Ramai-ramai tuduhan bahwa Jokowi menggunakan konsultan politik asal AS, Stan Greenberg kembali menghebohkan panggung pilpres. Meski begitu, keberadaan konsultan politik asing sesungguhnya adalah hal yang wajar sebagai strategi politik. Bagaimanakah sesungguhnya peran konsultan politik asing ini dalam pemilu di sebuah negara?
PinterPolitik.com
[dropcap]A[/dropcap]sing, sebuah kata yang begitu sensitif di Indonesia, apalagi dalam politik, anti asing menjadi jualan paling laku para politisi untuk mendulang simpati masyarakat.
Kali ini, polemik tentang pihak asing menimpa petahana Joko Widodo (Jokowi). Pidatonya yang menuduh kubu oposisi menggunakan teknik propaganda Rusia dan konsultan asing menjadi bulan-bulanan media, bahkan mendapat tanggapan pedas dari pihak kedutaan besar Rusia di Indonesia.
Terlepas dari hal tersebut, ada satu temuan menarik yang diungkap beberapa media arus utama tentang masuknya nama Jokowi sebagi salah satu klien dari seorang konsultan politik asal Amerika Serikat (AS), Stanley B. Greenberg.
Isu Stan Greenberg muncul lagi jelang Pilpres 2019 Share on XBak senjata makan tuan, tentu temuan tersebut semakin membawa sang petahana ke dalam blunder yang cukup pelik dimana setelah ia menuduh pihak lawan menggunakan konsultan dan teknik propaganda asing dalam pemilu, kini dirinya justru yang kena serang dengan kasus serupa.
Awal kejadian ini bermula dari adanya pemberitaan yang mengutip situs political-strategist.com di mana di situs tersebut nama Jokowi tercatut sebagai salah satu klien dari sekian banyak klien Stanley B. Greenberg.
Dalam situs tersebut, tidak hanya Jokowi, ada beberapa nama politisi beken layaknya Presiden AS Bill Clinton, Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela, Wakil Presiden AS Al Gore, Perdana Menteri Inggris Tony Blair, Senator sekaligus eks Menlu AS John Kerry, hingga Kanselir Jerman Gerhard Schroder.
Terlepas dari benar atau tidaknya tuduhan tersebut, menarik untuk mengetahui lebih jauh seluk beluk dunia konsultan politik asing dalam momentum menjelang Pilpres 2019. Sejauh mana peran dan efektivitas konsultan asing ini menjadi hal yang perlu diungkap.
Konsultasi Politik, Sebuah Fenomena Global
Konsultan politik internasional sesungguhnya bukanlah fenomena yang relatif baru. Joe Napolitan disebut sebagai tokoh yang berhasil mempopulerkan konsultasi politik secara internasional pertama kali ketika pada tahun 1969 ia bekerja pada mantan presiden Filipina, Ferdinand Marcos.
Pada tahun 1981, penggunaan konsultan asing semakin meningkat dan menjadi sebuah praktik yang diterima dalam kampanye di seluruh dunia.
Realitas tersebut akhirnya menyebabkan pada akhir tahun 1990-an, menurut David Swanson dan Paolo Mancini, lembaga konsultan politik dari negara-negara Barat layaknya AS, Jerman, Prancis, dan Inggris menjadi semakin aktif dalam pemilihan umum di luar negara mereka sendiri.
Dalam konteks ini, eksistensi konsultan politik sesungguhnya mengacu pada hukum supply dan demand mengingat bahwa lembaga konsultan merupakan sebuah bentuk lain dari sebuah bisnis.
Dalam sebuah artikel di The New York Times, Adam Sheingate dalam tulisannya menyatakan bahwa tak ada politisi yang tak menggunakan jasa konsultan politik jika ingin menang.
Sebagai bagian dari strategi politik, eksistensi lembaga konsultan ini mutlak sebagai sebuah konsekuensi logis adanya kebutuhan strategi untuk meraih pemilih.
