Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yahya Cholil Staquf baru-baru ini mengatakan radikalisme adalah pilihan politik. Mereka yang menjadi radikal disebutnya ingin merubuhkan negara dan menciptakan sistem kekhalifahan. Sudah tepatkah narasi tersebut?
Sekiranya, sudah hampir dua dekade ini penggunaan kata “radikalisme” cukup populer dalam masyarakat Indonesia. Sering dikait-kaitkan dengan gerakan yang menginginkan adanya perubahan tatanan pemerintahan dan bernegara, radikalisme kemudian lekat dengan kelompok-kelompok berbasis agama tertentu, spesifiknya beberapa organisasi berbasis Islam.
Menanggapi persoalan radikalisme di Indonesia, Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yahya Cholil Staquf beberapa waktu yang lalu ikut bersuara. Ia mengatakan bahwa pihaknya akan memberi perhatian khusus untuk mengatasi dan mencegah masalah radikalisme secara mendalam, dan tepat sasaran.
Lebih lanjutnya, Yahya menyebutkan bahwa sudah saatnya permasalahan radikalisme dibawa keluar dari sekadar perdebatan teologis, karena jika terus beradu dalil, itu tidak akan selesai-selesai. Yahya berkeyakinan, untuk benar-benar mengatasi radikalisme, diperlukan juga pendekatan dari sisi politik karena menurutnya orang-orang yang memilih menjadi radikal adalah orang yang melihat pandangan tersebut sebagai pilihan politiknya.
Yahya menilai, radikalisme sebagai ideologi dan gerakan, berusaha untuk mengembalikan masyarakat dunia kembali ke tatanan politik sebelum Perang Dunia I, dan mereka ingin mewujudkan sebuah sistem dunia kekhilafahan. Orang-orang yang radikal menurutnya, selalu memaksaan kehendak untuk mengubah realitas politik yang berlaku, dan ini berkonsekuensi membawa kerusakan besar dalam berbagai bidang, termasuk peradaban itu sendiri.
Karena pada dasarnya radikalisme dianggap menginginkan adanya sistem khilafah, Yahya menilai kelompok radikal yang ada akan berupaya untuk “membubarkan” negara, yang dalam prosesnya tentu meminta korban ratusan bahkan miliaran nyawa umat manusia. Oleh karena itu, gerakan radikalisme, kata Yahya, tidak bisa diterima.
Dan karena radikalisme adalah pilihan politik, Yahya mengatakan dirinya dan PBNU juga akan mendiskusikan masalah ini dalam pemahaman politik dan dengan mempertimbangkan konsekuensi realistis dari pilihan-pilihan politik tersebut.
Lantas, apakah yang dikatakan Yahya benar, bahwa radikalisme merupakan sebuah pilihan politik dari pandangan agama, yang sedemikian jahatnya?
Baca juga: Politisasi Agama Lahirkan Radikalisme?
Radikalisme, Politik, dan Agama
Untuk menjawab pertanyaan di atas, pertama-tama kita terlebih dahulu harus membedah apa yang sebenarnya dimaksud dengan radikalisme. Secara etimologi, kata “radikal” dari radikalisme berangkat dari sebuah kosakata Latin, “radix”, yang artinya adalah akar atau mengakar dan mendalam.
Dari sini, banyak pengamat politik kemudian mengartikan radikalisme sebagai paham yang berangkat dari mempelajari sesuatu secara mendalam, kemudian menggunakan paham tersebut sebagai basis dari suatu gerakan sosial ataupun politik.
Astrid Bötticher dalam tulisannya Towards Academic Consensus Definitions of Radicalism and Extremism, mengatakan bahwa radikalisme sebagai suatu konsep, sudah ada jauh sebelum munculnya penggunaan kata terorisme ataupun ekstremisme. Dalam jangka waktu lebih dari dua ratus tahun, radikalisme mengalami perubahan makna. Pada awalnya, istilah ini digunakan dalam dunia medis dan baru menjadi istilah yang dilekatkan ke sikap politik pada akhir tahun 1790-an.
