Site icon PinterPolitik.com

Strategi Cerdik Nasdem di 2024?

Ketua Umum (Ketum) Partai Nasdem Surya Paloh memberikan sambutan di kegiatan Kongres II Nasdem yang dilaksanakan pada November 2019 silam di Jakarta. (Foto: Media Indonesia)

Ketua Umum (Ketum) Partai Nasdem Surya Paloh memberikan sambutan di kegiatan Kongres II Nasdem yang dilaksanakan pada November 2019 silam di Jakarta. (Foto: Media Indonesia)

Partai Nasdem memastikan akan menyelenggarakan konvensi untuk menentukan calon presiden (capres) yang akan diusung dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Apa strategi dan pertimbangan Nasdem dibalik penyelenggaraan konvensi?


PinterPolitik.com

Dalam risalah militer legendaris The Art of War, khususnya dalam bagian Weaknesses and Strengths, Sun Tzu bertitah bahwa siapapun yang pertama tiba di sebuah medan laga, akan menjadi sangat siap untuk pertarungan. Namun, sebaliknya, siapa pun yang berada di “urutan kedua”, akan tiba dengan kelelahan.

Dari risalah ini kita belajar bahwa salah satu strategi yang dianggap para ahli militer sangat penting dalam sebuah peperangan adalah adalah strategi inisiatif. Dalam konteks politik, mungkin saja hal ini juga diadopsi Partai Nasdem dalam tiap langkah dan strategi politiknya. 

Langkah politik inisiatif memang acapkali digunakan Nasdem sebagai taktik dalam sebuah kompetisi adu kandidat. Misalnya, pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2018, mereka yang pertama menyatakan dukungan untuk Ridwan Kamil (RK) di Jawa Barat (Jabar) dan Khofifah Indar Parawansa di Jawa Timur (Jatim). Lalu, dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2019, Nasdem juga tercatat menjadi partai pertama yang mendeklarasikan dukungan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Terbaru, Nasdem menjadi partai pertama yang sejak jauh hari telah memutuskan untuk menggelar konvensi yang bertujuan untuk memilih kandidat calon presiden (capres) yang diusung. Berbagai pihak mengapresiasi langkah Nasdem untuk melakukan konvensi tetapi, di satu sisi, juga muncul keraguan terkait efektivitas dari konvensi ini. 

Hal tersebut tentu menjadi menarik untuk dianalisis. Mengapa Nasdem gencar untuk merencanakan konvensi capres? Bagaimana kalkulasi politik dan pertimbangan di balik strategi tersebut?

Mengenal Konvensi 

Konvensi parpol sering terdengar utamanya di kancah politik Amerika Serikat (AS). Dengan sistem kepartaian di sana, sederhananya, parpol di AS menjadikan konvensi untuk menyeleksi secara internal para kandidat presiden dan wakil presiden sebelum partai secara resmi mengusung pasangan kandidat ke lembaga penyelenggara pemilu.

Tevi Troy dalam The Evolution of Party Conventions menjelaskan dengan cukup jelas sejarah perkembangan konvensi, di mana esensinya ialah demi partai yang lebih kuat dan aktif dalam aspek perencanaan dan koordinasi jelang kontestasi elektoral.

Dalam sejarah politik Indonesia, konvensi pertama kali dilakukan oleh Partai Golkar di saat kepemimpinan Akbar Tandjung periode 1998-2004 — memelopori mekanisme perekrutan kandidat presiden secara terbuka melalui mekanisme itu. Tak hanya Golkar, konvensi juga sempat dilakukan oleh Partai Demokrat pada tahun 2014 tetapi, sayangnya, banyak dianggap kurang berhasil.

Baca Juga: NasDem Terjebak Politik Jawa Jokowi?

Menurut Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate Ari Nurcahyo, kelebihan konvensi ialah dapat mencegah politik dinasti dari parpol. Selain itu, konvensi pun bisa mengembalikan citra partai di mata khalayak dengan munculnya tokoh-tokoh yang benar-benar diharapkan. 

Ide konvensi juga dinilai dapat mengubah sistem pengambilan keputusan di tubuh parpol dari tendensi sentralistis menjadi demokratis. Bila benar demikian manfaat dan keuntungan dari mengadakan konvensi, lantas, pertimbangan yang mana yang membuat Nasdem menyelenggarakan konvensi capres ini?