Greenberg has served as pollster and political strategist to: President Clinton, President Nelson Mandela, Vice President Al Gore, Prime Minister Tony Blair, U.S. Senator John Kerry, German Chancellor Gerhard Shroder, Joko Widodo, President of Indonesia..https://t.co/DBOBtLZXW6
— Rachland Nashidik (@RachlanNashidik) February 5, 2019
George W. Bush menghabiskan uang hampir 40 juta dolar hanya untuk membayar jasa konsultan politik Oath Strategies, demi melancarkan ambisinya untuk menduduki White House.
Tak hanya Bush, Hillary Clinton juga mengeluarkan uang sekitar 13 juta dolar untuk menyewa empat perusahaan konsultan politik diantaranya Chapman Cubine Adams + Hussey, Bully Pulpit Interactive, GMMB dan Benenson Strategy Group.
Dari kondisi-kondisi tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa peran lembaga konsultan politik dan politisi dalam sebuah momentum pemilihan umum lebih mengarah pada hubungan saling menguntungkan satu sama lain.
Oleh karenanya, dalam konteks politik Indonesia, munculnya nama Greenberg sesungguhnya bukanlah hal yang mengejutkan.
Jika melihat profilnya, Stanley Bernard Greenberg, seorang Amerika-Yahudi ini merupakan salah satu konsultan politik berpengaruh di AS. Ia merupakan CEO Greenberg Quinlan Rosner Research (GQR), sebuah perusahaan riset dan kampanye politik yang bermarkas di Washington D.C dan berafiliasi erat dengan Partai Demokrat AS.
Jika merujuk pada website Greenberg Quinlan Rosner Research, GQR membantu para pemimpin politik yang memiliki visi dalam melakukan modernisasi dan reformasi partai, koalisi, bahkan negara mereka.
Sebagai seorang ahli strategi politik, perannya dalam berbagai pemilu di AS tak diragukan lagi. Ia sudah malang melintang dalam dunia strategi politik sejak era Ronald Reagan.
Dalam sebuah artikel berjudul A Political Pulse-Taker Is Back, Without Missing a Beat Stan Greenberg, ia digambarkan sebagai sosok yang berpengaruh dalam kemenangan Bill Clinton sepanjang perjalanan panjangnya ke Gedung Putih.
Sebagai seorang konsultan politik, ia juga sosok yang cukup pragmatis. Ia pun meninggalkan Clinton setelah bencana tahun 1994, ketika partai Demokrat kehilangan kursi Senat dalam pemerintahan AS. Setelah meninggalkan Clinton, ia justru kembali ke gelanggang politik dengan membantu Al Gore pada Pilpres AS tahun 2000.
Lalu bagaimana sesungguhnya menakar peran Greenberg ini dalam kapasitasnya sebagai seorang ahli strategi politik?
Jokowi dan Tuah Politik Greenberg
Dalam wilayah kerjanya, seorang konsultanpolitik merupakan sosok yang bertanggung jawab atas kemenangan kanidat yang didukungnya..
Ia juga harus merancang segala sesuatu yang berkaitan denganstrategi kampanye, mengoordinasikan tim kampanye, dan melakukan branding personal kandidat yang akan bertarung.
Bak produsen dari sebuah barang, peran paling penting dari konsultan politik adalah bagaimana melihat kemungkinan-kemungkinan politik yang menguntungkan terhadap elektablitas kandidat, selain kampanye tentunya juga dengan melakukan berbagai riset, hingga strategi lapangan dalam memenangkan suara konstituen.
Dalam konteks Greenberg, dengan melihat rekam jejak sang arsitek politik, maka boleh dikatakan perannya juga tak main-main dalam sebuah gelaran pemilihan umum.
Sehingga, jika memang benar bahwa sang petahana menggunakan jasa Greenberg, maka hal tersebut bukan sebuah hal yang mengejutkan.
Dalam kampanye Clinton di tahun 1992 misalnya, Greenberg adalah tokoh utama yang menciptakan ide tentang film dokumenter yang berjudul War Room yang kala itu menjadi senjata kampanye andalan Clinton sebagai kandidat presiden.
