Politikus PDIP Budiman Sudjatmiko menyayangkan pasifnya partai-partai politik (parpol) di Indonesia yang tidak memiliki sikap jelas dan tegas terkait polemik kehadiran Presiden Rusia Vladimir Putin dalam KTT G20 2022 pada November mendatang. Apakah sudah saatnya para pemimpin parpol seperti Megawati Soekarnoputri angkat bicara soal Putin?
“Seribu kawan terlalu sedikit. Satu musuh terlalu banyak”
Siapa yang tidak punya teman? Hampir semua orang pasti setidaknya memiliki satu teman yang dipercayainya. Hubungan pertemanan seperti ini juga berlaku dalam dunia politik – baik dalam politik domestik maupun politik internasional. Pertemanan yang terbangun antara Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketum Gerindra Prabowo Subianto, misalnya, menjadi salah satu contoh jalinan perkawanan yang hangat – dengan seporsi nasi goreng yang hangat yang disajikan di Teuku Umar, Jakarta, pada tahun 2019 silam.
Namun, teman Megawati bukan hanya Prabowo seorang. Ketum PDIP tersebut juga memiliki sejumlah teman di luar negeri.
Salah satunya adalah Presiden Rusia Vladimir Putin. Bagaimana tidak? Megawati mendapatkan penghargaan dan bintang jasa Order of Friendship dari Presiden Rusia tersebut pada tahun 2020 – meski baru bisa benar-benar diserahkan pada tahun 2021.
Penghargaan dari Putin ini juga menjadikan Megawati sebagai warga negara Indonesia (WNI) pertama yang memperoleh bintang jasa itu. Boleh jadi, Ketum PDIP tersebut memang menjadi salah satu sosok yang membekas di hati Putin.
Namun, sebagai seorang teman, tentunya punya keharusan untuk mengingatkan ketika salah. Saat berkeluh kesah, misalnya, sosok seorang teman kerap menjadi tempat mencari saran dan solusi yang pas ketika menghadapi masalah.
Kini, Putin menjadi salah satu pemimpin negara yang paling disoroti oleh banyak pihak di seluruh dunia. Masyarakat Indonesia sendiri disebut-sebut semakin mengidolakan Putin di tengah konflik yang meletus antara Rusia dan Ukraina.
Tidak hanya masyarakat Indonesia, pemerintah kini juga harus mempertimbangkan sosok Putin yang kabarnya akan berkunjung ke Indonesia pada November 2022 nanti untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali. Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) akhirnya mendapatkan tekanan dari berbagai negara – utamanya Amerika Serikat (AS) – untuk tidak mengundang Presiden Rusia tersebut.
Di tengah polemik soal Putin ini, WNI pertama yang menerima bintang jasa dari Rusia tersebut justru terlihat diam. Politikus PDIP Budiman Sudjatmiko menyayangkan pasifnya partai-partai politik (parpol) dalam menyikapi polemik kehadiran Putin di KTT G20 2022 ini.
Mengacu pada pernyataan Budiman tersebut, bukan tidak mungkin muncul sejumlah pertanyaan di benak masyarakat. Apa sebenarnya peran yang dimiliki oleh parpol dalam politik internasional? Lantas, mengapa parpol-parpol di Indonesia justru lebih memilih diam untuk menyikapi isu Ukraina-Rusia ini?
Berkaca dari Parpol Luar Negeri
Sebuah negara pasti memiliki arah dalam politik luar negerinya. Dalam menentukan berbagai kebijakan luar negeri yang diambil, terdapat sejumlah individu dan kelompok yang bisa mempengaruhi.
Dalam studi hubungan internasional, ada sejumlah tingkatan guna memahami perubahan arah politik luar negeri suatu negara. Di tingkat pertama, ada individu yang biasanya memegang kewenangan tertinggi dalam menentukan politik luar negeri (foreign policy).
Di tingkat yang lain, ada kelompok yang terdiri dari sejumlah individu yang bisa menentukan arah politik luar negeri. Biasanya, kelompok ini terdiri dari para pemangku kepentingan, penasihat kebijakan, atau parpol.
Parpol, misalnya, memiliki preferensi kebijakan yang bisa mempengaruhi arah kebijakan luar negeri pemerintahan yang berkuasa. Biasanya, parpol penguasa lah yang memiliki andil besar dalam menentukan arah politik luar negeri yang diambil.
Kala Presiden AS Donald Trump berkuasa, misalnya, politik luar negeri yang diambil negeri Paman Sam tersebut sangat merefleksikan preferensi kebijakan Partai Republik yang bersifat konservatif dan nasionalis. Inilah mengapa Trump mengeluarkan semacam doktrin cenderung isolasionistis yang disebut sebagai America First – berbeda dengan Partai Demokrat yang lebih bersifat kooperatif (dovish).
Tapio Raunio dan Wolfgang Wagner dalam tulisan mereka yang berjudul The Party Politics of Foreign and Security Policy menjelaskan posisi politik parpol juga menentukan kebijakan luar negeri yang diambil. Biasanya, ini juga berkaitan dengan ideologi yang dipegang oleh parpol bersangkutan.
