Sidak yang dilakukan ke Lapas Sukamiskin beberapa hari lalu menyajikan tontonan tentang bobroknya sistem penjara di Indonesia. Ini sekaligus menguatkan fakta bahwa pertautan politik dan hukum masih sangat kuat, serta uang membuat status napi dan warga taat hukum menjadi sama.
PinterPolitik.com
“Prison is a recruitment center for the army of crime. That is what it achieves.”
:: Michel Foucault (1926-1984), sejarawan dan filsuf ::
[dropcap]S[/dropcap]ebagai orang awam, mungkin bayangan tentang dipan keras, sel yang dingin dan penuh nyamuk, makanan yang buruk, atau ketakutan karena dikelilingi banyak penjahat adalah gambaran paling dekat ketika kata “penjara” masuk ke telinga kita.
Mungkin tidak seburuk kondisi tahanan dalam film The Dark Knight Rises tempat jagoan kita Bruce Wayne a.k.a Batman dikurung oleh Bane sang antagonis, tapi setidaknya seperti itulah gambaran tentang penjara.
Sayangnya, bayangan kita tentang kondisi itu mungkin akan runtuh setelah menyaksikan program Mata Najwa yang ikut dalam inspeksi mendadak (sidak) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung beberapa waktu lalu. Pasalnya, beberapa sel tahanan koruptor terkesan cukup mewah dan berkelas dengan segala perabotan dan perlengkapannya.
Memang, pasca Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Sukamiskin, Wahid Husein beberapa waktu lalu, fenomena sel-sel tahanan mewah ini menjadi sorotan publik.
Dalam sidak yang dilakukan dua hari setelah OTT terhadap Wahid Husein itu, Direktorat Jenderal (Dirjen) Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menyita banyak barang yang seharusnya tidak berada di penjara. Barang-barang elektronik seperti televisi, kulkas, dispenser, microwave, handphone, kompor gas, bahkan beberapa perkakas bangunan disita dalam operasi tersebut.
Kemenkumham seolah tidak ingin kebakaran jenggot pasca OTT KPK yang secara jelas menyebutkan adanya “jual beli kamar” dengan nilai fantastis di lembaga pemasyarakatan tersebut. Program Mata Najwa menangkap momen ketika tokoh-tokoh politisi terkenal yang ditahan ditempat tersebut kelabakan saat disidak.
Nama-nama seperti Luthfi Hasan Ishaaq, Jero Wacik, pengacara OC Kaligis, Anas Urbaningrum, hingga Akil Mochtar tidak bisa mengelak ketika kamarnya dengan fasilitas yang cukup mewah digeledah oleh petugas.
Hal yang sedikit berbeda ditunjukkan oleh mantan Ketua DPR RI Setya Novanto dan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin yang seperti sudah “siap” menghadapi sidak tersebut. Keduanya berada di sel yang sederhana, bahkan terkesan sangat tidak sesuai dengan profil keduanya – utamanya Setnov.
Najwa Shihab – sang presenter – kemudian mengkonfirmasi bahwa baik Setnov maupun Nazar tidak sedang berada di sel asli mereka, mungkin karena sudah mendapat kabar tentang adanya sidak tersebut.
South China Morning Post juga ikut menyoroti kasus ini dan menyebut ada praktik jual beli sel di Lapas Sukamiskin. Harganya mencapai Rp 200 juta, bahkan ada yang hingga Rp 500 juta. Jika sanggup membayar jumlah tersebut, seseorang bisa mendapatkan sel yang sudah direnovasi, perlengkapan kamar yang nyaman, toilet yang baik, hingga alat-alat elektronik termasuk handphone. Bahkan, napi tersebut bisa pelesir keluar dari penjara tanpa takut.
Potret ini tentu menimbulkan tanda tanya terkait sistem penegakan hukum di Indonesia, secara khusus sistem penjara. Apakah memang hukum yang berkeadilan untuk semua orang tidak bisa lagi diciptakan, sehingga mereka yang berduit selalu menjadi pemenang?
