“Jurus” pemerintah Indonesia dalam merespon hantaman Covid-19 di bidang ekonomi dinilai masih belum memuaskan. Dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, rencana dan target stimulus ekonomi Indonesia dianggap belum secara komprehensif menyentuh kalangan masyarakat secara menyeluruh dan berkeadilan.
PinterPolitik.com
Meskipun dinilai sangat lamban, pemerintah akhirnya mempublikasikan rencana stimulus di bidang perekonomian terhadap berbagai sektor yang terkena langsung dampak pandemi Covid-19. Kemarin, Presiden Jokowi mengumumkan dana sebesar Rp 405,1 triliun yang digunakan untuk menopang sektor kesehatan, jaring pengaman sosial, insentif perpajakan, stimulus kredit, hingga pemulihan ekonomi nasional.
Upaya tersebut merupakan bagian dari realisasi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Refocussing Kegiatan, Realokasi Anggaran serta Pengadaan Barang dan Jasa dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Namun, selain jumlahnya dinilai menuai pro-kontra apakah proporsional atau tidak, terdapat beberapa aspek vital yang secara spesifik luput dari target stimulus tersebut.
Jika dilihat dengan seksama, realisasi Inpres melalui stimulus tersebut tidak secara spesifik menopang aspek ketahanan pangan yang juga merupakan aspek vital. Padahal tanpa guncangan Covid-19 pun aspek ketahanan pangan di Indonesia dinilai cenderung sangat fluktuatif. Selain itu, aspek ini juga dinilai vital dikarenakan dapat pula menopang perekonomian petani serta kalangan terkait lainnya.
Padahal menurut Peter Timmer dalam jurnalnya berjudul “Food Security in Indonesia: Current Challenges and the Long-Run Outlook”, ketahanan pangan Indonesia disebut sangat rentan sehingga bagai “bom waktu”. Menurut Timmer, itu terjadi terutama karena sangat mengandalkan impor dan sangat minimnya produksi.
Selain itu, target penerima dana jaring pengaman sosial melalui Program Keluarga Harapan (PKH) dan kartu-kartu “sakti” lainnya yang berdasarkan data pemerintah sebelumnya dinilai masih jauh dari sasaran secara menyeluruh. Hal ini dikarenakan, kalkulasi penerima bantuan tersebut luput menghitung dampak Covid-19 sendiri terhadap masyarakat yang jauh lebih luas.
Sebenarnya bukan hanya kali ini saja paket stimulus ekonomi Covid-19 yang dikeluarkan pemerintah Indonesia dinilai kurang memuaskan. Pada stimulus jilid pertama, pemerintah justru memberikan insentif diskon tiket pesawat bagi wisatawan mancanegara dan domestik untuk meningkatkan pemasukan maksimal di sektor pariwisata yang dinilai sangat tidak relevan dengan keadaan mewabahnya virus yang eskalasinya terus meningkat tajam ketika itu.
Kemudian pada stimulus jilid kedua, pemerintah memberikan insentif gratis pungutan Pajak Penghasilan (PPh) kepada pekerja industri manufaktur dan perusahaan untuk menumbuhkan daya beli masyarakat. Atas kebijakan itu, ekonom senior Universitas Indonesia, Faisal Basri menilai hal itu tidak tepat sasaran karena banyak kalangan yang kondisi keuangannya lebih rentan dan telah terdampak cukup signifikan seperti para pedagang kecil serta masyarakat berpenghasilan tidak tetap lainnya.
Jika menengok ke negara tetangga seperti Malaysia, kebijakan paket stimulus ekonomi yang telah dikeluarkan dinilai mengatur dan dieksekusi secara komprehensif serta tepat sasaran dengan nominal yang bervariasi sesuai dengan kemampuan yang membutuhkan. Lantas, berkaca dari hal tersebut, apakah dengan kebijakan stimulus ekonomi yang ada saat ini mengindikasikan stimulus ekonomi Presiden Jokowi belum menunjukkan keadilan atau fairness?
Gestur Fair Negeri Jiran
Fairness atau keadilan disebutkan oleh Tibor R. Machan dalam publikasinya yang berjudul “Politics and Generosity”. Machan menyatakan bahwa keadilan adalah bentuk kebajikan vital dan kemurahan hati yang nilainya vital bagi pemerintah. Hal ini dikarenakan pemerintah diberikan kekuasaan dan kewenangan oleh kontrak politik dari rakyatnya melalui mekanisme pemilihan umum.
Hal inilah yang nampaknya diterjemahkan dengan baik oleh Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yasin. Ketika atmosfer serta mentalitas negara semakin terpuruk karena terhantamnya pula sektor perekonomian akibat lockdown, ia berhasil menghadirkan gestur afeksi, kepedulian, kemurahan hati, dan fairness sebagai seorang pemimpin.
“Terlepas dari apakah anda seorang nelayan di Kukup, Johor, atau petani kecil di Jeli, Kelantan, atau pedagang pasar malam di Kuala Lumpur, berdagang di Pasar Tamu di Kundasang, tidak akan ada yang ditinggalkan.” Itulah penggalan pernyataan Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin yang dinilai membuat rakyat Malaysia optimis menghadapi pandemi Covid-19. Bagaimana tidak, stimulus ekonomi yang dikeluarkan Malaysia bahkan secara spesifik menargetkan hingga pengemudi taksi daring sebagai penerima dana bantuan.
