Peran NATO kerap kali dipertanyakan. Runtuhnya Uni Soviet ketika Perang Dingin berakhir, membuat pakta pertahanan tersebut kehilangan maknanya. Baru-baru ini, pemerintah Tiongkok bahkan menyebutkan sudah seharusnya NATO dibubarkan. Bisakah anggapan tersebut dibenarkan?
Peran North Atlantic Treaty Organization atau NATO menjadi salah satu sorotan utama dalam konflik Rusia-Ukraina. Sebagai aliansi militer yang terdiri dari negara-negara besar seperti Prancis, Jerman, dan tentunya Amerika Serikat (AS), NATO diharapkan dapat menggunakan pengaruhnya untuk meredam konflik secepat mungkin.
Namun, yang terjadi malah sebaliknya.
Sikap negara-negara anggota NATO terpecah. Di satu sisi, AS ingin menghukum Rusia sekuat mungkin dengan menjatuhkan sejumlah sanksi ekonomi, tetapi ini malah melahirkan permasalahan krisis energi, dan menyengsarakan warga Eropa yang selama ini bergantung pada sumber energi Rusia.
Namun di sisi lain, Prancis dan Jerman bersikap setengah-setengah dalam menunjukkan sikap yang keras pada Rusia karena mereka pun sadar Eropa masih membutuhkan hubungan diplomatis yang sehat dengan negara pimpinan Vladimir Putin tersebut.
Yang tidak kalah menariknya adalah, NATO sendiri sebagai suatu kesatuan tidak bisa terjun langsung ke tengah konflik, dengan alasan berpotensi memperparah keadaan.
Tapi, mereka pun enggan membuka dialog damai untuk memastikan pada Rusia bahwa Ukraina tidak akan masuk NATO. Banyak orang melihat ini karena adanya dorongan dari AS untuk tidak tunduk pada Rusia.
Kritik pada NATO yang paling pedas barangkali berangkat dari pernyataan pemerintah Tiongkok. Juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Tiongkok, Zhao Lijian mengatakan NATO seharusnya sudah dibubarkan sejak 30 tahun yang lalu.
Hal tersebut masuk akal, mengingat NATO sendiri awalnya didirikan untuk menjawab ancaman yang muncul dari Uni Soviet dan Pakta Warsawa. Setelah Uni Soviet runtuh, bisa dikatakan saat ini NATO sudah tidak memiliki musuh.
Tidak hanya itu, Lijian juga menilai keberlangsungan NATO di era modern perlu dikritisi, karena menurutnya AS telah menggiring NATO sebagai penyulut konflik di Eropa Timur, termasuk kasus Ukraina.
Lantas, dapatkah pernyataan Tiongkok kita benarkan, bahwa sudah saatnya NATO dibubarkan?
Sudah Ketinggalan Zaman?
Sebelum mengarahkan pasukannya ke Ukraina, Putin selalu mengatakan NATO perlu lebih membatasi ekspansinya, khususnya ke wilayah Eropa Timur. Tetapi, apakah pernyataan Putin tersebut benar, atau hanya klaim sepihak?
Well, kalau kita selidiki, faktanya memang NATO telah memperluas pengaruhnya ke seluruh benua Eropa, hampir setiap tahun. Semenjak tahun 2000 sampai sekarang, NATO telah mendapatkan 11 negara anggota baru. Terakhir, NATO merekrut Makedonia Utara pada tahun 2020.
Meski barangkali NATO tidak benar-benar akan menjadikan Ukraina sebagai anggota, kenyataan bahwa NATO selalu menggantungkan nasib Ukraina sebelum invasi Rusia terjadi membuktikan bahwa eksistensialisme NATO itu sendiri tetap berpotensi menciptakan konflik.
Pandangan seperti ini juga diisyaratkan oleh John J. Mearsheimer dalam tulisannya Why the Ukraine Crisis is the West’s Fault. Di dalamnya, Mearsheimer berargumen bahwa hanya dengan tidak berambisi menjadikan Ukraina sebagai negara netral, NATO sesungguhnya terang-terangan menghadirkan ancaman pada Putin.
Dengan sikap yang demikian, bahkan mungkin kita juga bisa mengatakan bahwa NATO secara sadar menjadikan Rusia sebagai musuh.
Terkait itu, Anthony Matthew dalam artikelnya It’s Time NATO Came to an End, menilai runtuhnya Uni Soviet dan Pakta Warsawa telah membuat NATO tidak lagi memiliki musuh. Hal itu menurut Matthew menjadikan NATO sebagai aliansi yang ketinggalan zaman.
Seiring perkembangan waktu, NATO menemukan dirinya terjebak dalam krisis eksistensialisme. Bagaimana cara mengatasinya? Tentu dengan menciptakan musuh baru, yang tidak lain adalah Rusia.
Cukup mudah untuk memprovokasi Rusia menjadi musuh baru Barat. NATO hanya perlu melakukan sejumlah provokasi seperti dengan memperluas keanggotaan hingga ke perbatasan Rusia, dan menempatkan pasukan tidak jauh dari Moskow.