Desmoterion, dari Athena hingga Sukamiskin
Sejak Hammurabi memperkenalkan code of Hammurabi di Babilonia antara tahun 1792-1750 SM, sistem hukum memang masih mengedepankan lex talionis – hukum mata ganti mata. Saat itu, hukuman yang diberikan kepada seseorang lebih kepada “balas dendam” terhadap apa yang telah dilakukannya terhadap orang lain.
Barulah di era Yunani Kuno, beberapa filsuf seperti Plato menawarkan mekanisme pemberian sanksi hukum dengan dipenjara atau dikurung, utamanya bagi mereka yang tidak bisa membayarkan denda. “Penjara” sendiri menjadi salah satu bagian dari inti filsafat Plato dalam dialog berjudul Allegory of the Cave, sekalipun tulisan tersebut bukan berbicara spesifik tentang penjara sebagai bentuk hukuman.
Namun, karya Plato ini secara gamblang memberikan gambaran tentang konsepsi penjara dalam masyarakat Yunani saat itu – utamanya di Athena – yang juga dikenal dengan istilah desmoterion atau tempat yang berantai.
Rantai memang menjadi alat untuk membelenggu seseorang, sehingga seringkali diasosiasikan dengan penjara itu sendiri. Pada titik ini, hukuman penjara memang bisa didefinisikan sebagai pembelengguan terhadap kebebasan seseorang.
Sistem penjara memang terus berkembang dari masa ke masa, termasuk ketika King John di Inggris menandatangani Magna Carta pada tahun 1215 M yang salah satunya berisi ketentuan bahwa seseorang tidak dibolehkan untuk dihukum penjara tanpa melewati proses hukum.
Adapun sistem penjara modern pertama kali digunakan pada tahun 1826 di Amerika Serikat (AS). Saat itu Eastern State Penitentiary menjadi penjara modern pertama di dunia dengan aturan yang seragam, mulai dari waktu makan, tidur, rekreasi, bekerja, dan lain sebagainya.
Di Indonesia, memang tidak banyak dokumen yang menjelaskan kapan sistem penjara digunakan pertama kali, apalagi di zaman kerajaan Hindu dan Buddha. Namun, mengingat agama Islam telah sukses menerapkan hukuman penjara sejak abad ke-13 masehi, maka bisa dipastikan sistem ini juga hadir di Indonesia sejak kerajaan-kerajaan Islam mulai berkembang.
Kemudian, era kolonialisme tentu saja membawa sistem hukum Barat ke Indonesia, termasuk juga sistem penjara. Bahkan hingga kini sistem hukum yang dipakai di Indonesia adalah warisan dari penjajahan Belanda, sehingga bisa dipastikan sistem penjara di Indonesia adalah juga bagian dari warisan tersebut.
Dengan lebih majunya kondisi sistem penjara di Barat, tentu pertanyaannya adalah mengapa kondisi yang terekam di Sukamiskin menggambarkan hal yang berbeda dari definisi penjara itu sendiri sebagai belenggu terhadap kebebasan seseorang?
Nyatanya reformasi sistem penjara di Indonesia tidak berjalan dengan baik. Pada praktiknya, sistem hukum di Indonesia – terutama di Orde Baru – seringkali hanya digunakan untuk kepentingan penguasa. Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) mengakar sangat dalam pada sistem lembaga pemasyarakatan.
Di era Soeharto, kita bisa menyaksikan ada orang yang dipenjara dengan sangat tidak manusiawi, namun pada saat yang sama ada juga yang seperti kebal hukum, berkat modal koneksi dan uang. Sayangnya, reformasi 1998 belum juga membawa banyak perubahan ke sistem penjara. Maka, praktik KKN masih mengakar begitu kuat hingga kini.
