Beberapa demonstrasi mahasiswa belakangan ini yang berujung pada bentrok dengan aparat menguatkan asumsi bahwa negara semakin semena-mena. Australia National University, Indonesia Political & Economic Update 2018 menyebut kepemimpinan Jokowi berpotensi mengarah ke otoritarianisme.
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]erentetan aksi demo mahasiswa mewarnai pemberitaan media dalam kurun waktu sebulan terakhir. Aksi ini dimulai dengan demonstrasi mahasiswa Universitas Islam Riau pada 13 September 2018 yang memberi Jokowi 3 tuntutan, di antaranya menstabilkan perekonomian bangsa, menyelamatkan demokrasi Indonesia dan mengusut tuntas kasus korupsi PLTU Riau.
Fenomena itu kemudian menyebar ke beberapa daerah. Salah satunya demonstrasi aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Jabodetabek di depan Kementerian Keuangan pada 14 September 2018 yang menuntut pemerintah tegas dalam menyikapi isu pelemahan rupiah.
Lalu ada juga demonstrasi yang terjadi di Bandung pada 18 September 2018 di mana puluhan mahasiswa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bandung menuntut pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla merealisasikan janji politiknya, Nawacita.
Rentetan itu berlanjut dengan demonstrasi mahasiswa HMI di gedung DPRD Bengkulu pada hari yang sama yang berakhir ricuh. Juga terdapat demonstrasi yang dilakukan Aliansi Mahasiswa se-Kota Medan yang mengkritik pemerintahan Jokowi-JK di depan gedung DPRD Sumut dua hari setelahnya yang lagi-lagi juga berakhir bentrok.
Tindakan represif yang disinyalir dilakukan oleh aparat kepolisian pada demonstrasi-demonstrasi sebelumnya akhirnya memicu aksi solidaritas di depan Mabes Polri, Jakarta Selatan pada tanggal 20 September 2018. Puluhan kader HMI Cabang Ciputat menuntut pernyataan maaf Polri terhadap tindakan represif dalam membubarkan demo mahasiswa yang terjadi di Bengkulu dan Medan.
Faktanya, rentetan kericuhan ini menjadi indikasi menguatnya peran negara melalui aparat kepolisian yang dianggap semakin represif terhadap gerakan mahasiswa. Hal ini menjadi penting untuk ditelisik dalam kacamata politik. Pertanyaannya adalah bagaimana sebenarnya pandangan negara terhadap gerakan mahasiswa di era pemerintahan presiden Jokowi dan seperti apa bargaining mahasiswa di tahun politik seperti sekarang ini?
Memang, mendekati tahun politik, rasa-rasanya penting untuk tidak skeptis terhadap lika-liku gerakan demonstrasi mahasiswa. Terlebih mahasiswa memiliki sejarah panjang dalam percaturan politik nasional.
Politisasi Gerakan Mahasiswa di Pilpres 2019?
Dalam konteks politik, mahasiswa yang dianggap sebagai kelas menengah ini menyumbang peran sentral dalam politik nasional. Bahkan eksistensi gerakan mahasiswa telah mewarnai percaturan politik nasional selama 7 dekade kemerdekaan Indonesia.
Pro-kontra demonstrasi mahasiswa juga tak luput dari pengamatan masyarakat luas. Sebagian menilai bahwa aksi demonstrasi mahasiswa sesungguhnya sudah tidak relevan di era sekarang ini dan terlalu banyak ditunggangi kepentingan politik.
Namun, sebagian juga masih menganggap bahwa demonstrasi adalah refleksi pengejawantahan idealisme mahasiswa – kelompok yang sering disebut sebagai “intelektual muda”.
Beberapa catatan sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia memang menunjukkan bahwa posisi mahasiswa menjadi rawan untuk dipolitisasi.
Misalnya yang terjadi di sekitaran tahun 1965 di mana gerakan mahasiswa yang dipelopori oleh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dibentuk atas anjuran Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan saat itu, Mayor Jenderal Syarif Thayib.
Gerakan ini disinyalir “berselingkuh” dengan TNI Angkatan Darat dalam menginisiasi lahirnya Orde Baru (Orba). Setelah Orba terbentuk, para pemimpin KAMI akhirnya banyak yang masuk ke dalam pemerintahan.
