Site icon PinterPolitik.com

Sudah Saatnya Hapus Fraksi di DPR?

Sudah Saatnya Hapus Fraksi di DPR?

Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah (Foto: Indozone)

Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah memberi usul agar fraksi di DPR sebaiknya dihapuskan. Menurutnya, fraksi membuat anggota DPR tidak menjadi wakil rakyat, melainkan wakil partai politik. Apakah usulan tersebut adalah jawaban yang kita cari?


PinterPolitik.com

Jika membaca berita terkait pernyataan anggota DPR, satu atribusi yang tidak bisa dihilangkan adalah dari mana fraksinya? Apakah dari PPP, PKS, Nasdem, PDIP, Gerindra, Golkar, dan seterusnya. Ketika ada pernyataan kurang tepat, umumnya akan dijawab itu bukan sikap resmi fraksi, melainkan pandangan pribadi anggota DPR yang bersangkutan. Konteks ini kemudian menimbulkan tanda tanya, apakah anggota DPR memiliki dua identitas, yakni sebagai perwakilan konstituen dan perwakilan partai politik?

Poin ini menjadi jantung kritik dari Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gelora Fahri Hamzah baru-baru ini. Menurut Fahri, dengan adanya sistem fraksi, anggota DPR tidak menjadi wakil rakyat atau wakil konstituennya, melainkan menjadi wakil partai politik. 

Kritik tersebut bertolak dari pengalaman pribadinya yang mendapat kritik, hingga dipecat oleh PKS karena memiliki sikap yang berbeda dengan partai sewaktu menjadi anggota DPR. “Saya sendiri memiliki yurisprudensi, makanya waktu itu saya melawan kendali partai, karena berpotensi mendistorsi kehendak rakyat menjadi kehendak parpol. Ini yang mesti kita lawan ke depan,” ungkap Fahri pada 13 Januari 2022.

Menurut Fahri, untuk melakukan reformasi politik, menghapus fraksi di DPR merupakan suatu keharusan. Bahkan menurutnya, sistem fraksi justru adalah tradisi totaliter seperti dalam tradisi negara komunis.

Dalam bukunya Buku Putih: Kronik Daulat Rakyat Vs Daulat Parpol, Fahri juga menjelaskan persoalan ini secara panjang lebar. Seperti judul bukunya, terdapat pertentangan kepentingan antara masyarakat yang hendak diwakili dengan partai politik tempat anggota dewan bernaung. 

Di sini, mungkin pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa fenomena yang digambarkan Fahri terjadi. Kemudian, apakah saran menghapus fraksi di DPR merupakan jawaban yang kita cari?

Minuman Gratis di Parlemen

Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly menjelaskan sebuah konsep yang dapat kita tarik sebagai akar dari fenomena yang dijelaskan Fahri. Dalam bagian bukunya yang berjudul Don’t Accept Free Drink, Dobelli menjelaskan tendensi psikologis manusia yang disebut dengan reciprocity atau efek timbal balik.

Mengutip studi yang dilakukan oleh psikolog Robert Cialdini, Dobelli menyebut seseorang mengalami kesulitan yang ekstrem, yakni perasaan bersalah atau tidak menyenangkan apabila mengabaikan utang atau jasa yang telah diberikan oleh orang lain. Perasaan-perasaan itulah yang kemudian menjadikan efek timbal balik kerap dialami oleh manusia.

Efek timbal balik ini disebut Dobelli sebagai salah satu strategi bertahan hidup paling berguna dalam sejarah umat manusia. Dengan adanya efek ini, manusia dapat menikmati berbagai sistem kemasyarakatan ataupun ekonomi, seperti koperasi, gotong royong, organisasi, keluarga, dan lain sebagainya.

Dalam frasa yang lebih umum, reciprocity tergambar dalam adagium there ain’t no such thing as a free lunch atau there is no such thing as a free lunch. Adagium “tidak ada makan siang gratis” menerangkan tidak ada sesuatu yang gratis — harus ada bayaran atau imbalan atas suatu kebaikan. 

Adagium ini memiliki referensi aktual yang mengacu pada tradisi bar-bar (saloons) di Amerika Serikat (AS) pada pertengahan abad ke-20. Saat itu, bar-bar di AS menyediakan makan siang gratis kepada pelanggan yang membeli setidaknya satu minuman. 

Menariknya, karena menu makanan yang diberikan banyak mengandung garam, pelanggan yang memakannya kemudian membeli minuman lagi karena kehausan. Dengan kata lain, makan siang yang didapatkan pada dasarnya tidak gratis karena itu adalah strategi untuk membuat pelanggan membeli minuman kembali. 

Kerangkeng Timbal Balik?

Konteks reciprocity  dan “tidak ada makan siang gratis” terlihat jelas dalam pernyataan Waketum Partai Gerindra Habiburokhman. “Ya enggak relevan dengan format tata kenegaraan kita. Rakyat itu kan enggak hanya memilih saya. Rakyat kan milih orang melalui partai,” ungkapnya ketika mengkritik pernyataan Fahri pada 16 Januari 2022 lalu.

