Kritik TikToker bernama Bima Yudho Saputro (Awbimax) terhadap Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung berujung pada pendaftaran visa perlindungan (protection visa) oleh Bima ke pemerintah Australia. Sudah tepatkah Bima mengungsi ke Australia?
“Hal positive yang bakal gue dapatin kalo semisal dijadikan tersangka lalu apply protection visa, akan dilindungi hak-haknya sebagai permanent resident di Australia” – Bima Yudho Saputro, TikToker
Berawal dari opini terhadap Provinsi Lampung, unggahan TikTok seorang pemuda Generasi Z berakhir viral lantaran isinya yang cukup mewakili perasaan para netizen. Video tersebut berisi Bima Yudho Saputro (Awbimax) yang mempresentasikan “Alasan Kenapa Lampung Gak Maju-Maju”.
Respons masif dapat dilihat dari besaran views di video TikTok pribadinya yang menyentuh hingga angka 2,4 juta. Masyarakat dunia maya Indonesia berbondong-bondong memberikan komentar yang isinya menyetujui apa yang diungkapkan oleh pria yang biasa disapa Bima itu.
Namun, harus berujung pahit ketika akhirnya Bima dilaporkan oleh seorang pengacara bernama lengkap Gindha Ansori Wayka yang beranggapan bahwa pernyataan yang dilontarkan oleh Bima bersifat menggiring opini serta menyesatkan publik. Pada akhirnya, setelah kejadian tersebut, Bima melalui unggahannya yang terbaru memutuskan untuk mencari suaka di negara tempat dia menetap sekarang, yaitu Australia.
Apa arti dari suaka itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, suaka berarti tempat mengungsi (berlindung) atau menumpang hidup. Biasanya, kata suaka ini dipakai dalam konteks mengungsi atau menumpang di negara lain.
Terkait dengan kasus Bima, akhirnya dia mencoba mencari perlindungan karena alasan yang berkaitan dengan opininya terhadap Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung menyebabkan dirinya merasa dipersekusi dan tidak aman untuk tetap tinggal di kampung halamannya tersebut.
Namun, mengapa pemberian suaka ini sangat diperlukan? Mengapa banyak negara sejak dahulu memberikan suaka bagi mereka yang terancam keselamatannya?
Mengapa Ngungsi ke Australia?
Berdasarkan sejarah, awalnya pemberian suaka menjadi sebuah kewajiban religi dan banyak dilakukan oleh institusi agama – di mana dapat menjadi sebuah tempat yang sakral dan memberikan perlindungan terhadap setiap orang pencari suaka. Tempat-tempat keagamaan tersebut dihormati dan terpisah dari yurisdiksi yang dibuat oleh pemerintah negara.
Ini berlangsung hingga akhirnya muncul teori kedaulatan negara. Pemberian suaka pun berubah dari yang awalnya diberikan oleh institusi keagamaan menjadi kewajiban tiap-tiap negara. Hal ini juga menjadi salah satu alat yang penting dalam hubungan tiap negara.
Hingga awal abad ke-20, suaka diakui dan menjadi hukum internasional – yang mana hal tersebut menjadi cikal bakal dibuatnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang mengubah ideologi suaka dari kebijakan negara menjadi hak asasi dari tiap-tiap manusia.
Pada tahun 1951, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya mengadopsi Konvensi Terkait Status Pengungsi. Konvensi tersebut mengatur terkait perlindungan dari refoulement yang artinya adalah pemulangan kembali para pencari suaka ke negara asalnya. Yang mana sesuai peraturan, pencari suaka menjadi sebuah kewajiban hukum tiap negara untuk melindungi mereka.
Konvensi Pengungsi 1951 awalnya hanya mengatur terkait Eropa dan kejadian sebelum 1951 – hingga akhirnya pembatasan tersebut dihilangkan pada tahun 1967. Saat di bentuknya Protokol Terkait Status Pengungsi pada 1967, konvensi tersebut memasukkan juga kejadian di seluruh dunia dan seluruh kejadian sebelum dan sesudah 1951.
Konvensi ini mengatur terkait dua status pengungsi, yaitu pengungsi dan pencari suaka. Pengungsi adalah seseorang yang sudah diakui, maka akan diakui statusnya oleh United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Sementara, pencari suaka adalah seseorang yang belum diakui statusnya oleh UNHCR.
Selanjutnya, bagaimana dengan pemberian suaka di Indonesia?IndonesiaIndonesia hingga saat ini bukan merupakan pihak pada Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967. Oleh sebab itu, penanganan pengungsi asing di kawasan NKRI, sepenuhnya adalah wewenang pihak UNHCR untuk memberikan perlindungan sesuai mandat yang ditetapkan oleh PBB pada tahun 1950.
Sebenarnya, terdapat Peraturan Presiden yang mengatur tentang pengungsi, yaitu Peraturan Presiden (Perpres) No. 125 tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Dalam Perpres tersebut, yang diatur dan menjadi penting ialah terkait pemeriksaan dari pengungsi tersebut – yakni terkait apakah memiliki dokumen atau tidak.