Kita bisa menggunakan fenomena Brexit – proses keluarnya Britania Raya (Inggris) dari Uni Eropa (UE) – sebagai salah satu contohnya. Meski referendum telah dilakukan pada tahun 2016, berbagai negosiasi dan perdebatannya pun berlangsung hingga tahun 2020.
Partai Konservatif – yang mana merupakan partai Perdana Menteri (PM) Boris Johnson – mendukung keluarnya Britania Raya dari UE dengan sejumlah kesepakatan. Di sisi lain, Partai Buruh (Labour) lebih ingin memberikan kesempatan kembali pada rakyat untuk memilih di referendum – antara keluar dengan kesepakatan baru atau tetap tinggal di UE.
Tidak hanya di AS dan Britania Raya, peran parpol dalam politik luar negeri juga berlaku di salah satu negara Asia Timur yang tidak mendapatkan pengakuan kedaulatan secara tradisional, yakni Republik Tiongkok (Taiwan). Partai Progresif Demokrat yang menjadi partai PM Tsai Ing-wen, misalnya, lebih mendorong perolehan status Taiwan sebagai negara dan menolak pengaruh Republik Rakyat Tiongkok (RRT) – sementara Kuomintang mendukung kebijakan reunifikasi dengan RRT.
Bila berkaca pada besarnya peran parpol dalam menentukan arah kebijakan luar negeri di AS, Britania Raya, dan Taiwan, sejumlah pertanyaan pun muncul. Mengapa parpol-parpol di Indonesia justru lebih memilih banyak diam soal geopolitik? Mungkinkah ada alasan tertentu?
Saatnya Megawati Tegur Putin?
Seperti yang disebut oleh Budiman, isu geopolitik terkait konflik antara Rusia dan Ukraina menjadi isu geopolitik yang paling ramai dibahas oleh warganet Indonesia. Tentunya, isu politik internasional juga bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia – misal soal isu Palestina-Israel dan konflik di Suriah.
Jika melihat bagaimana besarnya antusiasme masyarakat untuk membahas isu geopolitik, sudah menjadi hal alamiah bahwa parpol juga mengangkat topik-topik ini. Namun, pada nyatanya, parpol memilih untuk lebih pasif soal polemik kehadiran Putin di KTT G20 di Bali pada November 2022 mendatang.
Bukan tidak mungkin, ini berkaitan dengan budaya politik yang berlaku dalam dinamika politik Indonesia. Bila mengacu pada buku Benedict Anderson yang berjudul Language and Power, budaya politik dan konsepsi kekuatan ala Jawa telah tertanam dalam cara-cara politik di Indonesia.
Satu hal yang unik dengan budaya politik ala Jawa adalah harmoni. Bagaimana pun, harmoni adalah tujuan utama yang kerap diupayakan oleh para aktor politik. Kata tentrem dan narima, misalnya, menjadi dua nilai yang perlu dijalankan dalam budaya dan tradisi Jawa.
Menjadi masuk akal apabila doktrin politik luar negeri Indonesia mengambil prinsip bebas dan aktif – sehingga meminimalisir kemungkinan adanya gesekan dengan negara dan kekuatan-kekuatan besar lainnya, serta menciptakan harmoni sebisa mungkin. Ini terlihat dari prinsip mufakat dan non-interferensi yang diadopsi oleh Association of Southeast Asian Nations (ASEAN).
Meski begitu, pasifnya parpol dalam diskursusnya bukan berarti mereka tidak berpartisipasi dengan aktor-aktor politik luar negeri. Tidak jarang, mereka juga menjalin komunikasi dan kerja sama dengan parpol-parpol asing.
PDIP, misalnya, tidak dapat dipungkiri memiliki jalinan kerja sama dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT). Megawati pun sempat mengucapkan selamat kepada PKT di hari jadinya ke-100 pada Juli 2021 lalu.
Jalinan parpol sebagai aktor politik domestik dengan entitas-entitas politik luar negeri sebenarnya sudah menjadi rahasia umum juga. Seperti yang dijelaskan oleh Damien D. Cheong dan rekan-rekannya dalam tulisan Foreign Interference in Domestic Politics, kekuatan-kekuatan asing bisa saja mengembangkan (cultivate) jalinan tertentu dengan aktor domestik.
Dengan bersifat “bebas dan aktif” – ditambah lebih memilih pasif berkomentar langsung, bukan tidak mungkin parpol-parpol Indonesia berusaha menjaga otonomi strategis (strategic autonomy) yang dimilikinya. Ini akan menciptakan fleksibilitas bagi parpol untuk menjalin hubungan dengan entitas politik luar negeri mana pun – mengingat persaingan geopolitik antara kekuatan-kekuatan besar seperti RRT, Rusia, dan AS berjalan semakin panas.
Mungkin, inilah mengapa Megawati dan PDIP merasa tidak perlu untuk mengomentari – bahkan menegur – polemik yang ada terkait Putin. Seperti sebuah pepatah yang pernah dicuitkan oleh Prabowo, seribu kawan terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak. Bukan begitu? (A43)