Bötticher mengatakan, pada saat awal-awal radikalisme digunakan sebagai doktrin politik, radikalisme mengilhami sejumlah gerakan republik dan nasional yang berkomitmen pada kebebasan dan emansipasi individu maupun kolektif, yang diarahkan untuk melawan hegemoni monarki dan aristokrat pada abad ke-18 dan 19 di Eropa. Pada saat itu, radikalisme sebagai ideologi dan gerakan politik kebanyakan menganut paham anti-pendeta, anti-monarkis, dan adalah gerakan pro-demokrasi.
Dengan demikian, Bötticher mengartikan radikalisme sebagai sebuah doktrin yang dianut secara mendalam oleh suatu gerakan sosial-politik, yang mendukung kebebasan individu dan kolektif, serta emansipasi dari aturan rezim pemerintah dan masyarakat yang terstruktur secara hierarkis.
Radikalisme sebagai ideologi cenderung sangat kritis terhadap status quo yang ada, dan mengejar tujuan restrukturisasi dan/atau reformasi struktur politik atau sosial. Namun, Bötticher menilai bahwa secara historis, gerakan radikal adalah pendorong utama dalam kemajuan menuju demokrasi yang lebih baik.
Dapatkah kita samakan definisi radikalisme di atas dengan apa yang disampaikan Gus Yahya? Well, inilah letak permasalahannya, karena selama ini belum ada definisi radikalisme di Indonesia yang bisa disepakati bersama-sama. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD pernah mengatakan bahwa definisi radikalisme mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 (UU Terorisme).
Ia menyebut radikalisme itu adalah tindakan melawan hukum untuk mengubah sistem pemerintahan. Bukan secara gradual melainkan secara radikal, dengan cara kekerasan. Tetapi, jika kita melihat UU Terorisme, radikalisme sebagai konsep tidak dijelaskan, malahan kata “radikal” hanya digunakan sebagai pelengkap untuk kata “terorisme”, dengan menghasilkan istilah baru, yaitu radikal terorisme.
Lalu, apakah yang dikatakan Yahya ternyata maksudnya adalah paham radikalisme yang diambil dari aspek keagamaan, bukan politik?
Jika demikian, maka konteksnya akan semakin rancu, karena sepertinya sudah menjadi pengetahuan umum bahwa jika kita ingin mempelajari agama, maka kita harus mengulik ajaran-ajarannya secara mendalam. Mantan Menteri Agama (Menag), Lukman Hakim Saifuddin juga pernah menegaskan bahwa belajar agama memanglah harus radikal agar memiliki keyakinan yang mengakar.
Lukman juga mengatakan, radikalisme sendiri tidak perlu dicegah, yang harus diperangi adalah efek negatif dari ekstremisme yang memaksa kehendak. Sementara radikalisme dalam konteks agama adalah pemahaman terhadap agama itu secara mengakar.
Dari sini, kita bisa melihat bahwa apa yang dinarasikan Yahya berpotensi jatuh ke dalam teori pelabelan dari sosiolog Amerika Serikat (AS), Howard S. Becker. Dalam bukunya Outsiders; Studies in the Sociology of Deviance, Becker menjelaskan bahwa aktor yang memegang kekuasaan sosial, baik itu pemerintah atau entitas lain yang berpengaruh, melampirkan stigmatisasi stereotip kepada kelompok tertentu, dengan harapan kelompok-kelompok tersebut dapat mengubah perilaku mereka setelah diberi label yang menyimbolkan suatu hal yang ditakuti atau dibenci masyarakat.
Dalam konteks Yahya, tentu ini adalah kosakata “radikalisme”.
Selain untuk menyetir kelompok yang bersifat radikal, pelabelan ini juga dapat berfungsi sebagai tindakan hukum yang bersifat preemptive atau mendahului karena pihak-pihak yang mulai mendekati definisi radikalisme ala Yahya, bisa lebih cepat terdeteksi. Tapi masalahnya kemudian adalah, apakah narasi anti radikalisme ini sudah benar?
