Site icon PinterPolitik.com

Sudah Tepatkah Kebijakan Jalan Berbayar?

188628 620

Ilustrasi kemacetan lalu lintas. (Foto: TEMPO/Aditia Noviansyah)

Kebijakan electronic road pricing (ERP) di Singapura dinilai berhasil mengurangi kemacetan dan menyandang gelar kebijakan best practice. Namun, tepatkah Jakarta mengimplementasi kebijakan tersebut?


PinterPolitik.com

Peliknya permasalahan kemacetan Ibu Kota seolah dapat direpresentasikan dengan istilah “lingkaran setan” alias masalah yang seakan tidak berujung pangkal. Permasalahan bukan hanya merugikan pengguna jalan dari segi ekonomi, tetapi juga dari segi waktu.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah melakukan berbagai upaya mulai dari pemberlakuan kebijakan three in one – yang populer di era Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok –, sistem ganjil-genap, hingga penambahan moda transportasi umum kiranya tidak mampu memberi dampak positif yang signfikan bagi kemacetan.


Kegagalan atas kebijakan-kebijakan tersebut pada akhirnya mendorong Pemprov DKI Jakarta menerapkan kebijakan yang lebih efektif dan efisien dalam menurunkan tingkat kemacetan, salah satunya adalah kebijakan electronic road pricing (ERP)

Sebagai pengenalan singkat, ERP ini adalah kebijakan jalan berbayar pada 25 ruas jalan di DKI Jakarta dengan tarif Rp 5.000-Rp 19.000 yang rencananya akan diimplementasikan pada tahun 2023.

Kebijakan ERP sebenarnya diusung sejak era kepemimpinan Gubernur Sutiyoso pada tahun 2004 silam, namun belum kunjung sempurna dan masih membutuhkan proses penyempurnaan dari segi kebijakan maupun regulasi yang membawahinya.

Kebijakan serupa nyatanya pertama kali diberlakukan oleh Singapura. Pada tahun 1998, Singapura memberlakukan kebijakan ERP untuk menggantikan skema cordon pricing yang sudah diberlakukan lebih dulu sejak tahun 1975.

Kebijakan ERP berhasil diberlakukan Singapura dilihat dari adanya penurunan kemacetan lalu lintas, pengurangan waktu perjalanan, pengurangan polusi kendaraan pribadi, serta mempromosikan transportasi umum.

Kala itu, Singapura mengenakan biaya yang lebih tinggi saat jam-jam sibuk dan mengenakan biaya yang lebih murah saat jam-jam tidak sibuk.

Berdasarkan jurnal berjudul The Applicability of Prospect Theory in Examining Drivers’ Trip Decisions, in Response to Electronic Road Pricing (ERP) Rates Adjustments – A Study Using Travel Data in Singapore yang ditulis oleh Wee Ping Koh dan Kian Keong Chin, negara-negara lainnya seperti Norwegia, Inggris, Swedia, Italia, dan Amerika Serikat (AS) juga menerapkan kebijakan jalan berbayar.

Namun, mampukah Indonesia menerapkan kebijakan jalan berbayar dengan skema ERP layaknya Singapura dan berbagai negara-negara lainnya?

Tak Memadai?

Keberhasilan kebijakan ERP di Singapura telah menjadikan kebijakan tersebut menyandang gelar best practice. Sekalipun demikian, tidak semua kebijakan penyandang gelar best practice dapat diimplementasikan pada semua negara di dunia. Hal itu dikarenakan adanya perbedaan kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya, di masing-masing negara.

Jakarta dan Singapura mungkin seolah memiliki kemiripan dari segi modernitas, namun hal itu hanya bisa diyakini jika melihat secara sekilas pada citra yang direpresentasikan oleh Jakarta sebagai ibu kota negara.

Namun, representasi itu tidak dapat menapik fakta bahwa Jakarta masih belum dapat sejajar dengan keteraturan kota Singapura, terutama dari segi transportasi umum.

Penelitian berjudul Electronic Road Pricing: Experience & Lessons from Singapore, yang ditulis oleh Gopinath Menon dan Sarath Guttikunda, bahkan menekankan betapa pentingnya alternatif moda transportasi sebelum mengimplementasikan ERP.

