HomeNalar PolitikStrategi 'Rose Garden Campaign'

Strategi ‘Rose Garden Campaign’

pinterpolitik.com

[dropcap size=big]K[/dropcap]ampanye Pilgub DKI Jakarta 2017 telah bergulir, merujuk dari peraturan KPUD DKI Jakarta yang menetapkan diadakannya kampanye putaran kedua pada Selasa tanggal 7 Maret hingga 15 April 2017 dan tanggal pemilihan pada 19 April mendatang. Ada perbedaan pada Pilgub putaran kedua ini dengan putaran yang pertama, selain waktunya yang singkat, para pasangan calon pun mengeluarkan strategi baru. Bahkan di kampanye Pilgub DKI Jakarta 2017 putaran dua ini tergolong sepi, tidak sepanas seperti di putaran pertama. Apa masyarakat sudah lelah dengan kampanye Pilgub DKI putaran pertama yang sangat tinggi tensi ketegangannya? Ataukah ini memang strategi para tim sukses masing-masing paslon dalam memainkan keadaan masyarakat? Lalu bagaimanakah strategi para paslon di putaran kedua ini?

Jika melihat strategi kedua paslon dalam menghadapi putaran kedua ini, Anies-Sandiaga dikabarkan tidak akan merubah gaya kampanyenya karena dinilai dari hasil evaluasi internal bahwa strategi tersebut masih efektif digunakan.

“Insya Allah kami akan meneruskan strategi yang ada selama ini, yaitu fokus dengan program, lapangan pekerjaan, penumbuhan entrepreneurship, kemudian pendidikan berkualitas hingga tuntas, dan pengelolaan harga kebutuhan pokok,” kata Anies di Masjid Jami’ Al-Wiqoyah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Minggu (5/3) malam.

Anies-Sandiaga pun akan lebih konsentrasi ke wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Barat di mana kedua wilayah itu adalah lumbung suara Ahok-Djarot. Tim sukses Anies-Sandiaga, Naufal Firman Yursak menuturkan bahwa mereka sudah ada strategi khusus yang akan dilakukan saat kampanye di dua wilayah tersebut. Namun, Naufal tidak memberikan strategi seperti apa yang akan dilakukan Anies-Sandiaga beserta tim suksesnya.

Strategi yang pasti adalah tetap mengkampanyekan tiga program unggulan dari paslon nomor urut tiga ini, prpgram tersebut adalah penyedian lapangan kerja, pendidikan tuntas berkualitas, dan program ‘One Kecamatan One Center Entrepreneurship (OK OCE).

Bagaimana dengan strategi yang dipakai Ahok-Djarot? Apakah akan tetap bertahan dengan strategi di putaran pertama seperti Anies-Sandiaga?

Ada perbedaan strategi kampanye yang dilakukan Ahok-Djarot, jika Anies-Sandiaga tetap pertahankan pola kampanye yang sama, Ahok lebih memilih untuk mengubah cara kampanyenya menjadi lebih senyap atau silent campaign.

Pada kampanye senyap ini Ahok tidak akan muncul di media, bahkan tidak akan mengundang media dalam setiap kampanyenya. Ahok sudah tidak akan lagi mengkampanyekan visi misi nya tapi dia langsung melihat lebih dekat kondisi warga DKI Jakarta. Jika melihat statusnya yang masih menjadi Gubernur DKI Jakarta, hal tersebut bisa saja dilakukannya karena masih berhubungan dengan tugasnya untuk melayani warga.

Ternyata kampanye senyap itu dipilih mengingat karakter Ahok yang emosinya tidak bisa terkontrol, jika menurut Juru Bicara Tim Pemenangan pasangan Ahok-Djarot, Eva Sundari, Jumat (17/3) Kampanye senyap itu diambil setelah mempertimbangkan pengalaman kampanye putaran pertama Pilkada DKI yang kerap mendapat hadangan dari organisasi masyarakat tertentu. Sejumlah ormas tertentu kerap menghadap kampanye blusukan Ahok-Djarot.

“Kita tahu lah gangguan apa yang dialami Pak Ahok, seperti (ormas) suka sekali cegat, menghalangi,” kata dia.

Mungkin ini juga faktor yang membuat pilkada putaran kedua ini terkesan sepi, karena biasanya Ahok yang menjadi sorotan media, kini dengan kampanye senyap maka pergerakannya pun jadi sulit untuk dipantau.