Situasi kemudian diperparah dengan bagaimana NATO itu sendiri dijalankan. Rami Rayess dalam artikelnya The Proposed European Army with Global Influence will Replace NATO, mengatakan selalu ada pandangan yang bertentangan dalam internal NATO tentang perumusan strategi, penempatan pasukan, dan siapa yang harus berkontribusi pada apa.
NATO pun disebut terlalu bergantung pada AS, mulai dari anggaran, sampai personel militer. Sebagai dampaknya, hal itu telah menghambat potensi Eropa untuk muncul sebagai kekuatan geopolitik yang mandiri, karena mereka harus terus disetir oleh AS.
Padahal secara politik dan ekonomi, saat ini Eropa tampak mulai memiliki agendanya sendiri. Eropa memiliki nilai perdagangan yang krusial dengan Rusia, khususnya dalam sektor energi. Begitu juga dengan Tiongkok yang dalam lima tahun terakhir telah menjadi mitra dagang terbesar Eropa setelah AS.
Seperti yang kita tahu, kedua negara tadi adalah rival besar AS, dan karenanya, AS mempunyai justifikasi untuk membujuk Sekutunya di NATO untuk sewaktu-waktu memusuhi Rusia dan Tiongkok.
Menariknya, dalam beberapa tahun terakhir Eropa mulai memunculkan kembali wacana European Army, yaitu sebuah satuan pasukan imajinasi Uni Eropa. Pertama kali dimuculkan pada tahun 1950, wacana ini diharapkan dapat membuat pertahanan Eropa lebih mandiri dan tidak bergantung pada AS. Tujuan utama lainnya adalah agar Eropa tidak diajak ke konflik-konflik yang merugikan mereka.
Ide pasukan imajinasi ini digaungkan salah satunya oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron. Pada tahun 2018, Macron menyebutkan sudah saatnya Eropa mewujudkan European Army.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa ketidak bergantungan pada NATO sesungguhnya adalah hal yang sangat diinginkan oleh Eropa. Dan melihat perkembangannya sekarang, tidak sulit untuk meyakini bahwa ini adalah momennya NATO dibubarkan.
Lantas, jika Eropa perlu ‘dimerdekakan’ dari NATO, bagaimana kemudian kira-kira respons AS?
Eropa, Musuh AS?
Dalam sebuah artikel hasil wawancara dengan The Economist berjudul Emmanuel Macron Warns Europe: NATO is Becoming Brain-Dead, Macron menyampaikan pandangan yang menarik.
Menurutnya, selama Eropa bergantung pada AS, NATO akan menjadi organisasi yang “brain-dead” atau tidak berguna. Macron menilai, AS berulang kali menunjukkan bahwa mereka tidak lagi memihak Eropa.
Ini dicontohkan dengan keluarnya AS dari perjanjian nuklir bernama Intermediate-Range Nuclear Forces Treaty (INFT), menjatuhkan sanksi ekonomi pada Rusia, dan menghambat hubungan ekonomi dengan Rusia dan Tiongkok.
Karena itu, Macron menilai Eropa saat ini tengah berdiri di “tepi jurang”, dan mereka perlu mulai memikirkan dirinya sendiri secara strategis sebagai kekuatan geopolitik, bukan sekadar untuk jadi pemain internasional, tetapi juga untuk keberlangsungan hidupnya. Jika tidak, Eropa tidak akan mampu mengendalikan nasibnya sendiri.
Pandangan untuk memisahkan Eropa dari AS sesungguhnya sudah muncul dari era Perang Dingin oleh mantan Presiden Uni Soviet, Mikhail Gorbachev, dengan istilah Common European Home. Meski pada saat itu konsep tersebut lebih bersifat propaganda, demi menjauhkan pengaruh AS di Eropa.
Walau begitu, tampaknya untuk saat ini ide tersebut kembali menjadi solusi yang menggiurkan bagi Eropa. Tapi sayangnya, hal itu sepertinya sudah disadari AS.
Noam Chomsky dalam artikel hasil wawancara Truthout, Chomsky: Peace Talks in Ukraine “Will Get Nowhere” If US Keeps Refusing to Join, menilai sangat mungkin AS memanfaatkan konflik Ukraina untuk meredam bangkitnya Eropa.
Karena itu, Chomsky menyebut, sepertinya bisa diasumsikan bahwa AS dan Rusia telah bergerak ‘seirama’ di belakang layar. Dengan terus memanas-manasi konflik Ukraina, Eropa yang sejak Perang Dingin ingin menjadi entitas politik yang bebas dari kekangan kekuatan AS, menjadi terhambat.
Sebagai kesimpulan, bisa dikatakan bahwa memang sudah saatnya NATO dibubarkan, organisasi tua tersebut berpotensi untuk menciptakan musuh yang sesungguhnya tidak perlu dilawan. Ke depannya, ini tentu dapat merusak kestabilan politik dunia.
Di sisi lain, jika AS mengizinkan pembubaran NATO, maka itu dapat memperkuat Eropa, sehingga segenting apapun keadaannya, bubar atau tidaknya NATO bergantung pada keputusan AS.
Tapi kalau kita lihat perkembangannya sekarang, sepertinya AS belum menginginkan Eropa menjadi pemain kuat. (D74)