Site icon PinterPolitik.com

Sudah Semestinya NasDem “Dimusuhi” PDIP?

surya paloh megawati

Surya paloh dan megawati (Foto: TEMPO/Imam Sukamto)

Gelagat politik PDIP seolah memiliki tendensi negatif ke Partai NasDem setelah isu perombakan kabinet atau reshuffle muncul dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Jika ditelaah dari filosofi warna sebagai identitas partai politik (parpol), keduanya memang sudah semestinya saling “bermusuhan”. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com 

Kemesraan antara PDIP dan Partai NasDem yang sudah terjalin sejak Pemilu 2014 akan berakhir. Tanda berakhirnya kemesraan PDI-P dan NasDem juga terlihat setelah manuver politik Partai NasDem yang telah mendeklarasikan akan mengusung Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden (capres) pada Pilpres 2024 dan tergabung dalam sebuah proyeksi gabungan partai politik (parpol) bernama Koalisi Perubahan dengan ditemani Partai Demokrat dan PKS. 

Tanda semakin jelas kemesraan hubungan PDIP dan Partai NasDem akan berakhir muncul, ketika elite PDIP Djarot Syaiful Hidayat secara terang-terangan mengatakan bahwa Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Men LHK) Siti Nurbaya yang merupakan kader Partai NasDem perlu dievaluasi karena dinilai tidak mendukung penuh kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Meskipun evaluasi menteri dan reshuffle kabinet adalah hak prerogratif presiden, namun hal tersebut tampaknya menunjukkan eksistensi keretakan hubungan PDIP dan partai besutan Surya Paloh itu. 

Seperti yang diketahui, hubungan PDI-P dan Partai NasDem selama ini cukup harmonis sejak mendukung Jokowi di Pilpres 2014. Partai NasDem menjadi salah satu parpol yang berperan penting dalam mengantarkan Jokowi menjadi presiden selama dua periode. 

Partai NasDem juga seolah selalu berada dibelakang pemerintahan Jokowi bersama PDI-P. Dukungan itu pun diganjar dengan penempatan kader-kader mereka di jajaran menteri kabinet pemerintahan sejak 2014. 

Meski telah mendeklarasikan Anies Baswedan, yang diduga sebagai pemantik keretakan, Partai NasDem telah mengatakan akan tetap berkomitmen untuk mendukung pemerintahan Jokowi sampai akhir masa jabatan. 

Lantas, mengapa hak yang dimiliki Partai NasDem dalam mengusung siapapun capres di 2024 seolah tidak disenangi oleh PDIP? Serta, apa yang dapat dimaknai dari intrik politik tersebut? 

PDIP Alergi Biru? 

Pada 9 Oktober lalu Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristianto mengeluarkan pernyataan yang menyindir NasDem yang indentik dengan warna biru dengan kata “biru lepas dari Jokowi”. 

Menariknya, pernyataan ini seolah menjadi pemantik keretakan dikarenakan keluar setelah manuver politik dan deklarasi yang dilakukan Partai NasDem untuk mengusung Anies sebagai capres di Pilpres 2024. 

Berpisahnya haluan politik diantara PDIP dan Partai NasDem jelang Pilpres 2024 tampaknya mengulang kisah Pemilu 2004. 

Saat itu Megawati Soekarnoputri yang menjabat sebagai presiden dan calon petahana, ditinggalkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang saat itu mundur dari jabatan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam) untuk maju melawan sang mantan atasan di Pilpres 2004 dengan partainya sendiri yakni Partai Demokrat. 

Sejak saat itu PDI-P yang identik dengan warna merah dan Partai Demokrat yang identik dengan warna biru selalu bersebrangan. 

Selama dua periode pemerintahan SBY periode 2004-2014, PDI-P selalu berada bersebrangan dengan pemerintah dan bertindak sebagai partai oposisi. Partai yang dinahkodai Megawati tersebut selalu terdepan menjadi pengkritik kebijakan di era SBY. 

Rivalitas merah dan biru ini kemungkinan akan terulang di Pilpres 2024 mengingat tensi politik antara PDI-P (merah) dan Partai NasDem (biru) sedang memanas. Dengan sejenak mengesampingkan PAN, Partai Demokrat pun kebetulan memiliki probabilitas koalisi yang besar dengan Partai NasDem. 

Dalam politik sendiri, warna selalu dikontruksikan menjadi salah satu identitas entitas parpol. 

Secara filosofis warna bukan benda hidup dan tidak bisa berbunyi tetapi bisa “berbicara”. Dalam konteks ini, warna mempunyai sifat fleksibel bila diaplikasikan ke berbagai objek dan subjek. 

Sulastri Darmaprawira W.A dalam bukunya “Warna: Teori dan Kreativitas Penggunaanya”, berpendapat bahwa warna mempunyai pengaruh terhadap emosi dan asosiasinya terhadap macam-macam pengalaman. 

Oleh karena itu, setiap warna mempunyai arti perlambangan dan makna yang bersifat mistik. Warna secara emosional juga mempunyai simbol sesuai dengan fungsi dan penerapannya. 

