HomeNalar PolitikStrategi Jerat-Rangkul Ala Jokowi

Strategi Jerat-Rangkul Ala Jokowi

Jokowi berusaha menaklukkan musuh dengan cara merangkul lawan politik untuk menjadi kawan.


PinterPolitik.com

[dropcap]K[/dropcap]etua Dewan Pembina Partai Golkar, Aburizal Bakrie baru saja menggelar pertemuan dengan Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin. Pertemuan tersebut digelar di kediaman Aburizal dan dihadiri oleh para politisi Koalisi Indonesia Kerja (KIK). Aburizal menuturkan, pertemuan itu digelar untuk silaturahmi dan membahas kemenangan Presiden Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019.

Menurut Ketua TKN Jokowi-Ma’ruf, Erick Thohir, pertemuan antara Aburizal dan TKN semakin memperjelas posisi politik Aburizal pada Pilpres kali ini. Hal itu diperkuat oleh pendapat para politisi seperti Sekertaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto bahwa pada pertemuan itu, Aburizal memberi masukan dan kritik kepada TKN Jokowi-Ma’ruf dalam menghadapi Pilpres.

Pertemuan antara Aburizal dengan tim pemenangan Jokowi tentu saja terbilang langka, karena selama ini Aburizal sering diisukan berseberangan dengan Jokowi. Apalagi pada Pilpres 2014, politisi Golkar tersebut merupakan pendukung Prabowo.

Belakangan ketika Golkar sudah memutuskan untuk mendukung Jokowi, Aburizal masih terkesan setengah hati untuk mengakui hal itu. Ia pun sempat mengkritik pemerintah ketika terjadi pelarangan deklarasi gerakan #2019GantiPresiden di sejumlah wilayah. Maka tak heran jika Aburizal dinilai berseberangan dengan Jokowi.

Perubahan sikap politik Aburizal patut menjadi tanda tanya, mengapa akhirnya Aburizal memilih berlabuh ke kubu Jokowi? Mungkinkah karena ada alasan tertentu?

Aburizal setara Hary Tanoe?

Jokowi mungkin bisa sedikit bernafas lega. Perlahan, satu-persatu lawan politiknya berhasil ia rangkul untuk menjadi kawan politik. Sebelum Aburizal, Hary Tanoesodibjo sudah lebih dulu merapat ke kubu Jokowi. Tanoe merupakan tim pemenangan Prabowo-Hatta pada Pilpres 2014, bahkan setelah Pilpres selesai,  Tanoe masih aktif mengkritik Jokowi melalui media-media miliknya.

Akan tetapi, sejak pertengahan tahun 2017, sikap politik Tanoe mulai berubah. Bos MNC Group itu secara mendadak memberi sinyal dukungan kepada Jokowi untuk maju kedua kalinya pada Pilpres 2019.

Dukungan terhadap Jokowi muncul ketika Hary Tanoe mengurungkan niatnya untuk maju pada Pilpres 2019. Bloomberg menulis dukungan itu mungkin saja dilatarbelakangi oleh serangkaian skandal Hary Tanoe, seperti pada kasus penipuan pajak hingga SMS bernada ancaman ke jaksa.

Dugaan itu bisa saja benar. Dikarenakan setelah Hary Tanoe mendukung Jokowi, kasus hukum itu menghilang. Publik bisa saja sulit menerima tenggelamnya kasus Hary Tanoe sebagai tersangka kasus hukum sebagai sebuah kebetulan.

Baca juga :  Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Saat ini, sikap serupa ditunjukkan oleh Ketua Dewan Pembina Golkar Aburizal Bakrie. Ical, sapaan akrab Aburizal, dulu sangat kontra terhadap Jokowi, namun tiba-tiba saja politisi Golkar itu berbelok arah untuk mendukung Jokowi. Maka wajar ketika hal itu mendapat perhatian dari berbagai pihak. Adakah alasan lain di balik perubahan sikap politik itu?