Menon dan Guttikunda juga menyatakan kebijakan ERP merupakan salah satu bagian dari kebijakan transportasi yang mencakup perencanaan transportasi, penyediaan jalan, penggunaan sistem smart transportation yang digunakan untuk manajemen lalu lintas, serta penyediaan sistem angkutan umum berupa bus dan kereta api yang saling terintegrasi. 

Kebijakan ERP bukan hanya dituju untuk menurunkan tingkat kemacetan, melainkan juga mendorong masyarakat untuk menggunakan transportasi umum. Kendati demikian, transportasi umum di Jakarta agaknya masih dinilai kurang memadai, terutama dari segi waktu dan biaya.

Pertama, transportasi umum di Jakarta belum memiliki ketepatan waktu keberangkatan dan tiba sampai tujuan. Hal ini setidaknya berlaku untuk Transjakarta dan moda kereta rel listrik (KLR). Ketidakjelasan waktu akan menimbulkan inefisiensi seseorang jika salah memilih moda transportasi.

Kedua, kedua transportasi umum tersebut tidak terlepas dari berbagai hambatan, misalnya saja gangguan pada moda KRL yang bisa membuat KRL tertahan. Hambatan itu bisa merembet pada KRL setelahnya dan tidak ada jaminan apapun ketika hambatan itu terjadi. Hal itu pun bisa saja terjadi pada moda transportasi umum selain Transjakarta dan KRL.

Ketiga, seseorang yang mengandalkan transpotasi umum memiliki waktu perjalanan yang lebih lama daripada menggunakan transportasi pribadi. Transportasi umum belum tentu bebas dari kemacetan.

Terakhir, faktor jarak antara tempat tinggal dan tujuan seperti sekolah, kantor, wisata, dan sebagainya juga menjadi faktor yang penting dalam mewujudkan keberhasilan kebijakan ERP. Hal ini juga dipengaruhi oleh banyaknya komuter yang tinggal di kota pinggiran Jakarta, namun meniti karir maupun menuntut ilmu di Jakarta.

Berbeda dengan Singapura, mereka memiliki desain perkotaan dimana letak antara tempat tinggal dan tempat tujuan tersebut saling berdekatan ditambah dengan fasilitas transportasi umum yang baik.

Adapun, dengan keadaan transportasi umum yang dapat dinilai menjadi pilihan kurang efisien, pemerintah justru akan menaikkan tarif moda KRL.

Lantas, jika kebijakan ERP diterapkan, bagaimana dampaknya?

Tingkatkan Kendaraan Bermotor?

Pemberlakuan kebijakan jalan berbayar akan mempengaruhi pertimbangan opportunity cost bagi pengguna kendaraan. Idealnya, para pengguna kendaraan bermotor dan mobil dapat beralih ke transportasi umum.

Namun, alih-alih memberikan tarif yang lebih terjangkau, pemerintah justru akan mengurangi subsidi dan berencana untuk menaikkan tarif moda KRL yang biasa dimanfaatkan para komuter. Jika rencana tersebut dilaksanakan, maka kemungkinan para pengguna KRL akan beralih menggunakan kendaraan pribadi, terutama motor.

Sesuai data survei komuter Jabodetabek 2019, tanpa mempertimbangkan pandemi Covid-19, sebanyak 11 persen dari 29 juta penduduk Jabodetabek yang berusia 5 tahun ke atas merupakan penduduk komuter. Berdasarkan data tersebut, sebanyak 80,5 persen kegiatan utama mereka yakni bekerja.

Jika dilihat berdasarkan rata-rata penghasilan per bulan secara total, mayoritas para komuter mengandalkan transportasi sepeda motor, disusul mobil dan moda KRL saat pergi dan pulang. 

Data tersebut juga menunjukkan lebih dari 50 persen pekerja komuter yang memiliki penghasilan di atas Rp 5 juta mengandalkan sepeda motor untuk pergi dan pulang. Dengan demikian, data tersebut dapat mengindikasikan bahwa moda transportasi motor dinilai lebih efisien dan ekonomis, ditambah jika masyarakat komuter tidak tinggal dekat dengan stasiun.