Berangkat dari pemaparan di atas, bisa dikatakan bahwa apa yang dinarasikan Yahya tentang radikalisme sesungguhnya belum tepat, karena definisinya sendiri di Indonesia masih sangat rancu.
Dengan demikian, pertanyaan besarnya adalah, apa yang seharusnya dilakukan Yahya?
Baca juga: BNPT Salah Memahami Terorisme?
Fokus Pada Ekstremisme?
Tulisan Alex P. Schmid, Prevention of Terrorism dalam buku Roots Causes of Terrorism, menjelaskan bahwa permasalahan yang berkaitan dengan kekerasan, yang berujung pada aksi yang dianggap sebagai radikalisme dan terorisme, ternyata seringnya tidak muncul dari pemahaman yang mendalam akan suatu ajaran, tetapi lebih umumnya terjadi akibat ketidak puasan pragmatis, seperti karena faktor ekonomi atau hanya sekadar tidak suka kepada salah satu orang atau fasilitas negara.
Bahkan, tidak jarang para pelaku kekerasan hanyalah orang-orang yang sekadar ikut-ikutan saja. Kekerasan yang mereka lakukan pun kemudian adalah hasil kedangkalan pikiran, karena mereka sendiri tidak memahami ajaran agama.
Baca juga: Yahya Bawa PBNU ke Barat?
Ini seperti yang diungkapkan oleh Habib Bahar bin Smith dalam podcast Refly Harun di YouTube. Di dalamnya, Bahar mengatakan bahwa ketika sedang di penjara, ternyata rekan selnya yang merupakan narapidana teroris tidak begitu memahami ajaran agama Islam, seperti makna taghut. Ini membuat mereka dengan mudah melabeli negara atau instansi tertentu sebagai taghut.
Jika benar demikian, maka apa yang sesungguhnya terjadi adalah fenomena banality of evil atau banalitas kejahatan, yang dicetuskan oleh seorang filsuf asal Jerman, Hannah Arendt. Sederhananya, banalitas kejahatan adalah situasi di mana suatu aksi kejahatan dirasa bukan lagi sebuah kejahatan, melainkan adalah hal yang biasa-biasa saja atau sesuatu yang wajar.
Arendt merumuskan istilah ini setelah meneliti pola pikir Adolph Eichmann, seorang petinggi Nazi Jerman. Kesimpulan yang Arendt dapatkan dengan meneliti Eichmann adalah, tindakan yang dilakukannya terhadap jutaan korban holocaust, murni merupakan aksi kejahatan. Tetapi uniknya, Eichmann mengatakan dirinya bukanlah orang yang jahat, dia hanya mengikuti perintah dan cenderung ikut-ikutan mengikuti kejahatan yang dilakukan Nazi.
Oleh karena itu, apa yang seharusnya dinarasikan oleh Yahya adalah wacana anti-ekstremisme, bukan anti-radikalisme. Selain karena gerakan radikal belum tentu merupakan ancaman bagi pemerintahan, radikalisme menurut Bötticher juga sesungguhnya memiliki potensi menciptakan progresivitas yang pro-demokrasi.
Tapi memang sayangnya, Bötticher pun mengatakan saat ini memang terjadi fenomena penyamaan radikalisme dengan ekstremisme, karena dengan begitu, pihak yang berkuasa mampu meredam gejolak politik dengan efektif.
Untuk sekarang, semoga saja narasi anti-radikalisme ini tidak membuat orang-orang justru takut untuk mendalami agama. Dan ke depannya, semoga PBNU dan pemerintah bisa semakin lebih mantap dalam mendefinisikan radikalisme agar penanganan ekstremisme bisa lebih sesuai sasaran. (D74)
Baca juga: Yahya Buka “Saham Politik” PBNU?