Tidak hanya gesturnya saja, paket stimulus ekonomi yang diberikan Yassin pun dianggap cukup baik karena memiliki sasaran yang jelas. Total anggaran RM 250 miliar atau sekitar Rp 925,4 triliun didistribusikan dengan komprehensif dan dinilai sangat proporsional di antaranya bagi sektor kesehatan, tenaga medis, petugas keamanan, sektor bisnis, pengemudi taksi daring, jaminan sosial rakyat kurang mampu, diskon tarif listrik, hingga nominal tertentu bagi penghasilan di bawah RM 4000.
Lalu, ada pula sebuah bentuk bantuan yang berupa akses internet gratis bagi seluruh rakyat Malaysia selama diberlakukannya lockdown, yang kemudian tentu ratusan juta warganet Indonesia iri dibuatnya.
Berangkat dari perbandingan dari negara tetangga tersebut, seperti apakah alternatif kebijakan yang sebenarnya bisa ditempuh oleh pemerintah untuk memprioritaskan penanganan komprehensif pandemi Covid-19 serta memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat secara menyeluruh?
Alternatif Hingga Radikalisasi Kebijakan
Tiga jilid stimulus yang telah dikeluarkan pemerintahan Jokowi dinilai hanya memberikan topangan ekonomi secara parsial dan temporer. Selain itu, jika melihat rasio jumlah penduduk dengan jumlah anggaran yang digelontorkan, terlihat jelas Indonesia masih jauh tertinggal. Estimasi berapa lama pandemi ini akan berlangsung pun juga belum diketahui secara pasti.
Teori justice as fairness yang dikemukakan oleh John Rawls memaparkan prinsip-prinsip dalam politik dan pemerintahan yang berkeadilan. Salah satu prinsip tersebut ialah difference principle yang mana mengatur distribusi kekayaan dan pendapatan. Rawls menyatakan bahwa dengan implementasi pendekatan distribusi kekayaan dan pendapatan atau yang lebih kita kenal dengan subsidi silang, akan membawa dampak sangat signifikan bagi kalangan dengan perekonomian yang lemah. Dalam hal ini, seluruh elemen yang ada di sebuah negara sangat mungkin dapat bekerja sama menciptakan keadaan yang setara dan berkeadilan.
Berdasarkan Inpres No. 4 Tahun 2020, anggaran stimulus ekonomi Covid-19 Indonesia memang salah satunya berasal dari realokasi anggaran-anggaran negara yang diprioritaskan ulang untuk penanganan pandemi. Namun, distribusi dari stimulus yang telah diumumkan tersebut nampaknya dinilai belum menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat.
Itu misalnya terlihat dengan sektor terkait dengan ketahanan pangan seperti pertanian dan peternakan, perikanan, hingga perkebunan justru tidak termasuk dalam sasaran distribusi stimulus tersebut. Selain itu, penerima jaring pengaman sosial, PKH, dan kartu sakti ala Jokowi dinilai akan banyak yang tidak tepat sasaran seperti yang sudah terjadi sebelumnya akibat basis data yang jauh dari kata akurat. Artinya, aspek keadilan disinyalir sangat mungkin tidak terwujud.
Bercermin dari prinsip fairness itu pula, dalam keadaan pandemi Covid-19 ini, pemerintah dapat mengadopsi hal tersebut ke dalam setiap kebijakan yang diambil. Dalam hal ini pemerintahan Jokowi seharusnya sangat memungkinkan untuk membuat sebuah alternatif regulasi yang mengatur kalkulasi subsidi silang dan distribusi secara komprehensif dari berbagai sumber pendapatan dan kemampuan finansial yang dimiliki antar lembaga pemerintah, badan usaha, hingga individu.
Dari sisi subsidi silang antar individu misalnya. Terjadi melihat tren peningkatan donasi digital berbagai elemen masyarakat Indonesia melalui platform media sosial dan online kala pandemi Covid-19 yang jumlahnya sangat masif. Tahun 2019 lalu misalnya, tren donasi digital masyarakat Indonesia meningkat dua kali lipat dan potensinya dalam bisa mencapai Rp 200 triliun per tahun.
Jika benar-benar kekurangan anggaran untuk Covid-19, sebenarnya pemerintah bisa memulainya secara kreatif mengalokasikan energi untuk membuat alternatif sumber-sumber finansial untuk didistribusikan kembali kepada masyarakat di saat pandemi Covid-19 seperti saat ini. Salah satu yang paling masuk akal ialah dengan berkolaborasi dengan seluruh platform-platform pendukung yang ada untuk menghimpun data, dana dari para filantropis, hingga pendistrbusian kepada kalangan yang membutuhkan.
Lalu, terdapat pula opsi kebijakan yang cenderung radikal namun bukan mustahil untuk dilakukan dari mantan Menko Perekonomian, Rizal Ramli yang menyarankan kepada pemerintahan Jokowi untuk menyingkirkan opsi hutang dan lebih berani melakukan realokasi anggaran secara radikal. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa langkah radikal tersebut bisa dilakukan dengan menghentikan sementara proyek-proyek infrastruktur, termasuk proyek pembangunan ibu kota baru.
Secara keseluruhan, seharusnya pemerintahan Jokowi bisa lebih peka, mendengar aspirasi hingga dari kalangan paling menderita atas dampak Covid-19 ini serta menempuh kebijakan-kebijakan di bidang perekonomian yang berani serta komprehensif untuk dapat dirasakan masyarakat. Jokowi sendiri pernah menyatakan dalam twitnya bahwa setiap negara memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam penanganan Covid-19 ini. Namun jika pendekatan ataupun kebijakan negara lain itu disampaikan, dirumuskan dan dieksekusi secara baik, tentu patut menjadi contoh dan diadopsi. Menarik untuk ditunggu bagaimana kelanjutannya. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.