Beda dgn dulu, kali ini hoax perihal Stanley Greenberg itu disebarkan lewat media berbahasa Inggris agar terkesan kredibel. Maklum orang Indonesia byk yg bermental inlander, apa2 yg pakai bahasa asing dianggap pasti kredibel. Judul situsnya pun keren "The Political Strategist" pic.twitter.com/H1ovFPKN9Y
— #99 (@PartaiSocmed) February 5, 2019
Sejak ia meninggalkan Clinton, Greenberg mulai melebarkan sayap bisnis konsultan politiknya ke seluruh dunia, dengan mengembangkan sejenis spesialisasi dalam membantu partai-partai yang berhaluan kiri tengah kembali berkuasa.
Misalnya saja, dia bekerja pada kampanye Tony Blair di tahun 1997 dan berhasil mengantarkan Blair menuju kursi kekuasaan perdana menteri Inggris, dan berhasil menumbangkan 18 tahun kekuasaan Partai Konservatif yang sebelumnya memerintah. Senada dengan Blair, ia juga membantu kemenangan kanselir Jerman Gerhard Schroder tahun 1998 yang notabene kandidat dari partai kiri tengah Jerman, Partai Sosial Demokrat (SPD).
Menurut Steven Hill dalam bukunya yang berjudul Fixing Elections: The Failure of America’s Winner Take All Politics menyebut bahwa Greenberg juga berperan dalam kemenangan Ehud Barak di Pemilu Israel 1999, melalui teknik negative campaign dengan melakukan propaganda media massa, maksimalisasi database komputer, dan melakukan poling survei.
Dalam konteks Indonesia, terlepas benar atau tidaknya Jokowi menyewa jasa Greenberg untuk memenangkan pemilu, latar belakang Greenberg yang memiliki spesialisasi membantu kelompok politik yang cenderung berhaluan kiri tengah menarik untuk ditelaah lebih lanjut.
Pasalnya, latar belakang Jokowi dan PDIP selama ini kerap kali di asosiasikan sebagai sosok progresif dan menjadi salah satu partai berhaluan sosial-demokrat di Indonesia.
Sementara jika dilihat polanya, Greenberg kerap membantu kandidat-kandidat politik maupun partai politik dengan ideologi sosial-demokrat, misalnya Tony Blair dengan partai Buruhnya atau Schroder dengan SPD Jerman.
Tak hanya sebatas urusan konsultasi politik, adanya pemberitaan ini justru bisa saja menegaskan bahwa mantan walikota Solo tersebut juga memiliki networking terhadap Barat.
Jadi ingat era perang dingin… AS+Nato Vs Uni Soviet+negara satelitnya. Akankah ini terbawa ke Pilpres 2019? Propaganda Rusia vs Propaganda Amerika. BPN sdh menyatakan Propaganda Rusia adlh hoax. Nah..tinggal TKN berani tdk menyangkal tdk pernah pakai jasa Stanley B Greenberg…
— Hilmi Firdausi (@Hilmi28) February 6, 2019
Terlebih sifat konsultan politik semacam Greenberg ini tak terlepas dari keterikatan mereka dengan kepentingan negara asal. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Linda Feldmann dan Francine Kiefer mengungkap, bagi Stanley Greenberg, memilah dan memilih seorang klien merupakan hal yang sangat prinsipil dalam politik.
“Kami sangat serius bekerja untuk partai-partai pro-Barat, pro-Eropa yang tidak bertentangan dengan kepentingan Amerika” begitulah ungkapan Greenberg dalam artikel tersebut.
Hal tersebut semakin mengindikasikan bahwa jika benar nama Jokowi masuk dalam daftar klien Greenberg, maka Jokowi adalah sosok yang juga diperhitungkan dalam kacamata Barat.
Pada akhirnya, terlepas apakah benar sang petahana menggunakan jasa Greenberg atau tidak, hampir seluruh kliennya berhasil memenangkan pemilu dan meraih kekuasaan. Lalu bagaimanakah dengan Jokowi di Pilpres 2019 nanti? (M39)