Dengarkan artikel ini:
Dalam debat terakhir Pilpres 2024, Prabowo Subianto menyampaikan gagasan untuk mengatasi kekurangan jumlah dokter di Indonesia. Menurut Prabowo, hal itu bisa dicapai lewat strategi pengiriman mahasiswa untuk belajar kedokteran dan beberapa bidang lainnya ke luar negeri, sehingga ketika mereka pulang, mereka bisa menjawabi kebutuhan kurangnya dokter. Menariknya, jalan kebijakan yang mirip pernah dilakukan oleh salah satu pemimpin besar Tiongkok, Deng Xiaoping. Strategi inilah yang disebut berkontribusi besar bagi pencapaian ekonomi Tiongkok hari ini.
Dalam debat terakhir Pilpres 2024, Prabowo Subianto, calon presiden nomor urut 2, mengungkapkan gagasan inovatif untuk mengatasi kekurangan tenaga medis di Indonesia. Gagasan tersebut adalah memberikan beasiswa kepada 10.000 lulusan SMA untuk belajar kedokteran di luar negeri. Selain itu, ia juga berencana mengirim 10.000 mahasiswa lainnya untuk belajar sains, teknologi, engineering, dan matematika.
Gagasan ini muncul sebagai solusi untuk mengatasi kekurangan sekitar 140.000 dokter di Indonesia. Jumlah itu memang membuat persoalan kesehatan di Indonesia menjadi sangat memprihatinkan. Dengan mengirim mahasiswa ke luar negeri, Prabowo berharap dapat memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh mahasiswa dari universitas-universitas terkemuka di dunia untuk meningkatkan standar pelayanan kesehatan di Indonesia.
Namun, gagasan ini mendapat tanggapan beragam. Anies Baswedan, calon presiden nomor urut 1, menyarankan agar sebelum mengirim mahasiswa, perlu dilakukan diskusi dengan stakeholder terkait, seperti asosiasi profesi, kementerian kesehatan, dinas di daerah, aktivis, pengamat, dan pakar. Menurut Anies, penting untuk memahami kebutuhan riil di lapangan sebelum membuat keputusan strategis seperti ini.
Secara keseluruhan, gagasan Prabowo menunjukkan komitmennya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan di Indonesia. Memang, ada poin penting soal pertimbangan berbagai faktor yang akan mempengaruhi kebijakan ini. Walapun demikian, gagasan ini tentu menjadi angin segar tersendiri bagi pembangunan Indonesia.
Menariknya, program serupa pernah dilakukan oleh pemimpin Tiongkok, Deng Xiaoping. Sejak tahun 1978, Deng melakukan terobosan dengan mengirimkan ribuan mahasiswa tiap tahunnya untuk belajar di luar negeri. Ini adalah cara mengatasi kekurangan para ahli dan pemikir di Tiongkok pasca “pembasmian besar-besaran” yang dilakukan oleh pendahulunya, Mao Zedong, lewat gerakan Cultural Revolution.
Tentu pertanyaannya adalah apakah program Deng Xiaoping itu berhasil? Dan akankah efek serupa bisa didapatkan Prabowo juga?
Mencontoh Deng Xiaoping
Pada sejak akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an, Deng Xiaoping memulai serangkaian reformasi yang membawa perubahan besar dalam perekonomian Tiongkok. Salah satu langkah inovatif yang diambilnya adalah mengirim ribuan mahasiswa ke luar negeri untuk mengejar pendidikan tinggi.
Tujuan utama dari strategi ini adalah menciptakan kelompok elite yang memiliki pengetahuan global dan keterampilan yang dapat diaplikasikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Tiongkok. Di tahun-tahun awal, total sekitar 3 ribu mahasiswa dikirimkan setiap tahunnya dalam program ini.
Deng memang optimis dengan program itu, dan menyebut meski 5 persen dari mereka yang kuliah di luar negeri itu tidak kembali, kebijakan ini tetap akan membuahkan hasil. Memang, jumlah itu di luar perkiraan Deng. Sebab, di tahun 1997, hanya 32 persen dari total 293 ribu mahasiswa yang dikirimkan sejak tahun 1978 yang kembali ke Tiongkok.
Fenomena ini sempat dilihat sebagai sisi negatif program ini. Namun, kalau mau dianalisis secara spesifik, dari 32 persen yang kembali itu, kontribusinya cukup besar bagi keseluruhan pembangunan Tiongkok.
