Site icon PinterPolitik.com

Subsidi BBM Jokowi Hanya Propaganda?

subsidi bbm propaganda

Presiden Joko Widodo (Jokowi( (Foto: Sekretariat Presiden)

Terdapat beberapa klaim berbeda tentang jumlah sebenarnya dari subsidi BBM yang digelontorkan pemerintah. Ada apa sebenarnya?


PinterPolitik.com

The best propaganda is not propaganda” – Joseph Nye, ilmuwan politik AS

Pada akhir Agustus lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemungkinan akan mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam waktu dekat.

LBP menegaskan, hal ini perlu dilakukan lantaran subsidi BBM sudah terlampau tinggi, yakni menyentuh angka Rp 502,4 triliun. Karena itu, Luhut berkeyakinan bahwa pengurangan angka subsidi BBM adalah hal yang perlu dilakukan karena negara sudah tidak ada pilihan lain.

Pernyataan tentang tingginya subsidi BBM juga diamini oleh Jokowi sendiri. Dalam sebuah acara yang digelar di depan Istana Merdeka, Jokowi mengatakan subsidi yang telah mencapai Rp 502 triliun sudah sangat membengkak dan menegaskan bahwa tidak ada negara lain yang sanggup menanggu subsidi bahan bakar sebesar itu.

Terakhir, narasi tingginya subsidi BBM juga disampaikan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani (SM). Mantan Managing Director World Bank tersebut bahkan menyebutkan subsidi BBM yang setinggi Rp 502 triliun ini kalau digunakan untuk biaya membangun tol, maka panjangnya akan mencapai 3.500 km, dan itu mungkin cukup untuk menyelesaikan semua jalan tol di Pulau Sumatera, katanya.

Meski demikian, jika kita berusaha mengulik rincian angka dibalik klaim subsidi BBM Rp 502 triliun, maka kita akan menemukan perdebatan yang menarik. Kamrussamad, Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi Partai Gerindra, menyebutkan bahwa batas pengeluaran tertinggi atau pagu subsidi BBM 2022 sebenarnya senilai Rp 208 triliun.

Dari angka itu, Kamrussamad juga mengatakan bahwa belum semua dana terpakai. Bahkan, untuk semester I sendiri baru mencapai Rp 75,59 triliun.

Skeptisisme subsidi Rp 502 triliun juga disampaikan ekonom Faisal Basri. Katanya, tambahan subsidi yang disampaikan oleh pemerintah sebesar Rp502 triliun tidak ada di dalam APBN 2022. Faisal juga menyindir, pengelolaan BBM ini layaknya toko kelontong karena catatannya sepertinya hanya ada di tulisan tangan masing-masing.

Dari hal-hal ini, pantas jika kita bertanya: mungkinkah narasi tingginya subsidi BBM hanya propaganda belaka?

Ada Propaganda Besar?

Kita sudah membahas tentang samar-samarnya dana alokasi subsidi BBM, namun, kejanggalannya tidak berhenti di situ. Jurnalis senior, Dandhy Laksono melempar sebuah kecurigaan bahwa pengelabuan fakta subsidi BBM sesungguhnya memiliki akar yang lebih dalam.

Dandhy menyunting sebuah artikel berita dari Liputan6 pada 15 Juli 2021, yang menyebutkan bahwa Badan Pusat Statistik (BPS) ternyata mengkategorikan seseorang yang memiliki pengeluaran per kapita di bawah Rp 475.525 per bulan dianggap sebagai orang miskin. Dengan demikian, orang yang memiliki penghasilan di atas Rp 500.000 per bulan akan dianggap sebagai orang mampu.

Ini kemudian berkorelasi dengan pernyataan SM yang mengatakan bahwa 95 persen subsidi solar dan 80 persen subsidi pertalite dikonsumsi oleh orang mampu. Kalau kemudian definisi orang mampu bagi pemerintah mengacu pada definisi yang dibuat BPS, maka tampaknya pernyataan tersebut cukup manipulatif.

Ini artinya, ketika orang yang berpenghasilan Rp 500.000 per bulan membeli BBM bersubsidi, maka ia pun akan dikategorikan sebagai orang yang mengambil jatah subsidi untuk orang miskin. Padahal, sangat aneh bila orang yang berpenghasilan Rp 500.000 sebulan dianggap sebagai orang yang mampu. Angka ini bahkan sangat jauh di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) terendah, yakni Rp 1.812.935,43, dari Provinsi Jawa Tengah.

Karena hal itu, Dandhy menduga bahwa sepertinya ada sebuah propaganda besar yang sedang dimainkan pemerintah terkait narasi subsidi BBM. Jika dugaan tersebut benar, maka mungkin saja pemerintah kini tengah memainkan sebuah teknik propaganda yang disebut red herring.

Istilah yang dipopulerkan politisi Inggris bernama William Cobbett ini menjelaskan sebuah upaya seseorang untuk membenarkan argumennya dengan menggunakan data yang sebenarnya tidak relevan, dan bahkan mungkin hasil dari sebuah manipulasi. Ini kemudian menghasilkan sebuah konklusi yang secara awam terkesan benar, namun jika ditelisik lebih dalam akan terkuak bahwa ada sebuah kesalahan bernalar.

Dalam konteks narasi subsidi BBM, dengan menggunakan data orang mampu penikmat subsidi, pemerintah seolah mendapatkan justifikasi, padahal data yang digunakannya masih sangat perlu dikoreksi.

Namun, teknik propaganda yang digunakan sepertinya tidak hanya red herring.

