Dunia beberapa waktu lalu digemparkan dengan kecelakaan sebuah kapal kontainer yang menyumbat Terusan Suez – sebuah jalur maritim yang melalui wilayah Mesir. Mungkinkah ancaman serupa dapat terjadi di Indonesia? Apakah ini malah dapat menjadi peluang maritim bagi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)?
Penyakit flu kerap menjadi momok yang mengganggu bagi banyak orang. Apalagi, ketika sejumlah gejala seperti hidung tersumbat muncul, sakit kepala hingga pernapasan yang tersumbat turut menyertai.
Gejala hidung tersumbat ini bakal menjadi lebih parah lagi kala menumpangi sebuah pesawat udara. Lendir yang berada dalam hidung serasa ikut naik bagaikan langsung terjadi penyumbatan di kepala.
Mungkin, penyumbatan seperti ini tidak hanya buruk dirasakan kala flu saja. Pasalnya, beberapa waktu lalu, dunia digemparkan oleh penyumbatan salah satu jalur perdagangan maritim paling penting di dunia, yakni Terusan Suez.
Berdasarkan berita-berita internasional yang mengabarkan penyumbatan ini, sebuah kapal yang bernama MV Ever Given mengalami kecelakaan yang akhirnya membuat kapal tersebut tersangkut. Nahasnya, badan kapal kontainer yang dengan panjang sekitar 400 meter itu langsung menutupi terusan yang memiliki lebar sekitar 205 meter tersebut.
Alhasil, antrean panjang pun terbentuk. Sejumlah kapal yang akan melalui terusan tersebut harus menunggu berbagai upaya yang dilakukan oleh pihak otoritas setempat untuk kembali membuka terusan yang tersumbat itu.
Baca Juga: Jokowi Menuju Status Pemimpin Kuat
Kurang lebih, setelah enam hari dan tujuh jam, MV Ever Given akhirnya baru bisa bergerak dan kembali terapung. Buruknya, periode waktu tersebut juga disertai dengan kerugian material bagi Mesir – dan perdagangan dunia.
Bagi negara yang terletak di Afrika Utara tersebut, misalnya, kerugian diperkirakan menyentuh USD 1 miliar (sekitar Rp 14,5 triliun). Tidak hanya bagi Mesir, penyumbatan Suez ini diperkirakan juga menahan perdagangan sekitar USD 9,6 miliar (sekitar Rp 139,5 triliun) per harinya.
Dengan nilai sebesar itu, bukan tidak mungkin Terusan Suez memiliki nilai strategis tertentu. Bagi kalian yang pernah menonton seri The Crown (2016-sekarang), pasti ingat dengan beberapa episode yang akhirnya menempatkan perebutan strategis Terusan Suez antara Kerajaan Inggris dengan Mesir pada tahun 1950-an.
Kala itu, Mesir dipimpin oleh seorang pemimpin nasionalis yang bernama Gamal Abdel Nasser. Upaya pengambilalihan Terusan Suez dari militer Inggris akhirnya menyebabkan konflik dengan Israel – beserta persaingan pengaruh dengan Uni Soviet.
Bila terusan ini memiliki nilai strategis yang penting, bukan tidak mungkin peristiwa beberapa waktu lalu dapat menjadi pelajaran bagi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) di Indonesia. Bagaimana dengan nilai strategis dari jalur-jalur laut yang berada di bawah naungan Indonesia? Lantas, mungkinkah jalur-jalur tersebut dapat menjadi daya tawar bagi Jokowi dalam menjalankan politik kawasan dan internasional?
Belajar dari Sriwijaya
Bila bercermin pada pentingnya Terusan Suez sebagai jalur maritim strategis, bukan tidak mungkin jalur-jalur masuk maritim (choke points) lainnya memiliki nilai strategis penting juga. Indonesia sebagai negara maritim bisa saja memiliki potensi strategis serupa dengan banyaknya jalur masuk maritim di wilayahnya.
Pentingnya jalur maritim ini bisa saja didasarkan pada fakta bahwa jalur perdagangan global lebih banyak bertumpu pada jalur laut. Pasalnya, dalam sejarahnya, pengiriman barang melalui jalur laut jauh lebih murah bila dibandingkan dengan jalur darat.
Inilah mengapa banyak pedagang dari India dahulu kala melewati perairan nusantara ketika akan berdagang ke Tiongkok – begitu juga sebaliknya. Perdagangan antarperadaban inilah yang membuat Asia Tenggara maritim penting bagi banyak kerajaan.
