Site icon PinterPolitik.com

Strategi Kaos Oblong ala Zelensky

Strategi Kaos Oblong ala Zelensky

Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky (Foto: timesofisrael.com)

Sedikit melepaskan diri dari fokus  konflik Rusia-Ukraina yang menampilkan ketegangan, beberapa media menyoroti cara berbusana Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang dianggap kontroversi karena menggunakan kaos oblong. Lantas, strategi ataukah pesan apa yang hendak diungkapkan Zelensky dengan menggunakan kaos oblong tersebut?


PinterPolitik.com

Serangan media barat kepada Rusia yang menginvasi Ukraina bukan hanya berfokus pada peperangan baik militer dan ekonomi, melainkan juga pribadi sang pemimpin jadi obyek mereka. Media menyoroti setiap detail dari penampilan pemimpin Rusia tersebut.

Presiden Rusia Vladimir Putin digambarkan sebagai pribadi yang modis dengan pakaian berharga selangit dan berkali-kali lipat dari penghasilan rakyatnya. Sebuah ironi yang mana Rusia dikenal sebagai negara yang mewariskan ide-ide anti-kemapanan kelas ekonomi dari Uni Soviet.

Sementara, di sisi lain, media Barat memuji Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang ditampilkan hidupnya sangat sederhana – terutama pada masa peperangan Zelensky selalu memakai kaos oblong (t-shirt) berwarna hijau khaki (hijau militer). Zelensky tidak pernah memakai setelan jas layaknya pemimpin negara lainnya.

Bahkan, pengaruh mode berpakaian Zelensky diikuti oleh pemimpin negara lainnya. Beberapa media memberitakan perubahan berbusana Presiden Prancis Emmanuel Macron yang tampak mengenakan setelan casual setelan jeans dan hoodie dalam beberapa kali kesempatan di Istana Kepresidenan.

Namun, keputusan Zelensky untuk memilih kaos oblong sebagai pakaian yang digunakan sehari-hari juga mendapatkan protes dari beberapa pihak. Peristiwa ini terekam saat Zelensky mengenakan kaos dalam pertemuan virtual melalui sambungan video call dengan anggota kongres Amerika Serikat (AS).

Dalam pertemuan itu, tampak Zelensky memilih menggunakan busana santai, dibandingkan pakaian formal seperti kemeja dan dasi. Cara berbusana Zelensky itu menarik perhatian seorang pialang saham Amerika serta Kepala Ekonom di Euro Pacific Capital, Peter Schiff.

Melalui sebuah unggahan di Twitter, Peter Schiff menuduh pemimpin Ukraina ‘tak menghormati’ AS karena pakaian yang dikenakannya saat bertemu para anggota kongres. Schiff melihat busana merupakan simbol kesopanan, dan Zelensky dianggap tidak menggunakan busana yang sopan.

Memang, sering kali dalam kehidupan kita, busana juga dapat dimaknai dalam sebuah simbol-simbol tertentu – seolah terdapat penilaian terhadap jenis busana yang kita gunakan. Jika memang demikian, lantas, seperti apa kita memaknai arti di balik simbol berbusana Zelensky secara politik?

Kaos Simbol Perlawanan

Dengan beriringnya zaman, fungsi busana – khususnya kaos – telah mengalami pergeseran. Tidak hanya sebagai penutup aurat dan sekedar penampilan demi mengikuti perkembangan zaman. Kaos juga telah difungsikan sebagai alat perlawanan terhadap apa pun.

Melalui segala pernak-pernik dan atribut yang mengikutinya, kaos digambarkan sebagai busana yang sering kali diartikan dengan ketidakformalan, bahkan pada acara resmi dianggap tidak sopan.  Padahal ,ini hanya faktor kebiasaan, seperti juga batik yang dulu dianggap sebelah mata tetapi, saat dipakai tokoh besar, kemudian berubah menjadi kebanggaan.

Meminjam pandangan sosiolog Universitas Udayana Budi Wahyu Nugroho, melihat fenomena pandangan yang dikotomis ini sebagai sebuah gejala sosial yang sering menghampiri persepsi dalam masyarakat. Wahyu, meminjam perspektif habitus dari Pierre Bourdieu, mengatakan bahwa munculnya dikotomi antara “budaya tinggi” dan “budaya rendah” tak terlepas dari konstruksi permainan modal sosial, ekonomi, budaya dan modal simbol entitas individu atau kolektif.

Dalam konteks berbusana, misalkan, kalangan intelektual dengan modal budaya berupa tingkat pendidikan yang tinggi secara tak sengaja gemar mengenakan busana kemeja, jas, dan dasi. Lambat laun, hal tersebut dapat melahirkan persepsi bahwa ciri khas tersebut adalah busana kaum terpelajar dan dianggap formal.

Sebaliknya, kalangan kelas bawah yang gemar mengenakan busana kaos dan pakaian sederhana, lambat laun dapat memunculkan anggapan busana itu sebagai bagian dari kelas bawah. Cara kerja persepsi-persepsi tersebut tak ubahnya seperti “stereotip”.

Hal inilah yang kemudian melahirkan “distingsi” atau jarak sosial antara satu individu/kolektif dengan individu/kolektif lainnya. Implikasi yang ditimbulkannya pun jelas, yakni lahirnya dikotomi antara budaya tinggi dengan budaya rendah serta penciptaan segregasi sosial secara tak kasat mata.

Kaos oblong sempat menuai kritikan dan protes dari kalangan yang menolak apabila kaos oblong digunakan dalam kegiatan sehari-hari. Banyak orang menilai bahwa penggunaan kaos polos dianggap tidak sopan.