Dalam melaksanakan strategi ini, Tiongkok mengalokasikan sumber daya yang signifikan untuk mendukung pendidikan tinggi di luar negeri. Ribuan mahasiswa Tiongkok diberikan kesempatan untuk belajar di berbagai institusi akademis di seluruh dunia. Pemerintah menyediakan beasiswa, dukungan finansial, dan infrastruktur yang mendukung mahasiswa dalam mengejar pendidikan mereka di luar negeri.
Setidaknya ada beberapa dampak positif dari program ini. Pertama, mahasiswa yang belajar di luar negeri mendapatkan akses kepada pengetahuan terkini dan keterampilan yang umumnya terkait dengan sistem pendidikan dan bisnis Barat. Ini mencakup metode pengajaran, teknologi terbaru, dan praktek manajemen modern.
Kedua, proses belajar di luar negeri membuka pintu bagi mahasiswa untuk membangun jaringan internasional yang luas. Hal ini penting dalam konteks globalisasi ekonomi, di mana kerjasama antarnegara dan perusahaan multinasional menjadi kunci keberhasilan.
Ketiga, mahasiswa yang terpapar pada lingkungan akademis yang beragam dan terbuka terhadap berbagai ide dan perspektif cenderung menjadi inovatif dan kreatif. Ini membantu Tiongkok untuk tidak hanya mengadopsi, tetapi juga menciptakan solusi untuk tantangan ekonomi yang dihadapinya.
Keempat, mahasiswa yang kembali ke Tiongkok setelah menyelesaikan pendidikan mereka di luar negeri membawa pulang pengetahuan dan keterampilan yang sangat bernilai. Mereka menjadi agen perubahan di berbagai sektor, mulai dari teknologi dan industri hingga manajemen bisnis.
Dan kelima, keberhasilan mahasiswa Tiongkok di luar negeri menciptakan dorongan bagi peningkatan standar pendidikan di dalam negeri. Ini mencakup reformasi kurikulum, metode pengajaran, dan fasilitas pendidikan.
Namun, seperti disinggung sebelumnya, program ini juga memiliki kelemahan. Di antaranya adanya potensi brain drain, yaitu kehilangan sumber daya manusia terbaik yang memilih untuk tetap di negara tempat mereka belajar. Hal ini dapat mengurangi dampak positif yang diharapkan.
Kemudian, mahasiswa yang kembali mungkin menghadapi tantangan dalam mengintegrasikan pengetahuan dan pengalaman mereka ke dalam lingkungan kerja dan budaya Tiongkok yang mungkin berbeda. Penting untuk memastikan bahwa mereka dapat mengaplikasikan keterampilan mereka secara efektif.
Meskipun banyak yang melemparkan kritik pada Deng Xiaoping dan programnya, terutama soal brain drain, namun perlu menjadi catatan bahwa kebijakan Deng Xiaoping tetap saja berkontribusi besar pada Tiongkok hari ini. Program ini membuka Tiongkok ke dunia luar, mendapatkan tambahan ahli dan pemikir yang handal, serta mempengaruhi budaya intelektualisme di negara tersebut. Poin-poin ini menjadi penentu pembangunan Tiongkok di kemudian hari.
Jadi Strategi Pembangunan Yang Efektif?
Strategi pengiriman ribuan mahasiswa ke luar negeri yang diterapkan oleh Deng Xiaoping merupakan langkah bijak yang memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan ekonomi Tiongkok. Dengan membawa pulang pengetahuan global dan keterampilan modern, mahasiswa tersebut telah menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi di Tiongkok.
Meskipun demikian, tantangan seperti potensi brain drain dan integrasi kembali perlu dikelola secara bijaksana. Kesinambungan dan peningkatan dalam implementasi strategi ini akan memastikan bahwa Tiongkok terus menjadi pemain utama dalam panggung ekonomi global.
Tantangan terbesar Prabowo Subianto dalam program ini katakanlah kalau benar-benar diimplementasikan saat ia menjabat sebagai presiden nanti adalah memastikan program ini memberi jaminan bahwa mereka yang belajar di luar negeri bisa kembali ke Indonesia lagi.
Jangan sampai negara telah mengeluarkan dana yang begitu besar untuk pendidikan mereka, namun para mahasiswa itu memilih untuk mengabdi di negara lain. (S13)