Pentingnya choke points ini terlihat dari bagaimana sejarah akan keruntuhan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Kala itu, Sriwijaya menguasai dua choke points penting yang menghubungkan India dan Tiongkok, yakni Selat Malaka dan Selat Sunda.
Kerajaan ini pun memanfaatkan kontrol itu dengan memaksa kapal-kapal dagang yang melewati jalur tersebut untuk mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di Sumatera dan Semenanjung Melayu – memberikan dampak ekonomi bagi kota-kota Sriwijaya. Namun, kontrol ini dianggap sebagai tantangan bagi Kerajaan Chola di India dalam menjalankan perdagangannya dengan Tiongkok.
Sejumlah sejarawan menilai bahwa perebutan akan choke points inilah yang membuat Chola melakukan invasi ke Sriwijaya. Invasi itupun mengakhiri dominasi Sriwijaya di Sumatera dan Semenanjung Melayu.
Baca Juga: Nikel sebagai Bargaining Power Jokowi?
We can do better — and it isn’t just the Suez canal that could be a chokepoint https://t.co/9taDEiVw13— stavridisj (@stavridisj) March 29, 2021
Pentingnya kontrol laut ini juga dijelaskan oleh John J. Mearsheimer, seorang profesor politik di University of Chicago. Dalam tulisannya yang berjudul A Strategic Misstep, Mearsheimer menjelaskan bahwa kontrol laut (sea control) menjadi nilai penting bagi deterrence – upaya untuk membuat negara lain agar tidak melakukan tindakan yang tidak dikehendaki – buat Angkatan Laut (AL) Amerika Serikat (AS) atau US Navy.
Penguasaan atas sea lines of communication (SLOCs) – atau jalur-jalur maritim utama – menjadi strategi penting bagi AS dan North Atlantic Treaty Organization (NATO) dalam menghalau berbagai manuver Uni Soviet kala Perang Dingin. Dengan begitu, Uni Soviet akan berpikir ulang apabila berniat mendeklarasikan perang pada negara-negara Eropa.
Pentingnya kontrol akan laut ini juga terlihat dari bagaimana AL Britania Raya menguasai lautan dunia pada abad ke-18 hingga Perang Dunia I. Dengan dominasi laut yang sangat luar, Inggris pun mampu melebarkan pengaruhnya di berbagai bidang – mulai dari politik, ekonomi, perdagangan, hingga budaya.
Bila berkaca pada Sriwijaya dan Inggris, kontrol akan laut ini bisa jadi tindakan strategis bagi suatu negara secara politik dan perdagangan. Lantas, bagaimana dengan Indonesia di era kontemporer kini? Mungkinkah pemerintahan Jokowi kembali mendominasi choke points seperti era Sriwijaya dulu?
Jokowi Perlu Kuasai Laut?
Bukan tidak mungkin, pemerintahan Jokowi dapat memainkan peran penting dalam menjaga choke points atau SLOCs yang terletak di Asia Tenggara. Pasalnya, sebagian SLOCs dan jalur laut penting lainnya menempatkan Indonesia sebagai negara penting dalam perdagangan dunia.
Salah satu SLOC yang paling penting adalah Selat Malaka. Selat inipun menjadi selat tersibuk dan terbanyak dilalui kapal-kapal dagang. Sekitar 25 persen perdagangan dunia melalui selat yang menjadi wilayah sejumlah negara, seperti Indonesia dan Malaysia.
Bila kontrol akan Selat Malaka menjadi penting bagi Sriwijaya dalam menjalankan hubungannya dengan kerajaan-kerajaan lain, bukan tidak mungkin Indonesia – bersama negara-negara Asia Tenggara maritim lainnya seperti Malaysia dan Singapura – dapat berperan penting terhadap jalannya persaingan geopolitik di kawasan.
Bagaimana tidak? AS dan Tiongkok kini disebut-sebut tengah bersinggungan dalam sebuah Perang Dingin baru. Persaingan ini pun turut melibatkan geostrategi yang melibatkan politik berbasis kawasan.
Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping, misalnya, berusaha menjalankan sebuah strategi yang disebut sebagai Island Chain Strategy (Strategi Untaian Pulau) – di mana Tiongkok berusaha menjaga kehadiran militer AS di luar untaian pertama (first island chain) yang membentang dari Kepulauan Kuril (Jepang dan Rusia) hingga utara Kalimantan dan untaian kedua (second island chain) yang membentang dari Kepulauan Iwo, Jepang, hingga utara Papua, Indonesia.
Geostrategi ini juga dilibatkan dalam SLOCs di kawasan Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka. Pasalnya, sebagai jalur dagang utama yang menghubungkan Tiongkok dengan India dan Asia Barat, Selat Malaka menjadi wilayah strategis.