John McBeth, dalam Asia Times sempat menulis kemungkinan hengkangnya Golkar dari barisan pendukung Jokowi, dikarenakan Jokowi dianggap tak ada ketika para politisi Golkar digerogoti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tahun politik.

McBeth menggambarkan para petinggi Golkar merasa ketika Jokowi ingin Golkar bertahan dalam koalisi, ia seharusnya bisa melakukan sesuatu terhadap kondisi Golkar yang sedang diincar oleh KPK. Golkar memang sedang disorot oleh kasus korupsi PLTU Riau. Politisi Golkar Idrus Marham sudah ditetapkan sebagai tersangka karena diduga bermain dalam kasus suap tersebut.

Selain Idrus, Aburizal Bakrie adalah politisi Golkar lain yang sedang disorot oleh publik. Perusahaan Bakrie Group milik Aburizal diduga telah terlibat dalam skandal kasus Newmont. Recapital Asset Management, perusahaan pengelola investasi Bakrie Group diduga mengalirkan uang ke Gubernur NTB Tuan Guru Bajang (TGB). KPK menduga uang itu berkaitan dengan gratifikasi terkait pembelian saham hasil divestasi Newmont.

Di tengah pemeriksaan kasus tersebut oleh KPK, tiba-tiba Ical mendaratkan dukungannya kepada Jokowi. Pola perubahan sikap politik tentu mirip dengan pola Hary Tanoe, dimana Ical dan Tanoe berusuan dengan kasus hukum terlebih dahulu, lalu mulai berbalik arah, mendukung Jokowi pada Pilpres 2019.

Jokowi Meniru Xi Jinping?

Politik itu seperti perang. Setiap kubu berusaha menalukkan kubu lain dengan perencanaan dan strategi. Dalam konteks politik Indonesia, diduga kuat strategi “perang” Jokowi adalah berusaha menaklukan musuh dengan cara merangkul lawan untuk menjadi kawan. Fenomena Hary Tanoe, Aburizal, sampai Ali Mochtar Ngabalin mencerminkan pola strategi “merangkul” ala Jokowi.

Jika diperhatikan, Jokowi memiliki kemiripan dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping dalam strategi perangnya. Perlu diakui, strategi antara kedua pemimpin ini tidak benar-benar sama persis, tetapi tidak berarti keduanya sepenuhnya tidak dapat diperbandingkan.

Jika diperhatikan, Jokowi memiliki kemiripan dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping dalam strategi perangnya. Share on X

Dalam sebuah tulisan di vox.com professor hukum Fordham Law School New York Carl Minzner berpendapat Xi Jinping membangun kekuatan di Tiongkok secara bertahap dengan menyingkirkan satu per satu lawan politiknya.

Ketika Xi Jinping berkuasa, lawan politik Xi di Partai Komunis Tiongkok (PKT), Bo Xilai, terkena skandal terkait pembunuhan warga Inggris. Setelah dijerat oleh kasus tersebut, Bo Xilai kehilangan posisi di partai, parlemen, sampai menghadapi tuntutan hukum.

Baca juga :  Arilangga: Prabowo’s Right Hand Man?

Selain itu, kampanye anti-korupsi Xi Jinping di Tiongkok juga menjadi alat politik untuk menyingkirkan musuh-musuh politik sang presiden. Berangsur-angsur lawan politik Xi tersingkir dalam kursi pemerintahan dan militer karena dihantam oleh kasus hukum.

Sekilas memang terdapat kesamaan antara Jokowi dengan Xi Jinping, di mana lawan-lawan politik Jokowi secara tiba-tiba dihantam kasus hukum tertentu, seperti yang terjadi pada Hary Tanoe dan Aburizal Bakrie.