Setelah diperiksa dan memiliki dokumen baru lah diteruskan ke UNHCR untuk diproses lebih lanjut. Selain itu, perpres ini terbit untuk menangani pengungsi asing dalam hal penemuan, penampungan, pengamanan, pengawasan keimigirasian, serta pendanaan.
Di dalam implementasi Perpres ini, Indonesia merupakan negara yang tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Oleh karena itu, Indonesia sebenarnya tidak memilki banyak kewajban untuk menangani fenomena pengungsi yang terjadi.
Namun, Indonesia diyakini oleh pihak UNHCR untuk memegang prinsip non-refoulement sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yaitu untuk tidak memulangkan para pengungsi ke negaranya masing-masing.
Contoh kasus yang baru-baru ini terjadi yaitu datangnya pengungsi dari Myanmar akibat permasalahan di Rohingya. Sejauh ini, Indonesia telah menampung pengungsi dari banyak negara. Apabila dilihat datanya dari UNHCR, pengungsi asal Afganistan berjumlah 7.490 orang, Somalia berjumlah 1.376 orang, Myanmar berjumlah 683 orang, Sudan berjumlah 14 orang, Irak sebanyak tujuh orang, dan lain-lain sebanyak 2.618 orang.
Orang-orang ini adalah pengungsi yang telah didata UNHCR dan mendapatkan status refugee. Namun, hingga saat ini belum ditempatkan di negara yang telah meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 atau dapat disebut sebagai negara ketiga – dalam hal ini Australia.
Dapat kita ketahui, bahwa penanganan pengungsi di Indonesia masih belum jelas. Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 yang merupakan hal penting demi kepastian hukum Indonesia terhadap para pengungsi.
Penerbitan Perpres No. 125 Tahun 2016 sebenarnya mengisi kekosongan hukum bagi penanganan pencari suaka dan pengungsi. Namun, dalam penerapannya, Perpres tersebut belum bisa berjalan dengan baik.
Bima Burukkan Citra Indonesia?
Seperti yang diceritakan di awal tulisan tentang Bima yang dipersekusi oleh Pemprov Lampung, nyatanya keluarga Bima sampai didatangi oleh pihak Pemprov Lampung dan meminta keluarga Bima untuk memohon maaf atas apa yang diucapkan Bima di media sosial.
Hal ini memperjelas bahwa masih banyak pejabat pemerintahan di Indonesia masih anti-kritik. Bukan tidak mungkin, kesadaran akan kebebasan berpendapat di negeri ini masih terbatas sehingga persekusi dan upaya pembungkaman kerap terjadi.
Namun, kasus Bima bisa memunculkan konsekuensi lanjutan. Upaya pembungkaman biasanya berujung pada pelaporan atau proses hukum dengan Undang-Undang (UU) No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik – atau lebih dikenal sebagai UU ITE.
Sementara, dalam kasus Bima, persoalan tidak bisa begitu saja selesai dengan pelaporan hukum karena pihak yang sempat terlapor tersebut berada di wilayah yurisdiksi negara lain, yakni Australia. Bukan tidak mungkin, negara Kanguru tersebut memberikan suaka kepada Bima.
Bila pemberian suaka ini benar terjadi, hubungan luar negeri Indonesia dengan Australia dan negara-negara yang menjunjung tinggi perlindungan HAM akan memburuk. Pasalnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa isu HAM adalah isu yang sangat penting bagi banyak negara Barat.
Mengacu pada tulisan Jack Donnelly yang berjudul Human Rights: a New Standard of Civilization?, sistem internasional tidak hanya bekerja secara institusional – misal melalui organisasi dan perjanjian internasional, melainkan juga melalui ikatan komunal antar-negara yang disebut sebagai keluarga negara-negara (family of nations).
Untuk bisa masuk dalam family of nations tersebut, diperlukan apa yang disebut Donnelly sebagai legitimasi internasional – dapat dipahami sebagai penilaian kolektif dari masyarakat internasional. Dengan penilaian tersebut, ada semacam norma dan nilai yang digunakan untuk mengukur kelayakan negara untuk menjadi “anggota”.
Nah, salah satunya adalah perlindungan dan penegakan HAM. Bila suatu negara dianggap kurang dalam menagakkan dan melindungi HAM, bukan tidak mungkin negara-negara lain akan mengucilkan negara tersebut.
Hal inilah yang bisa saja terjadi pada Indonesia dalam kasus Bima. Bila sampai Australia memberikan suaka kepada Bima, bukan tidak mungkin narasi perihal perlindungan dan penegakan HAM yang buruk di Indonesia bakal mencuat di antara family of nations ini – apalagi topik ini bukanlah topik baru bagi hubungan diplomatik Indonesia-Australia. Bukan begitu? (S93)