiada secara materil, berbagai pihak nyatanya masih mengagungkan nama salah satu orator terhebat Indonesia tersebut.
Ini misalnya terlihat dari berbagai kunjungan ke makam Soekarno yang kerap dipertontonkan oleh berbagai politisi, yang seolah menjadi semacam ritual sebelum berlaga di kontestasi elektoral.
Pada masa kampanye Pilpres 2019 lalu misalnya, baik Joko Widodo (Jokowi) maupun Prabowo Subianto bahkan menyempatkan diri untuk berziarah ke makam Soekarno di Blitar, Jawa Timur.
Suka atau tidak, nama Soekarno entah bagaimana telah menjadi jargon politik yang begitu mumpuni. Para penerus trah Seokarno macam Sukmawati ataupun Megawati Soekarnoputri telah merasakan bagaimana membawa nama Soekarno di belakang nama mereka dapat menjadi magnet politik tersendiri.
Mega yang bahkan telah begitu dominan bersama PDIP, nyatanya masih kerap menggunakan nama Soekarno sebagai dalih putusan politik. Misalnya saja pada alasan perpindahan ibu kota ke Kalimantan yang disebut sebagai pesan Soekarno.
Kasus serupa yang pernah menimpa Sukmawati yang kemudian dihentikan oleh Mabes Polri karena diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3), juga tak sedikit yang menyimpulkan kaitannya dengan pengaruh Soekarno tersebut.
Pada akhirnya dapat dipahami bahwa kekeliruan bernalar yang terjadi pada Sukmawati dapat terjadi karena adanya pengkultusan sosok Soekarno yang kemungkinan besar dianggap sebagai pemimpin yang bergitu karismatik. Tidak hanya itu, karisma Soekarno sepertinya memang sengaja dipertahankan agar namanya dapat menjadi jargon politik yang mumpuni. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.