Baca juga :  Menguji "Otot Politik" Andika Perkasa

Walaupun kampanye senyap dilakukan, tapi bukan berarti Ahok tidak bergerilya. Karena dirinya tetap mendapatkan promosi melalui media sosial, mulai dari media sosial yang sengaja dibentuknya hingga media sosial yang memang dimaintenance oleh tim suksesnya untuk menjaga kepopulerannya di media sosial dengan berbagai macam berita juga isu.

Salah satu contohnya adalah acara #AhokShow yang live streaming di youtube,

Strategi yang dimainkan Ahok ini sama seperti yang dimainkan oleh Donald Trump, di mana pendukung Trump banyak terpusat di media sosial, karena di masa kini media sosial mampu mengalahkan media mainstream dalam membangun dukungan opini publik dengan melempar isu-isu untuk membangun kekuatan politik.

Acara #AhokShow yang ditayangkan secara live streaming setiap hari Jumat.


Menguak Dana Kampanye Ahok-Djarot dan Anies-Sandi

Jika berbicara kampanye, pasti harus disertai dengan “berapa banyak biaya yang sudah keluar?”Jika begitu bagaimana dengan kampanye pada putaran kedua ini, apakah kedua paslon ini masih punya cukup “ongkos” untuk membiayai kampanyenya?

Pada pilkada putaran pertama, pasangan Ahok-Djarot mempunyai dana sumbangan kampanye sebesar Rp 60.190.360.025 sedangkan pasangan Anies-Sandiaga mempunyai dana sekitar Rp65.272.954.163.

Untuk putaran kedua ini, kubu Anies-Sandiaga belum mengungkapkan berapa biaya yang sudah diterima untuk kampanye putaran kedua ini. Namun, Sandiaga Uno mengungkapkan selama kampanye putaran kedua ini masih mengandalkan uang pribadinya sebesar Rp. 7 Miliar. Jumlah tersebut masih terhitung bergulir, dana kampanye sedikit jika dibanding pada kampanye putaran pertama yang menyentuh angka Rp. 62,8 miliar.

Foto: Antara

Demi mencari dana kampanye, Sandiaga pun diketahui sempat mendatangi kantor Ar Rahman Quranic Learning (AQL) Islamic Center, di Jalan Tebet Utara, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (10/3). Kedatangannya tersebut bertujuan untuk membahas penggalangan dana kampanye yang kini sedang diupayakannya.

Bagaimana dengan pasangan Ahok – Djarot?

Tim kampanye Ahok dan Djarot yaitu Syaiful Hidayat mengungkakan bahwa timnya kembali membuka program dana kampanye patungan ‘Kampanye Rakyat’. Baru seminggu dibuka, bendahara tim sukses Ahok-Djarot, Charles Honoris, mengatakan bahwa dana kampanye sudah terkumpul sebanyak Rp. 5 Miliar.

Uang Rp 5 miliar tersebut belum termasuk uang sisa dari “Kampanye Rakyat” pada putaran pertama lalu. Seperti diketahui, sisa uang “Kampanye Rakyat” pada putaran pertama adalah Rp 4,8 miliar. Berarti hingga saat ini, timses Ahok-Djarot sudah memiliki Rp 9,8 miliar untuk dana kampanye mereka di putaran kedua. Tim sukses menargetkan dana yang terkumpul harus sebesar Rp 25 Miliar.

Mengenai dana kampanye, KPU DKI sudah membatasi besarnya biaya kampanye. Menurut Keputusan KPU DKI Jakarta Nomor 54/Kpts-KPU-Pro-010-2016, batasan dana kampanye sebesar Rp 34,56 miliar. Dengan perincian, untuk jenis kampanye pertemuan terbatas, batas pengeluarannya adalah Rp 13,2 miliar, tatap muka atau dialog sebesar Rp 10 miliar, materi kampanye Rp 8,8 miliar, dan penggunaan jasa manajemen konsultan Rp 2 miliar. Biaya untuk bahan kampanye, seperti selebaran, brosur, pamflet, dan poster, dibatasi Rp 38,1 miliar. Total keseluruhan batas pengeluaran biaya kampanye ini sebesar Rp 34,56 miliar.

Baca juga :  PDIP Gabung Prabowo, Breeze atau Hurricane? 