Ical Dukung Jokowi

Namun, Xi Jinping dan Jokowi memiliki perbedaan, dimana Xi menggunakan hukum untuk menyingkirkan lawan-lawan politik, sedangkan Jokowi menggunakan hukum bukan untuk memukul, melainkan untuk merangkul lawan.

Jika dianalogikan dengan perang, strategi Xi Jinping dalam menakulan lawan mungkin lebih mirip dengan Genghis Khan. Genghis Khan dikenal karena sering “menghantam habis” musuh di medan perang.

Genghis Khan mengunakan teknologi pengepungan seperti ketapel dan trebuset dengan teknik pertempuran tradisional padang rumput yang didasarkan pada kecepatan dan kejutan. Hasilnya adalah serangkaian kemenangan tak terputus dari Baghdad sampai Bukhara.

Xi Jinping seperti ingin meniru Genghis Khan, di mana pemimpin Tiongkok tersebut berusaha memukul lawan dengan “kejutan” kasus hukum dan menghantam mereka sampai habis. Satu di antara contoh strategi hantam habis itu bisa dilihat pada kasus Bo Xilai, dimana politisi PKT itu terjerat kasus hukum sehingga ia harus kehilangan posisi penting dalam partai dan pemerintahan.

Seperti Genghis Khan yang menguasai teknologi perang, Xi Jinping pun menguasai seluruh bidang di Tiongkok, mulai dari pemerintahan, bisnis hingga militer. Maka tak heran ketika Xi Jinping berani memukul lawan-lawan politiknya hingga mereka menghilang dari kursi kekuasaan.

Jokowi tidak seperti Xi Jinping. Presiden Indonesia tersebut belum menguasai militer, ekonomi bahkan pemerintahan. Jeffrey Winters menilai justru Jokowi tersandera dalam pemerintahannya sendiri karena tak kuasa menahan arus kepentingan para oligarki.

Maka tak heran ketika Jokowi tidak menghantam lawan seperti Xi Jinping di Tiongkok. Bisa saja Jokowi sadar bahwa ia belum menguasai semua bidang, karena itu Jokowi berusaha merangkul lawan-lawan politik untuk menjadi kawan. Bukan justru memukul mereka.

Jika Xi Jinping seperti sedang menjalankan strategi Genghis Khan, mungkin saja Jokowi sedang berstrategi ala Sun Tzu. Dalam buku The Art of War Sun Tzu menekankan bahwa menangkap musuh lebih penting ketimbang menghancurkan atau meluluhlantakkan musuh secara keseluruhan. Sekilas, terlihat bahwa, Jokowi menjalankan seni perang ala Sun Tzu ini dengan merangkul lawannya alih-alih menghancurkan hidup mereka dengan jeratan hukum.

Jika benar Jokowi mengadopsi strategi perang ala Sun Tzu, maka bukan tidak mungkin strategi jerat-rangkul ini akan berlanjut. Menarik untuk dilihat bagaimana Jokowi akan memainkan strategi perangnya di masa depan. (D38)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

Politik Snouck Hurgronje ala Jokowi

Ada indikasi Jokowi menggunakan taktik Snouck Hurgronje dalam menguasai wilayah Banten. Hal itu dikarenakan, Jokowi kerap mengenakan simbol-simbol Islam dan adat ketika berkunjung ke...

Rangkul Pemuda Pancasila, Jokowi Orbais?

Pemuda Pancasila adalah organisasi warisan Orde Baru (Orbais). Apakah kelompok ini akan dirangkul oleh Jokowi di Pilpres 2019? PinterPolitik.com Istana kedatangan tamu. Kediaman presiden itu kini...

Tampang Boyolali, Prabowo Sindir Jokowi?

Kata-kata “tampang Boyolali” ala Prabowo terindikasi memiliki kaitan dengan latarbelakang Jokowi sebagai presiden keturunan Boyolali. PinterPolitik.com Akhir-akhir ini, Prabowo Subianto menjadi sorotan. Yang terbaru, kata-kata Prabowo...