Konvensi Menguntungkan?

Nasdem di sisi lain juga bukan tidak mungkin mempunyai pertimbangan tertentu di balik konvensi tersebut Dalam politik, hal ini dapat dijelaskan melalui konsep cost and benefit analysis dari tulisan Niek Mouter yang berjudul The Politics of Cost-Benefit Analysis

Mouter menjelaskan bahwa aktor politik baik partai maupun politisi idealnya menimbang kerugian (cost) dan keuntungan (benefit) dalam memutuskan tindakan politik mereka. Kalkulasi ini dilakukan agar partai politik dapat mencapai tujuan politiknya dengan menimbang keputusan dan tindakannya

Berangkat dari tulisan Mouter, merujuk pada kalkulasi politiknya ada beberapa analisis terkait kerugian (cost) dan keuntungan (benefit) dari inisiasi Nasdem menggelar konvensi ini. Dari segi kerugian (cost) konvensi Nasdem yang rencananya akan digelar pada tahun 2022 dinilai tak lepas dari risiko.

Masalahnya adalah calon yang terpilih belum tentu dapat diusung Nasdem. Sebab, Nasdem dengan perolehan suara pada Pileg 2019 hanya 9,05% tentunya tidak bisa sendiri mengusung capres. 

Nasdem harus berkoalisi dengan partai lain untuk memenuhi ambang batas presiden. Untuk berkoalisi, Nasdem juga akan menghadapi kendala karena sudah menetapkan ketua umum partai politik tidak boleh ikut konvensi.

Padahal, beberapa ketua umum partai politik — seperti Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar, dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) — juga disinyalir akan dicalonkan oleh partainya pada Pilpres 2024. Partai politik tersebut dengan sendirinya akan sulit berkoalisi dengan Nasdem.

Baca Juga: Nasdem Terancam Sandiaga Uno?

Imbasnya, jika Nasdem gagal mengusung calon yang menang dalam konvensi ke dalam kontestasi pilpres ini akan menjadi “bumerang” bagi kredibilitas partai.  Selanjutnya, dari segi keuntungan (benefit)

Pertama, dengan menggelar konvensi, Nasdem secara otomatis akan mendapatkan calon presiden potensial dari proses ini. Hal ini jelas akan memberikan keuntungan — mengingat Nasdem sejauh ini memang tampak mengalami persoalan terbesar, yakni kurang memiliki kader yang benar-benar punya elektabilitas mumpuni untuk dicalonkan sebagai presiden.

Oleh karena itu, munculnya wacana konvensi yang akan diselenggarakan Nasdem nampak realistis. Pun ketika menatap perhelatan Pilpres 2024 mendatang, nama-nama yang ada dalam bursa dan paling memiliki prospek kebanyakan telah memiliki afiliasi parpol tersendiri — seperti Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, dan Ganjar Pranowo.

Kedua, konvensi merupakan cara paling efisien untuk melakukan sosialisasi politik, baik itu bagi para peserta maupun secara khusus bagi Partai Nasdem itu sendiri. Dengan menyelenggarakan konvensi, branding Nasdem akan melekat di tiap peserta konvensi. 

Para peserta konvensi sendiri, tentunya akan datang tidak sebagai gerbong kosong di belakangnya. Mereka diyakini akan membawa basis pemilih yang loyal di segmen masing-masing sehingga, tanpa mengeluarkan cost politik yang besar untuk melakukan kampanye dan sosialisasi, Nasdem dengan sendirinya dapat menjangkau beberapa segmentasi pemilih tersebut. Hal ini merupakan langkah sosialisasi politik yang efektif dan efisien bagi partai. 

Ketiga, dari segi pencitraan, dengan melaksanakan konvensi Nasdem dapat menampilkan citra sebagai partai yang demokratis dalam mengambil keputusan. Hal ini dinilai sebagai sebuah terobosan di tengah minimnya kepercayaan publik terhadap eksistensi partai politik yang dianggap semakin tidak demokratis. 