Dengan dana yang tidak kecil itu, apakah mampu untuk para pasangan calon meraih hati dan kepercayaan rakyat DKI Jakarta? Melihat karakteristik masyarakat DKI Jakarta yang homogen sepertinya agak susah diprediksi sejauh mana masyarakat percaya pada masing – masing pasangan calon gubernur DKI Jakarta 2017 ini.

Bagaimana Elektabilitas Kedua Paslon di Mata Masyarakat?

Jika melihat pada survei yang dilakukan olehLembaga Media Survei Nasional (Median) pada 21 sampai 27 Februari 2017 dan Lembaga penelitian Lingkaran Survei Indonesia (LSI) milik Denny Januar Ali pada 27 Februari sampai 3 Maret 2017 kedua lembaga survei ini mengumumkan hasil survei di mana hasil tersebut menyimpulkan bahwa elektabilitas Anies-Sandiaga masih mengungguli Ahok-Djarot.

Lembaga Media Survei Nasional (Median) menyebutkan, elektabilitas pasangan Ahok-Djarot sebesar 39,7 persen dan Anies-Sandiaga sebesar 46,3 persen, sedangkan 14 persen responden lainnya masih undecided atau menyatakan belum memutuskan.

Sedangkan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) milik Denny Januar Ali menyebutkan bahwa Pasangan Anies-Sandiaga meraih suara 49,7 persen atau unggul sekitar 9 persen dibanding pasangan Ahok-Djarot yang mendapat 40,5 persen. LSI mewawancarai 440 responden yang tersebar di seluruh Jakarta dan Kepulauan Seribu. Metode yang digunakan adalah multistage random sampling dengan tingkat margin error sebesar 4,8 persen.

Kemenangan atas Anies-Sandiaga ini disebabkan karena isu politik yang berkembang saat ini dan juga ditambah dengan beralihnya para pendukung Agus Yudhoyono ke kubu Anies–Sandiaga. jika dibandingkan dari tingkat ekonomi, pasangan Ahok-Djarot unggul 46,1 persen di kalangan masyarakat menengah ke atas sementara Anies-Sandiaga hanya mendapat dukungan 44,2 persen saja.

Strategi ‘Rose Garden Campaign ala’ Ahok

Istilah sering digunakan dalam dunia perpolitikan di Amerika Serikat, salah satu mantan presiden Amerika Serikat yang menggunakan strategi ini adalah Franklin D. Roosevelt dan Jimmy Carter. Rose Garden Campaign ini bisa diartikan dengan bersembunyi dibalik white house, menandatangani tagihan, membuat pernyataan dan mendapatkan publisitas gratis.

Sama seperti Ahok, dia masih berlindung dibalik statusnya sebagai gubernur. Jadi, walaupun dia bilang sedang melakukan kampanye senyap, tanpa disadari sebenarnya ia sedang kampanye. Bagaimana bisa terlihatnya? Selama kampanye ini dia akan berlaku baik, lalu dengan menggunakan kekuatan media sosial yang dimiliki warga DKI Jakarta yang datang ke daerah yang ia kunjungi, maka secara tidak langsung ia pun mendapatkan publikasi gratis dari setiap unggahan para warga tanpa harus diminta.

Selain itu, Ahok pun kerap menerima tamu dan mengizinkan tamunya duduk di ruang kerjanya di Balaikota. Banyak juga yang notabene bukan dari kalangan elit politik, seperti para artis yang sedang promosi film terbarunya dan diliput oleh media. Jadi Ahok memanfaatkan promosi gratis ini untuk menaikan popularitasnya.

Rose Garden Campaign
Foto: Liputan6

Apakah strategi silent campaign yang mirip seperti Rose Garden Campaign ala Ahok ini bisa berhasil membawa kemenangan bagi Ahok-Djarot? Berikan pendapatmu. (A15)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

More Stories

Bukti Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”

PinterPolitik.com mengucapkan Selamat Hari Kemerdekaan Indonesia ke 72 Tahun, mari kita usung kerja bersama untuk memajukan bangsa ini  

Sejarah Mega Korupsi BLBI

KPK kembali membuka kasus BLBI yang merugikan negara sebanyak 640 Triliun Rupiah setelah lama tidak terdengar kabarnya. Lalu, bagaimana sebetulnya awal mula kasus BLBI...

Mempertanyakan Komnas HAM?

Komnas HAM akan berusia 24 tahun pada bulan Juli 2017. Namun, kinerja lembaga ini masih sangat jauh dari harapan. Bahkan desakan untuk membubarkan lembaga...