Kemudian, gerakan mahasiswa pada era akhir 1998 sepertinya juga mengulangi kesalahan yang sama. Menurut Pramoedya Ananta Toer, gerakan mahasiswa yang berhasil menggulingkan Soeharto ternyata juga tidak menghasilkan tokoh politik nasional pasca era reformasi.
Bahkan tokoh nasional yang mengisi perpolitikan Indonesia hari ini sebagian adalah representasi Orde Baru. Pada 1999 nama-nama seperti Amien Rais, Megawati Soekarnoputri dan Gus Dur, muncul sebagai tokoh politik nasional. Sedangkan hari ini nama-nama tokoh politik yang kuat, seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), JK dan Prabowo Subianto juga sosok yang dibesarkan dari rahim Orde Baru.
Beberapa gerakan mahasiswa hari ini masih diisi oleh para pemain lama, seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), HMI, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
Kelompok ini merupakan organisasi kaderisasi yang banyak mengajarkan mahasiswa tentang gerakan politik di level kampus. Bahkan setelah lulus, banyak alumni dari organisasi-organisasi ini yang menjadi pejabat publik bahkan politisi. Misalnya saja Wapres JK adalah alumni HMI, sementara Menteri Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi adalah mantan Ketua PB PMII, dan masih banyak lagi.
Bahkan dalam aksi demonstrasi beberapa waktu terakhir dapat diidentifikasi bahwa background mahasiswa-mahasiswa yang terlibat dalam aksi tersebut berasal dari organisasi ekstra kampus yang punya afiliasi politik yang berseberangan dengan pemerintah.
Semoga gerakan mahasiswa yg tlh bergerak tetap gerakan damai suarakan kebenaran dan jaga barisan, jangan sampai disusupi atau politisasi gerakan. Jangan sampai nanti ada tuduhan makar, intoleransi atau ditunggangi politik #jagabarisan dan #jagaNKRI pic.twitter.com/5t48mMXrfg
— Wendra Yunaldi (@WYunaldi) September 14, 2018
Oleh karena itu, di tahun politik ini, mahasiswa memang menjadi salah satu ceruk suara yang potensial. Misalnya saja, melalui PB PMII, yang merupakan badan otonom dari Nahdlatul Ulama (NU). Tentu akan lebih mudah bagi partai-partai politik yang berafiliasi dengan NU untuk menggaet suara milenial atau pemilih muda jika memaksimalkan relasi dengan organisasi tersebut.
Di samping itu, HMI yang memiliki massa besar di berbagai kampus di Indonesia juga berpotensi mampu memobilisasi suara mahasiswa. HMI juga memiliki track record yang panjang terkait keikutsertaannya dalam panggung politik nasional.
Organisasi lain, misalnya GMNI, disinyalir juga memiliki kemiripan ideologi dengan PDIP. Bahkan, pada Kongres III Persatuan Alumni GMNI yang digelar di Jakarta International Expo pada 2015 silam, sang Ketua Umum, Soekarwo yang juga mantan Gubernur Jawa Timur mengatakan bahwa pemerintahan Jokowi punya kesamaan dengan GMNI, atas dasar mandat ideologis partai pengusungnya pada 2014.
Mungkin itu yang membuat Soekarwo yang adalah kader Partai Demokrat berbeda dukungan politik dengan partainya pada Pilpres 2019 nanti.
Di sisi lain, KAMMI yang dianggap sebagai underbow PKS serta diduga memiliki pengaruh kuat dalam aliansi BEM Seluruh Indonesia (SI) juga bisa menjadi pemain sentral dalam memaksimalkan kampanye politik terhadap swing voters di level kampus. (Baca Juga : BEM Kampus Ditunggangi PKS?)
Keikutsertaan beberapa organisasi mahasiswa dalam gelanggang politik tentu dianggap sebagian orang sebagai bentuk menciderai sikap kritis dan independensi mahasiswa. Sebagai agent of control, organisasi mahasiswa adalah bagian dari lembaga masyarakat sipil yang seharusnya berdiri di atas kepentingan rakyat.