Jabatan Kalapas adalah salah satu posisi yang strategis dan “basah” – mengingat dengan posisinya sebagai kepala penjara, ia berkuasa atas “kebebasan” seseorang. Akibatnya seringkali terjadi kongkalikong dan penyelewengan oknum-oknum Kalapas atau sipir demi mendapatkan keuntungan pribadi.
Dosen Kriminologi Universitas Indonesia, Adrianus Meliala bahkan pernah menyebut hal ini sebagai budaya yang kuat dan telah mengakar di lembaga pemasyarakatan.
Keberadaan sistem hukum yang masih “kacau” akibat praktik KKN yang masih kental, ditambah sistem penjara yang juga demikian, menjadi bagian lain dari fakta kuatnya politisasi hukum di Indonesia.
Kondisi di Lapas Sukamiskin sesungguhnya menjadi pengingkaran konsepsi desmoterion yang menjadi inti dari sanksi hukum. Ironisnya, Lapas Sukamiskin menjadi potret bahwa politik dan praktik KKN justru “memenjarakan” sistem penjara itu sendiri. Pada titik ini, sulit untuk mengharapkan hukum yang berkeadilan karena semuanya akan kembali pada pertanyaan: “wani piro?”
Reformasi Penjara, Jangan Dipolitisasi
Banyak negara kini sedang dalam proses mereformasi sistem penjaranya. Sistem penjara terbaik di dunia saat ini ada di Norwegia. Beberapa negara bagian di AS saat ini sedang melakukan uji coba untuk menerapkan sistem penjara seperti di Norwegia, walaupun dengan penyesuaian konteks psikologis dan sosiologis masyarakat yang berbeda.
Prinsip utama dalam reformasi sistem penjara adalah normality, humanity dan rehabilitation, serta perubahan paradigma tentang fungsi penjara itu sendiri. Tujuannya adalah membuat para napi menjadi orang yang lebih baik, sehingga pada akhirnya bisa kembali ke masyarakat.
Namun, hal ini mungkin masih sangat sulit dilakukan di Indonesia, setidaknya dalam waktu dekat. Konteks persoalan penjara di Indonesia jauh lebih kompleks. Selain KKN, ada juga masalah kelebihan kapasitas tahanan, anggaran yang belum tercukupi, hingga mindset tentang penjara itu sendiri.
Sebagai catatan, hingga Juni 2017, kapasitas Rutan dan Lapas di Indonesia adalah 122.204 orang. Namun, jumlah penghuninya mencapai 225.835 orang atau terdapat kelebihan beban penghuni mencapai 185 persen.
Selain itu, ada persoalan anggaran yang menjadi catatan lain. Untuk biaya makan napi dalam setahun misalnya, anggaran yang dihabiskan mencapai Rp 1,3 triliun yang diambil dari APBN. Artinya, ada persoalan anggaran yang juga akan ikut mempengaruhi sistem tata kelola penjara di negara ini.
Pada akhirnya, reformasi sistem hukum memang menjadi keharusan. Namun, masalah akan selalu bertambah rumit ketika persoalan ini dipolitisasi. Ujung-ujungnya tidak akan ada perubahan yang berarti.
Para politisi seharusnya malu dengan makin terbukanya informasi tentang fasilitas mewah di Lapas. Mereka yang menggelapkan uang rakyat, namun tidak mendapatkan ganjaran seperti yang seharusnya.
Menkumham juga seharusnya bertanggungjawab penuh terhadap program reformasi ini. Kalau perlu jabatan ini jangan lagi diberikan kepada politisi karena jika dipimpin politisi, sampai kapanpun penjara akan tetap dipolitisasi.
Harapannya penjara akan mampu menjadi tempat rehabilitasi bagi para pelanggar hukum untuk membuat mereka menjadi lebih baik, bukannya melahirkan masalah baru – seperti kata Foucault di awal tulisan – dan menjadi pusat perekrutan pasukan kriminal. (S13)