Habiburokhman mencontohkan dirinya yang hanya dipilih oleh 76 ribu pemilih tetapi Partai Gerindra dipilih oleh 300 ribu pemilih. Karena pemilih tidak hanya memilih caleg bersangkutan, melainkan juga partai politiknya, maka menjadi tidak relevan untuk mengatakan anggota dewan yang terpilih melepaskan jubah kepartaiannya. 

Secara implisit, terdapat penegasan bahwa ada peran besar partai politik dalam menghantarkan politisi menjadi anggota DPR. Ini adalah reciprocity. Peran partai dalam menghantar politisi menjadi anggota dewan perlu dibalas dengan loyalitas. 

Bertolak dari pernyataan Habiburokhman, kita dapat menarik satu kesimpulan menarik. Sekalipun sistem fraksi dihapuskan di DPR, mengacu pada reciprocity, anggota dewan akan by nature merujuk pada partainya. Bukan hanya untuk melakukan balas jasa tetapi itu juga penting untuk menjaga kohesi dan soliditas partai politik.

Dalam bukunya Buku Putih: Kronik Daulat Rakyat Vs Daulat Parpol, Fahri sebenarnya menyadari penegasan Habiburokhman. Tulisnya, “Daulat partai politik ada pada kewenangannya untuk menentukan calon tetapi, ketika seseorang sudah terpilih, maka tersemat pada dirinya hukum tertinggi di republik yaitu sebagai pemegang mandat kuasa rakyat.”

Saran tersebut adalah saran normatif untuk mewujudkan pendewasaan demokrasi dan modernisasi partai politik. Fahri menegaskan bahwa partai politik adalah badan publik, bukan milik pribadi, dan bukan pula layaknya perusahaan yang dapat melakukan apa saja kepada anggotanya.

Penegasan-penegasan Fahri tentu tepat, dan harus didukung. Namun, kembali pada reciprocity, apakah para anggota dewan dapat melawan tendensi psikologisnya? Seperti pernyataan Habiburokhman, tidak semua anggota dewan seperti Fahri. Ada banyak yang terpilih karena peran suara partai.

Lantas, jika demikian yang terjadi, apakah permasalahan yang disebutkan Fahri tidak bisa diselesaikan?

Hapus Fraksi Bukan Solusi?

Di titik ini, kita perlu jernih agar tidak terjebak dalam questionable cause. Ini adalah kesalahan bernalar yang terjadi ketika seseorang keliru mengidentifikasi penyebab atas suatu kejadian. Dalam pandangan Fahri, tampaknya terdapat asumsi relasi kausal antara fraksi di DPR dengan sikap anggota dewan yang lebih mementingkan kehendak partai politik.

Terkait itu, pertanyaan vital yang harus diajukan adalah mengapa partai politik menekan kadernya di DPR untuk menjadi perpanjangan tangan partai. Apakah ini persoalan natural partai yang memang bersikap egois dan tidak mementingkan kehendak bersama (common good)? 

Jika demikian yang terjadi, maka tidak banyak yang dapat dibahas. Namun, bagaimana jika akarnya pada kemandirian finansial partai politik? 

Seperti yang kerap diungkap Fahri, ongkos politik kita begitu mahal. Pertanyaannya, dengan mahalnya biaya kampanye, serta mahalnya ongkos untuk menjalankan partai politik yang berisi ribuan hingga jutaan kader, apakah mungkin efek timbal balik dapat dihapuskan, atau setidaknya dikurangi? 

Dengan ongkos sebesar itu, sulit membayangkannya terjadi. Oleh karena itu, untuk menjawabnya perlu ada langkah untuk membuat partai politik tidak terlalu memikirkan logistik. Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Kenapa Partai Tidak Gugat Preshold 20 Persen?, telah diberikan saran untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, khususnya Pasal 40 ayat (4).

Dalam ketentuan Pasal 40 ayat (4), partai politik tidak diizinkan untuk mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha. Masalahnya, ketentuan tersebut membuat Pasal 40 ayat (3) dilanggar, yakni terjadi praktik lumrah partai dalam menerima sumbangan dari pihak asing, perseorangan, perusahaan atau badan usaha, serta menggunakan fraksi di berbagai lembaga pemerintahan sebagai sumber pendanaan.

Nah, jika perilaku “koruptif” partai seperti menetapkan mahar politik dan menekan anggota di DPR untuk menjadi perpanjangan tangan partai terjadi karena kesulitan memenuhi kebutuhan logistik, maka saran untuk merevisi Pasal 40 ayat (4) UU Partai Politik perlu untuk dipertimbangkan.

Jika tidak ingin direvisi, konsekuensinya adalah negara harus mendanai kampanye partai politik. Saran pendanaan dari negara ini sendiri telah banyak diutarakan oleh berbagai pihak. Namun, dengan anggaran negara yang terbatas, solusi ini sekiranya sulit untuk dilakukan. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version