Intepretasi data itu senada dengan salah satu poin hasil penelitian berjudul Spatial Sorting of Rich Versus Poor People in Jakarta yang ditulis oleh Kyri Maaike Joey Janssen, Peter Mulder, dan Muhammad Halley Yudhistira.

Janssen, Mulder, dan Yudhistira mengatakan pada salah satu poin bahwa motor ternyata memang merupakan moda transportasi yang paling diandalkan dan paling cepat bagi kaum miskin perkotaan.

Selain itu, mereka juga mengungkapkan bahwa motor merupakan moda transportasi terpenting bagi kaum miskin kota ketimbang angkutan umum serta dinilai sebagai moda transportasi tercepat ketimbang mobil. Umumnya, motor digunakan untuk jarak tempuh hingga 15 kilometer.

Jika skenario kebijakan ERP diterapkan, justru kemungkinan akan memperbanyak dan merugikan pengguna transportasi motor, lantas apakah kebijakan ERP benar-benar sudah tepat?

Sudah Layak?

Setidaknya terdapat beberapa catatan yang perlu dijadikan sebagai pertimbangan jika ingin mempertimbangkan penerapan kebijakan ERP.

Pertama, menimbang pengurangan tarif subsidi moda KRL yang berbarengan dengan wacana kenaikan subsidi pembelian mobil listrik bisa jadi mengindikasikan bahwa pemerintah berusaha meraup pendapatan demi mewujudkan ambisinya terhadap kendaraan listrik.

Selain itu, jika dilihat berdasarkan data anggaran subsidi public service obligation (PSO) pada tahun 2021 penyaluran untuk PT KAI, induk perusahaan KCI nilainya jauh lebih kecil dibanding subsidi energi. Penyaluran PSO untuk KRL Jabodetabek dan Yogyakarta-Solo nilainya hanya sekitar Rp 1,9 triliun.

Kedua, pemerintah perlu melakukan penyesuaian tarif transportasi umum yang lebih terjangkau, bukan hanya dari moda KRL. Penelitian Bank Dunia berjudul Affordability and Subsidies in Public Urban Transport: What Do We Mean, What Can Be Done? yang ditulis oleh Nicolás Estupiñán, Andrés Gómez-Lobo, Ramón Muñoz-Raskin, dan Tomás Serebrisky menyatakan nilai belanja transportasi seharusnya maksimal hanya sebesar 10 persen dari pendapatan bulanan.

Jika mengacu pada penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pada 2013, nilai pengeluaran pengguna KRL Jabodetabek untuk transportasi yakni sebesar 32 persen dari pendapatan bulanan. Nilai itu sudah diakumulasikan dengan ongkos transportasi lainnya yang dipengaruhi oleh adanya jarak dari dan menuju stasiun.

Ketiga, penyedia jasa transportasi umum di Jakarta setidaknya tidak hanya memperbanyak kuantitas, melainkan juga kualitas pelayanan yang mampu mengindari berbagai gangguan serta memberikan jaminan ketepatan waktu datang dan tiba sampai tujuan.

Penyedia jasa transportasi umum perlu memberikan kenyamanan. Idealnya, faktor efisiensi transportasi menjadi yang utama yang perlu dibenahi di samping keterjangkauan tarif.

Selain itu, berdasarkan catatan dan penjelasan di atas, sejauh ini kebijakan ERP agaknya dapat dikatakan belum mampu untuk menjawab permasalahan kemacetan di Jakarta. Kebijakan best practice Singapura belum tentu cocok diterapkan di Jakarta dari segi sosial dan ekonomi.

Hal itu dikarenakan kebijakan ERP bisa jadi hanya berdampak bagi kelas menengah-bawah yang mengandalkan moda transportasi motor dan berpotensi hanya memindahkan kemacetan belaka.

Oleh karena itu, pemerintah perlu fokus dalam membenahi transportasi umum terlebih dahulu sebagai “modal” utama sebelum mengimplementasikan kebijakan ERP, terutama dari segi efisiensi modal dan waktu. (Z81)

Exit mobile version