Site icon PinterPolitik.com

Stafsus Milenial: Kerja Senyap Bank Dunia?

Stafsus Milenial Kerja Senyap Bank Dunia

Staf Khusus Presiden yang tergolong dalam kelompok milenial berfoto bersama. (Foto: Instagram/@belvadevara)

Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) tampak menjadi inklusif dengan memasukkan suara-suara kelompok muda sebagai staf khusus (stafsus) kepresidenan. Meski begitu, dimensi politik luar negeri bisa saja turut mendasari pelibatan para stafsus milenial yang kini menjadi sorotan di tengah pandemi virus Corona (Covid-19). Apakah ini hasil kerja senyap Bank Dunia?


PinterPolitik.com

“School is the tool to brainwash the youth” – Jaden Smith, penyanyi rap asal Amerika Serikat

Di dunia yang semakin memiliki teknologi yang canggih, sedikit aneh apabila suara kelompok muda tidak turut dilibatkan. Bagaimana tidak? Pada abad ke-21 ini, para penggerak teknologi disebut-sebut mulai diisi oleh mereka-mereka yang masih tergolong muda.

Tentunya, semua orang pasti ingat bahwa perusahaan-perusahaan internet yang kini telah menjadi raksasa mulanya hanya dimulai oleh segelintir anak muda yang pandai dalam teknologi. Teknologi internet ini pun bertemu dengan celah sosial dan ekonomi di masyarakat yang pada akhirnya memunculkan apa yang orang sebut sebagai disrupsi (disruption).

Facebook misalnya, dimulai oleh Mark Zuckeberg pada tahun 2004 dari kamar asramanya di Harvard University, Amerika Serikat (AS). Kini, Facebook adalah salah satu perusahaan internet raksasa yang memiliki banyak bentuk platform dan miliaran pengguna aktif.

Semakin ke sini, disrupsi perusahaan-perusahan teknologi seperti Facebook dan Google semakin terasa di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Bagaimana tidak? Perkembangan digital ternyata tidak hanya terjadi secara pesat dalam dimensi media sosial, melainkan juga pada sektor barang dan jasa – dengan kemunculan Amazon, Walmart, dan Uber.

Tentunya, siapa yang tidak terpana dengan simplifikasi yang dibuat oleh aplikasi dan layanan daring seperti ini. Akibatnya, disrupsi ini juga terjadi di Indonesia dengan kemunculan aplikasi-aplikasi daring, seperti Gojek, Ruangguru, Tokopedia, Bukalapak, dan sebagainya.

Bak pahlawan yang mendadak muncul dengan memudahkan kehidupan sebagian besar masyarakat, pemerintah akhirnya ingin melibatkan para pengusaha startup muda tersebut untuk berkontribusi dalam pembangunan Indonesia. Nadiem Makarim – mantan CEO Gojek – misalnya ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan guna membantu pemerintah menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang siap menghadapi kemunculan ekonomi digital.

Tak hanya Nadiem, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga melibatkan tokoh-tokoh muda lainnya sebagai staf khusus (stafsus) kepresidenan milenial. Beberapa di antara mereka adalah Andi Taufan Garuda Putra (CEO Amartha) dan Adamas Belva Syah Devara (CEO Ruangguru) yang kini menjadi sorotan di tengah pandemi virus Corona (Covid-19).

Meski begitu, keterlibatan para milenial ini di pemerintahan bisa saja tidak hanya disebabkan oleh kesuksesan perusahaan atau startup mereka, melainkan juga karena dinamika politik yang terjadi. Kira-kira, dinamika apa yang terjadi di belakang para stafsus milenial tersebut? Lantas, bagaimana dampaknya terhadap kebijakan pemerintahan Jokowi?

Kerja Senyap Bank Dunia?

Kehadiran kelompok muda dalam pemerintahan ini tak lepas dari pengaruh pemainan politik di panggung internasional. Pasalnya, peran kaum muda yang mulai tumbuh yang didasarkan pada inklusivitas pada abad ke-21 ini disebut-sebut menjadi bagian dari dorongan beberapa aktor internasional.

Dugaan ini didasarkan pada kampanye-kampanye yang dipopulerkan oleh organisasi-organisasi internasional. Salah satunya adalah Bank Dunia.

Mayssoun Sukarieh dari King’s College London dan Stuart Tannock dari University College London dalam tulisan mereka yang berjudul In the Best Interests of Youth or Neoliberalism? menjelaskan bahwa Bank Dunia berperan untuk mendorong negara-negara melibatkan kelompok muda dalam pengambilan kebijakan melalui laporan-laporannya.

Asumsi yang kebanyakan digunakan oleh Bank Dunia adalah kelompok muda dapat menjadi masa depan dari pembangunan dunia. Dengan populasi yang besar, kepentingan dan aspirasi para pemuda dan pemudi dianggap perlu untuk didengarkan.

Hal ini terlihat dari beberapa prioritas global yang dicanangkan oleh Bank Dunia bersama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan International Labour Organization (ILO) dalam Youth Employment Network pada tahun 2001. Beberapa di antaranya adalah penciptaan lapangan kerja, kemampuan kerja (employability), kewirausahaan, dan persamaan kesempatan bagi kaum muda.

Tentunya, prioritas-prioritas ini terdengar indah di telinga banyak orang. Apalagi, di tengah perkembangan teknologi internet yang pesat, kelompok muda semakin dianggap menjadi kelompok yang semakin penting dalam pembangunan di banyak negara.