Staf Khusus Menkeu Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo menjelaskan bahwa dari klaim Rp 502,4 triliun, ternyata subsidi dan kompensasi untuk BBM berjumlah 53,2 persen, atau sekitar Rp 267 triliun. Penyebutan subsidi Rp 502,4 triliun, kata Yustinus, adalah bentuk bahasa komunikasi publik karena BBM memang mengambil porsi yang paling banyak.

Penjelasan dari Yustinus ini semakin membuat pemahaman kita tentang subsidi BBM terbagi-bagi. Di satu sisi, pemerintah mengeneralisir subsidi BBM sebagai subsidi energi secara keseluruhan, tapi di sisi lain pemerintah juga menjelaskan bahwa klaim tersebut ada beberapa sisi kebenarannya.

Dalam propaganda, teknik retorika seperti ini ada istilahnya sendiri, yakni teknik half-truth. Melalui teknik ini, kebenaran akan sesuatu mampu dikaburkan dengan “aman” dengan menyajikan hanya beberapa gelintir kebenaran saja.

Analoginya, suatu pernyataan half-truth ibarat menyajikan daging mentah pada seorang pelanggan di restoran. Sang penyaji bisa membela dirinya karena dia telah menyajikan daging, tapi tentu hal itu tidak akan bisa dibenarkan karena pelanggan yang memesannya meminta daging yang sebenarnya sudah dimasak.

Poin inilah yang disampaikan penulis asal Hongaria, Arthur Koestler: “sebuah pernyataan yang setengah benar tidak bisa membuatnya sebagai kebenaran.”

Dan poin terakhir yang patut jadi kecurigaan kita juga adalah, semua hal di atas mungkin sebenarnya memang sudah diketahui pemerintah, namun, tetap saja dijalankan.

Jika benar demikian, Profesor Dan Kahan dari Yale Law School menjuluki fenomena ini dengan istilah identity-protective cognition, di mana pernyataan seorang politisi ternyata sering sekali mengalami bias akibat motif politik yang ingin disampaikannya, sehingga berani mengesampingkan kebenaran data.

Dari semua hal ini, bisa diinterpretasikan bahwa di balik pernyataan-pernyataan pemerintah tentang subsidi BBM, tampak ada beberapa unsur propaganda yang seharusnya tidak boleh kita abaikan. Contohnya adalah penggunaan data yang terkesan tidak relevan, dan hanya menyajikan kebenaran yang sifatnya setengah-setengah.

Lantas, bagaimana pelajaran yang bisa kita petik dari fenomena ini?

Indonesia, Negara Logokrasi?

Dari penjabaran di atas, kita bisa belajar bahwa ternyata ada beberapa wacana pengambilan kebijakan di Indonesia yang didasarkan pada hal-hal yang sifatnya “misterius”. Namun, seperti seorang pendengar yang baik, rakyat seakan dibuat hanya perlu mengamini pernyataan-pernyataan yang dilempar pemerintah tanpa diberikan pemahaman yang komprehensif.

Fenomena politik ini sebenarnya sempat disorot oleh sejarawan Amerika Serikat (AS), Washington Irving dalam karya satirikalnya yang berjudul Salmagundi. Di dalamnya, Irving memomulerkan sebuah istilah yang disebut logokrasi, yakni sebuah negara yang pemerintahannya didasari oleh pengaturan kata-kata.

Suatu negara yang disebut logokrasi adalah negara yang menetapkan beberapa kebijakannya bukan berdasarkan fakta ataupun keresahan yang ada dalam masyarakat, melainkan hanya dengan penggunaan kalimat-kalimat yang sifatnya tricky atau penuh tipu daya dan manipulatif. Di dalam sebuah logokrasi, pihak yang paling mampu memanipulasi kata-kata dan data adalah pihak yang memiliki kekuatan tertinggi di negaranya.

Konsep logokrasi ini juga berkorelasi dengan teori totalitarianisme dari filsuf Jerman, Hannah Arendt. Totalitarianisme versi Arendt menekankan bahwa di dalam suatu negara yang cenderung totaliter, tonggak kebenaran tidak lagi diukur berdasarkan data atau fakta, melainkan berdasarkan bagaimana suatu pernyataan diekspresikan dan diamini oleh rakyatnya tanpa syarat.

Kembali ke konteks narasi pengurangan subsidi BBM, kita bisa menemukan beberapa persamaannya dengan logokrasi yang disampaikan Irving. Idealnya, komunikasi tentang suatu kenaikan harga seharusnya juga disajikan bersamaan dengan data yang dapat mendukungnya, secara komprehensif.

Akan tetapi, terkait kenaikan harga BBM, masyarakat malah dibuat bingung oleh kebenaran datanya. Apakah subsidi BBM benar-benar sudah mencapai Rp 502,4 triliun, atau tidak?

Menariknya, di saat yang bersamaan pemerintah malah berkeinginan menaikan anggaran untuk pembangunan Ibu Kota Negara baru (IKN) sebesar Rp 10,3 triliun.

Terlepas dari disetujui atau tidaknya, yang jelas gerakan ini telah memberikan sinyal yang sangat tidak baik untuk masyarakat. Kalau subsidi yang tujuannya adalah untuk meringankan hidup rakyat saja berani diturunkan, kenapa biaya untuk IKN -yang sebenarnya masih cukup lama direalisasikan- justru malah dinaikkan?

Akhir kata, tentu ini semua hanya interpretasi belaka. Harapan ke depannya adalah pemerintah bisa lebih bijak dalam memutuskan segala kebijakan yang berkaitan dengan kelangsungan hidup banyak orang.

Semoga saja, keputusan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi bisa dipertimbangkan lebih baik lagi, dan lebih objektif. (D74)

Exit mobile version