“Politik warna” di Indonesia bisa dirunut, setidaknya sejak peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI. Ketika Orde Lama (Orla) tumbang dan digantikan Orde Baru (Orba), warna seolah menjadi tidak netral lagi dan bahkan kerap menjadi senjata politik. 

Di era Orba warna menjadi hal yang sangat sensitif. Partai penguasa kala itu, Golkar menyebarkan propaganda lewat warna kuning khasnya. Di sisi lain, warna “merah” menjadi representasi antagonis yang dikonstruksikan kala itu, meski kemudian “dibangkitkan” sebagai operasi politik Soeharto dan Ali Moertopo yang melahirkan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). 

Dalam mitologi jawa, warna bisa dihubungkan dengan karakter manusia. Warna merah dalam mitologi jawa memberi artian trengginas (cekatan), terampil, dan mapan. Sementara warna biru memberi pengertian sabar. 

Dalam politik di berbagai macam negara warna suatu partai menggambarkan ideologi atau pandangan politik sebuah parpol. Warna merah berhubungan dengan partai konservatif atau sayap kiri, sementara warna biru berhubungan dengan partai yang demokratis dan menjunjung kebebasan atau sayap kanan. 

Hal ini bisa dilihat di negara seperti Amerika Serikat warna merah dan biru akan selalu bersebrangan. Warna merah identik partai Republik, sementara warna biru identik dengan partai Demokrat. 

Rivalitas merah – biru dalam politik bukan suatu hal yang kebetulan, warna sudah menjadi identitas politik bagi sebuah partai di berbagai negara. Banyak partai di dunia yang merepresentasikan pandangan atau ideologi mereka lewat sebuah warna. 

Lalu, meski seolah PDIP, Partai NasDem plus Partai Demokrat telah “dipisahkan” sekaligus “dipersatukan” dalam konteks warna, akankah ini bermakna tertentu bagi konstelasi politik di 2024 mendatang? 

PDIP-NasDem Bisa Rujuk? 

Beberapa parpol parlemen tampaknya sudah menentukan mana yang akan bertindak sebagai kawan dan lawan untuk menghadapi Pilpres 2024. Meskipun pendaftaran untuk capres dan cawapres masih cukup jauh, namun ada koalisi yang sudah memantapkan siapa nama yang akan diusung dalam Pilpres. 

Koalisi Perubahan (KP) yang kemungkinan besar akan diisi Partai NasDem, Partai Demokrat dan PKS sudah hampir pasti satu suara untuk mengusung nama Anies Baswedan sebagai capres di 2024. Penjajakan ketiga parpol ini hampir pasti memasuki tahap akhir, yaitu kata sepakat. 

Sementara dua koalisi lainnya masih belum satu suara dalam menentukan nama capres dan cawapres yang akan diusung. Seperti misalnya yang diperlihatkan KIB yang tampaknya masih menunggu PDIP menentukan pilihan, meskipun penjajakan politik terus dilakukan. 

Bergabungnya PDIP sendiri sebagai pemenang pemilu sebelumnya dengan KIB kiranya akan memberikan dampak yang berarti untuk parpol yang berada dalam koalisi tersebut. 

Selain itu,  KIB seolah masih berharap PDIP bergabung dan memberi restu pada Ganjar Pranowo untuk maju dalam Pilpres 2024 mengingat sejumlah kader di tiga parpol itu memiliki ekspektasi positif terhadap sang Gubernur Jawa Tengah. 

Sedangkan, koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) yang diisi Partai Gerindra dan PKB tampak masih belum satu suara dalam menentukan siapa capres yang akan diusung nantinya. Meskipun Partai Gerindra masih bersikukuh bahwa Prabowo Subianto yang akan diusung, PKB pun tampak masih ngotot sang ketum Muhaimin Iskandar atau Cak Imin juga pantas maju sebagai kandidat RI-1. 

Semua dinamika politik yang terjadi saat ini sendiri agaknya masih mungkin akan berubah 180 derajat. Semua kemungkinan juga kiranya masih akan terjadi sampai detik terakhir pendaftaran nama capres dan cawapres ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Sebagaimana yang dikatakan oleh pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga, semua koalisi masih rawan untuk bubar karena masih belum adanya ikatan yang sangat kuat. 

Dia menilai peta politik untuk Pilpres 2024 ini masih ambigu, karena masih adanya dilema yang terjadi antar parpol. 

Mirisnya dibalik semua itu, dinamika politik yang terjadi saat ini seolah  tidak memberikan ruang untuk rakyat menentukan siapa calon yang tepat untuk bertarung dalam Pilpres 2024 nanti. 

Semua nama seakan-akan dilandasi oleh ego dari masing-masing partai karena melihat elektabilitas nama calon tersebut. Seperti nada satir yang dikatakan oleh Clifford Geertz dalam buku Negara Teater, sebagai penonton teater, rakyat hanya bisa menikmati. (S83)

Exit mobile version