Afiliasi gerakan politik yang berbeda di antara kelompok mahasiswa ini juga yang membuat perlakuan terhadap demonstrasi mereka seringkali berbeda-beda. Pada akhirnya politisasi gerakan mahasiswa berujung pada panggung pertarungan politik pemerintah melawan oposisi yang sayangnya juga melibatkan cara-cara kekerasan dan mendatangkan korban.
Suara Mahasiswa, Negara Semakin Brutal?
Beberapa fenomena demonstrasi mahasiswa yang berujung pada kericuhan dan bentrok dengan aparat menguatkan asumsi publik bahwa negara semakin semena-mena. Apakah fenomena ini mengisyaratkan bahwa Indonesia akan kembali mengalami neo-Orde Baru?
Ni mahasiswa lho pak polisi bukan perampok ,pemerkosa,penjahat,apalagi koruptor…kenapa harus di perlakukan seperti ini.. tangan di pegang kaki di injak..temen bapak yg di depan narik…miris saya liat nya pak pic.twitter.com/GMX3Rt6xFe
— eko_noucamp (@eko_noucamp) September 22, 2018
Tentu kita tidak lupa dengan apa yang terjadi pada tahun 1998 di mana para mahasiswa mengalami kekerasan dari aparat militer pada momen demonstrasi penggulingan Soeharto. Selain memakan korban jiwa, tindakan koersif tersebut juga menciderai HAM.
Sementara itu, dalam aksi demonstrasi baru-baru ini di kota Medan misalnya, beberapa di antara pendemo terluka akibat lemparan batu dan ada juga yang mengaku dipukuli.
Aksi pemukulan serupa oleh aparat juga sempat terjadi dan dilakukan terhadap massa gerakan #2019GantiPresiden saat melakukan deklarasi di Kota Makassar pada bulan Agustus lalu. Nyatanya aksi tersebut juga dilakukan oleh mahasiswa.
Beberapa fenomena ini menunjukkan makin menguatnya kontrol negara terhadap kebebasan sipil dengan mahasiswa di dalamnya, yang semakin terasa di penghujung pemerintahan Presiden Jokowi.
Kritik pun akhirnya datang dari kubu oposisi, misalnya yang disampaikan oleh Dahnil Anzar Simanjuntak, Ketua Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah sekaligus Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga Uno. Ia menyayangkan aksi represif aparat tersebut.
Demokrasi dengan demikian lebih dipahami sebagai proses top-down atau pengendalian pemerintah terhadap masyarakat. Share on XMemang mendekati Pilpres 2019, beberapa rapor merah pembubaran gerakan masyarakat sipil seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), pembubaran diskusi di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, serta kekerasan dalam menyikapi demonstrasi menjadi persoalan serius.
Serangkaian peristiwa tersebut menunjukkan bahwa ada usaha negara untuk membersihkan gerakan-gerakan yang dianggap sebagai oposisi dan berpotensi mengganggu status quo penguasa, dalam hal ini pemerintahan Presiden Jokowi.
Dalam studi demokrasi, fenomena di atas dapat disebut sebagai the rise of illiberal democracy. Pendekatan ini berprinsip bahwa negara adalah intervensionis dalam urusan ekonomi dan politik. Negara pada gilirannya lebih menekankan pada aspek teknokrasi daripada aspek politis dalam melihat aspirasi rakyat.
Menurut L.H.M Ling dan Shih Chih-yu dalam jurnalnya Confucianism with a Liberal Face: The Meaning of Democratic Politics in Postcolonial Taiwan, pemerintah mempunyai kekuatan dan kontrol untuk mengelola isu yang berimbang di masyarakat dan mengatur pandangan politik masyarakat.
Demokrasi dengan demikian lebih dipahami sebagai proses top-down atau pengendalian pemerintah terhadap masyarakat.
Jika melihat sikap Jokowi yang terkesan diam dan tak memberi komentar sedikit pun terkait isu demonstrasi ini, tentu bisa diasumsikan bahwa pemerintahan ini sedang benar-benar mengarah pada praktik otoritarianisme.
Nyatanya, hal ini juga diungkapkan dalam annual conference Australia National University, Indonesia Political & Economic Update 2018, bahwa demokrasi di Indonesia sedang dipertaruhkan karena 3 indikator: kebangkitan politik Islam, menguatnya peran institusi negara, dan represi terhadap oposisi politik. (M39)