Pada akhirnya, jika keseluruhan faktor ini dianalisis dengan konsep cost and benefit, dengan menggelar konvensi, Nasdem diyakini tetap akan lebih banyak keuntungan (benefit) daripada kerugian (cost) yang berpotensi menimpanya. Lantas, akankah konvensi Nasdem menarik bagi kandidat capres?

Nasdem, “Pelabuhan” Menarik?

Ulla Fionna dan Dirk Tomsa dalam Parties and Factions in Indonesia: The Effects of Historical Legacies and Institutional Engineering mengatakan bahwa Nasdem dapat diklasifikasikan sebagai personalistic parties atau partai personalistik karena satu-satunya tujuan mereka yang tampak adalah untuk menjadi kendaraan elektoral bagi ambisi tokoh-tokoh politik besar.

Baca Juga: Kuartet Menteri PKB, Nestapa Nasdem?

Hal ini terlihat, misalnya, pada Pilkada 2018, mereka menjadi partai pertama yang memberikan kendaraan politik bagi beberapa tokoh potensial non-parpol seperti RK dan Khofifah yang pada akhirnya berhasil menjadi gubernur di provinsi masing-masing.

Tak berhenti sampai disini, mengacu pada data yang dirilis oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada Pemilu 2019 lalu, disebutkan 20 dari 31 caleg petahana justru pindah parpol ke Nasdem. Temuan serupa juga dipaparkan oleh Koordinator Konsorsium LSM Bengkulu Syaiful Anwar yang menyebutkan bahwa sebanyak 195 kepala daerah di Indonesia telah menjadi kader Nasdem sebelum gelaran Pemilu 2019 dilaksanakan.

Terkait hal ini, signifikansi kekuatan politik Nasdem yang dapat menarik minat beberapa politisi diduga karena didukung oleh ketersediaan modal ekonomi yang mumpuni. Seperti yang jamak diketahui, di tubuh Partai Nasdem sendiri banyak terdapat pengusaha-pengusaha yang tentunya dapat menunjang performa partai dalam menghadapi Pemilu.

Ditambah sejak awal, partai ini memposisikan diri sebagai kekuatan politik yang terbuka (catch-all party) dan tidak menganut ideologi politik yang ekstrem – baik kiri maupun kanan. Sikap politik yang moderat dan terbuka tersebut memudahkan partai ini untuk menyesuaikan diri dengan berbagai kondisi dan aktor politik.

Menggabungkan berbagai modal politik — seperti modal ekonomi, hingga karakteristik partai yang terbuka — membuat Nasdem memiliki potensi besar untuk menarik kader-kader partai lain atau kandidat potensial non parpol untuk berlabuh. James Coleman dalam konsep rational choice theory mengungkap bahwa politisi sebagai makhluk rasional akan akan berusaha untuk sebisa mungkin mendapatkan keuntungan yang optimal dengan memanfaatkan segala fasilitas, kemampuan, dan kondisi yang dimiliki.

Dalam konteks ini, pilihan bergabung Nasdem bisa dianggap sebagai pilihan yang paling rasional bagi para kandidat capres potensial non-parpol — di antaranya seperti Anies dan Khofifah, dua nama yang santer diberitakan sebagai kandidat kuat peserta konvensi.

Selain karena bekal modal politik yang dimiliki Nasdem, dari segi elektoral, dengan bergabung dengan Partai Nasdem yang berlatar belakang partai nasionalis, segmentasi market pemilih bagi kedua nama tersebut akan lebih luas ketimbang bergabung dengan partai Islam seperti PKS yang memiliki basis pemilih sama dengan Anies dan PKB yang memiliki basis sama dengan Khofifah.

Pada akhirnya, strategi Nasdem menggelar konvensi ini patut diapresiasi sebagai sebuah terobosan di tengah minimnya kepercayaan publik terhadap eksistensi partai politik yang dianggap semakin tidak demokratis. Namun, salah satu indikator keberhasilan dari konvensi ini tentu saja sejauh mana Nasdem bisa menarik para kandidat capres potensial yang ada untuk mengikuti konvensi, sekaligus mengantarnya dalam kontestasi pilpres. Untuk hal ini hanya waktu yang bisa menjawab. (A72)

Baca Juga: Bela Anies, Pembelotan Tersirat Nasdem?

Exit mobile version