Sopan dan tidak sopan adalah bahasa lain dari penilaian baik dan buruk. Pada konteks berbusana, pikiran kita turut tertuju pada dikotomi antara yang baik dengan yang buruk. Mengapa sesuatu dapat dikatakan baik sedangkan yang lain buruk?

Jawabannya dapat ditelusuri dari pemikiran filsuf Richard Rorty yang berpendapat bahwa tidak ada prinsip-prinsip yang bersifat universal. Baginya, pemikiran setiap manusia ditentukan oleh bahasa apa yang dipelajari orang tersebut.

Secara umum, Rorty membagi dua tipe manusia, yakni manusia metafisik dan manusia ironis. Manusia metafisik merupakan mereka yang menerima dan meyakini penuh sesuatu yang bersifat taken for granted  “apa adanya”, serta seakan telah ditentukan begitu saja.

Sebaliknya, manusia ironis adalah mereka yang tak begitu saja menerima berbagai bentuk apa pun yang terjadi begitu saja. Manusia ironis lebih ketat berpikir bahwa segala sesuatunya terjadi secara kebetulan ataupun acak sehingga perlu penyelidikan lebih jauh terhadap sesuatu yang dianggap telah baku tersebut.

Dengan cara berpikir demikian, maka kaos bisa saja mendapatkan penilaian yang berbeda. Kaos telah mengalami pergeseran makna dan estetika. Sering kali, dengan menggunakan kaos oblong, usia tak lagi terdeteksi secara nyata karena hilangnya keformalan yang saklek.

Bahkan di beberapa peradaban modern dan seni di berbagai negara. Kaos dianggap sebagai media untuk think differently, yang mana terdapat upaya untuk mengungkapkan pikiran melalui kaos – seperti elakukan perlawanan melalui kaos.

Di AS, teknik pewarnaan kaos oblong atau kaos polos erat dikaitkan dengan budaya tandingan yang muncul di tahun 60-an. Motif warna tidak beraturan pada kaos adalah lambang penolakan masyarakat Amerika ketika itu terhadap norma-norma sosial yang ketat yang diberlakukan pada tahun 50-an.

Mereka menolak tindak kekerasan, kapitalisme, materialisme, dan keseragaman yang ada. Budaya hippie yang terkenal di AS pun membuat motif ini untuk mengungkapkan cinta dan kasih sayang yang belum ditemukan dalam kehidupan ketika itu.

Hippie tersebut merupakan suatu kultur penikmat musik psychedelic rock yang kurang diterima dalam masyarakat. Selain itu, kaum hippies juga terkenal dengan orang-orangnya yang gemar mengonsumsi narkoba.

Well, kaos rupanya mempunyai sejarah yang unik dan penuh dengan pemaknaan tersendiri secara filosofis maupun sosiologis. Lantas, seperti apa penafsiran penggunaan kaos  oblong yang sering digunakan oleh Zelensky? Apakah terdapat upaya tersembunyi dibalik cara berbusana tersebut?

Zelensky Tawarkan Empati?

Terlihat bahwa pilihan pakaian kaos oblong Zelensky ditafsirkan sebagai bentuk kesederhanaan, bukan berarti bentuk ketidaksopanan. Ini dapat dimaklumi karena posisinya yang saat ini sedang terdesak oleh serangan militer Rusia yang semakin masuk ke jantung ibu kota Kyiv.

Keterdesakan ini dan upaya menampilkan pakaian yang sederhana dapat ditafsirkan sebagai pesan simbolik Zelensky untuk menarik empati dunia luar yang menyaksikan perjuangannya ikut membantu perjuangannya.

Roman Krznaric dalam bukunya Empathy; Why It Matters, and How to Get it, mengatakan, bahwa manusia pada dasarnya adalah Homo Empathicus. Sembilan puluh delapan persen dari kita sebenarnya punya potensi berempati yang tinggi dan fitrah ini sudah cukup sebagai alasan bahwa revolusi bisa tercipta dari empati yang paling sederhana sekalipun.

Dari sini, kita bisa Berpijak dari konsep outrospeksi, kebalikan dari introspeksi. Bila di zaman Yunani, Socrates mengatakan bahwa, untuk jadi manusia bijak dan bajik, kita harus menyelami diri kita sendiri (introspeksi), maka Krznaric menyeimbangkan introspeksi dan outrospeksi untuk memenuhi tujuan Socrates itu.

Outrospeksi adalah gagasan tentang siapa Anda, dan melangkah keluar dari diri Anda lalu menatap mata orang lain demi memahami dunia mereka. Dalam upaya memahami di luar diri inilah, rasa empati akan muncul dari diri manusia.

Menarik empati masyarakat dunia yang dilakukan oleh Zelensky ini bukan sesuatu yang baru. Dalam kajian ilmu hubungan internasional, fenomena ini bisa menjadi bagian dari soft diplomacy, yang didalamnya berupa teknik atau strategi yang disebut dengan diplomasi publik.

Jay Wang dalam bukunya Public Diplomacy and Global Business, mengatakan bahwa diplomasi publik sebagai konsep yang sifatnya multi-dimensi, yakni sebagai upaya mencapai kepentingan nasional suatu negara melalui understanding, informing, dan influencing foreign audiences.

Jika proses diplomasi tradisional melalui government to government relations, maka, sebaliknya, diplomasi publik lebih ditekankan pada government to people. Upaya untuk menyampaikan pesan kepada publik.

Di sinilah, terlihat bahwa simbol-simbol yang diperlihatkan Zelensky dengan menggunakan kaos oblong adalah bentuk dari diplomasi kepada masyarakat dunia. Pada akhirnya, masyarakat dunia yang dapat menginterpretasi pesan yang telah disampaikan oleh Zelensky tersebut. (I76)


Exit mobile version