Bukan tidak mungkin, Tiongkok merasa cemas dengan kontrol laut di Selat Malaka. Apalagi, Indonesia, Malaysia, dan Singapura sama-sama memiliki ketidakpuasan tersendiri atas pengaruh Tiongkok yang terus meluas.
Baca Juga: Jokowi dan Siasat Ideologis Biden di Asia
AS sendiri baru-baru ini meningkatkan kehadiran militernya di sekitar Selat Malaka. Salah satunya adalah serangkaian latihan bersama yang dilakukan AS dengan India – salah satu anggota Quadrilateral Security Dialogue (Quad) – di perairan Andaman.
Bisa jadi, kontrol akan Selat Malaka ini bisa menjadi taktik deterrence seperti yang dijelaskan oleh Mearsheimer di atas. Dengan kontrol atas laut tersebut, bukan tidak mungkin Indonesia – bersama Malaysia – melakukan deterrence terhadap Tiongkok. Apalagi, hubungan negara tersebut dengan negara-negara Asia Tenggara tengah mengalami pasang surut dengan aksi-aksi unilateral Tiongkok di Laut China Selatan (LCS).
Deterrence seperti ini pernah dilakukan oleh Iran pada tahun 2011-2012 silam. Kala itu, pemerintah Iran mengancam akan menutup Selat Hormuz yang menjadi jalur penting bagi perdagangan minyak dunia. Ancaman itu muncul karena hubungan diplomatik yang memanas antara Iran dan AS.
Bila Iran dapat menggunakan choke points di wilayahnya untuk menekan negara-negara lain secara politik, lantas, bagaimana dengan Indonesia? Mungkinkah Indonesia – bersama Malaysia – menekan negara-negara besar seperti Tiongkok?
Ancaman Besar?
Sebenarnya, choke points ini bisa memberikan daya tawar tersendiri. Soal jalur-jalur laut yang dimiliki Indonesia – yakni Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I (LCS, Selat Sunda, Selat Karimata, Samudera Hindia)); ALKI II (Selat Makassar, Selat Lombok); dan ALKI III (Laut Maluku, Laut Banda, Samudera Pasifik), misalnya, menjadi jalur laut penting yang digunakan Australia.
UN Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 juga memberikan negara kepulauan hak untuk menentukan jalur-jalur mana yang dapat digunakan sebagai archipelagic sea lanes (ASL) atau jalur laut kepulauan. Bukan tidak mungkin, dalam menentukannya, Indonesia dapat memiliki daya tawar dalam bernegosiasi dengan negara-negara seperti Australia dan Selandia Baru.
Daya tawar ini mungkin juga dapat diterapkan dalam hubungan Indonesia dengan Tiongkok yang jelas-jelas membutuhkan Selat Malaka dan ALKI I untuk jalur perdagangannya. Namun, semua ini pun kembali bergantung pada seberapa pentingnya SOLCs tersebut.
Pada tahun 2020, Thailand kembali menghidupkan rencananya untuk membangun Terusan Kra – membuat kapal-kapal tidak perlu lagi melewati Selat Malaka untuk menuju ke Tiongkok atau sebaliknya. Bukan tidak mungkin, ini dapat menjadi jalan keluar bagi Tiongkok untuk lepas dari nilai deterrence yang berpusat pada Selat Malaka.
Apalagi, banyak perusahaan investor di proyek Kra ini berasal dari Tiongkok. Ini juga menjadi jalan keluar bagi Xi dari dominasi AL AS di sekitar perairan Selat Malaka.
Jika benar Terusan Kra ini terbangun, bukan tidak mungkin ini dapat menjadi kerugian ekonomi bagi Jokowi. Apalagi, pemerintah Indonesia tengah berambisi untuk membangun jaringan logistik di pelabuhan-pelabuhan Indonesia – seperti di Batam, Jakarta, dan Surabaya.
Bila benar rencana Tiongkok di Thailand ini dapat menjadi ancaman bagi Jokowi secara geostrategi dan ekonomi, bukan tidak mungkin pemerintah harus memutar otak kembali agar dapat menekan rencana tersebut – entah dengan bernegosiasi dengan Tiongkok atau melibatkan AS lebih banyak dalam isu ini. Menarik untuk diamati kelanjutan akan Poros Maritim Dunia (PMD) ala Jokowi yang dulu sempat digaungkan. Mungkinkah poros ini terbelah ke Thailand? (A43)
Baca Juga: Facebook Cs Lampaui Jokowi?
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.