Meski begitu, semua itu terdengar indah hingga – seperti yang dijelaskan oleh Sukarieh dan Tannock – terungkap bahwa telah terjadi “promosi” kelompok muda yang dilakukan oleh Bank Dunia itu sebenarnya bermuatan politis. Pasalnya, terdapat peran kelompok muda yang dianggap ingin dihilangkan, yakni kesadaran politik.

Terdapat kerja senyap yang dilakukan Bank Dunia (@WorldBank) guna menjaga keberlanjutan proyek neoliberal. Share on X

Upaya ini dilakukan karena hendak menjaga keberlanjutan proyek neoliberalisme ala AS. Neoliberalisme sendiri merupakan serangkaian reformasi kebijakan ekonomi yang didasarkan pada pasar bebas dan prinsip laissez-faire.

Namun, model neoliberal yang didorong oleh AS dan lembaga-lembaga internasional – atau dikenal dengan tatanan sistem Bretton-Woods yang terdiri dari International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan General Agreement on Tariffs & Trade (GATT) – dianggap mulai menampakkan kegagalannya pada tahun 1990-an. Asumsi ini disertai dengan krisis yang banyak terjadi di Asia.

Selain itu, kegagalan-kegagalan neoliberalisme ini paling terekspos pada mereka yang berasal dari kelompok muda. Hal ini terlihat dari peristiwa Battle in Seattle pada 1999 yang didominasi oleh kelompok muda guna mengekspresikan gerakan anti-globalisasi kepada Konferensi World Trade Organization (WTO).

Mengacu pada penjekasan Sukarieh dan Tannock, bisa jadi, “promosi” ala Bank Dunia semakin berujung pada kooptasi para kelompok muda oleh para pengambil kebijakan agar proyek neoliberal tetap terjaga. Dengan penekanan pada fungsi ekonomi para kelompok muda, kesadaran politik mereka justru menjadi semakin minim pada abad ke-21 – mengubah mereka dari yang sebelumnya sebagai “ancaman” menjadi agen perubahan.

Bila benar begitu, bagaimanakah kira-kira dampaknya di Indonesia? Mungkinkah para stafsus milenial di pemerintahan Jokowi berkaitan dengan upaya penjagaan proyek neoliberal tersebut?

Mafia Berkeley Baru?

Kehadiran stafsus milenial di pemerintahan Jokowi bisa saja berhubungan dengan upaya penjagaan neoliberalisme di Indonesia. Pasalnya, para stafsus milenial ini memiliki latar belakang pendidikan tertentu yang bisa jadi membuat mereka memiliki preferensi kebijakan tertentu.

Mengacu pada penjelasan Sukarieh dan Tannock sebelumnya, “promosi” ala Bank Dunia tersebut membuat para pemuda dan pemudi turut menjadi subjek dari neoliberalisme. Kelompok muda akhirnya menjadi pembawa standar baru bagi masyarakat berbasis pasar.

Hal ini terlihat dari bagaimana para kisah-kisah sukses pengusaha muda menjadi standar tinggi yang baru di era kontemporer ini. Pada ujungnya, muda dan mudi yang sukses ini menjadi bagian dari pengambil kebijakan yang baru.

Persoalan lainnya yang muncul adalah kemungkinan bahwa para pemuda dan pemudi ini memiliki latar belakang pendidikan yang berhubungan dengan kepentingan negara lain. Pasalnya, beberapa dari stafsus milenial Jokowi merupakan lulusan-lulusan perguruan tinggi di AS.

Pendidikan dan beasiswa yang biasanya diberikan pada pemuda-pemudi ini dalam Hubungan Internasional biasa disebut dengan istilah “diplomasi publik”. Joseph S. Nye dalam tulisannya yang berjudul Public Diplomacy and Soft Power menjelaskan bahwa diplomasi publik dapat menghasilkan soft power – kekuatan suatu negara agar membuat negara lain dapat memiliki kemauan yang sama dengan negaranya.

Maka dari itu, para stafsus milenial ini secara tidak langsung dapat mendorong nilai-nilai yang dihasilkan dari soft power ala AS. Preferensi kebijakan neoliberal misalnya dapat menjadi salah satunya.

Hal serupa pernah terjadi pada era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Kala itu, presiden Indonesia kedua tersebut banyak menempatkan para teknokrat lulusan AS di posisi-posisi penting pemerintahan dalam bidang ekonomi.

Para teknokrat – seperti Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, dan sebagainya – ini disebut sebagai Mafia Berkeley. Mereka dinilai memiliki preferensi kebijakan yang sering kali sejalan dengan pemikiran dan kepentingan milik AS dan lembaga-lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan IMF.

Lantas, bagaimana dengan para stafsus milenial Presiden Jokowi? Apakah mungkin mereka bertindak layaknya Mafia Berkeley ala Orde Baru?

Mungkin, secara wewenang, para stafsus milenial Jokowi bisa dibilang terpaut jauh dengan Mafia Berkeley yang banyak mengisi posisi-posisi seperti Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Meski begitu, peran para stafsus milenial ini bisa jadi tetap signifikan dengan tugasnya sebagai pemberi masukan kepada presiden.

Namun, adanya dugaan konflik kepentingan yang membatangi Belva dan Andi Taufan justru menjadi pertanyaan akan sejauh mana mereka memiliki pengaruh di pemerintahan. Pertanyaan ini mungkin cukup sulit untuk dijawab.

Yang jelas, preferensi kebijakan para stafsus milenial dapat menjadi masukan bagi Presiden Jokowi. Dan, bukan tidak mungkin, soft power AS turut memengaruhi preferensi tersebut. Mari kita nantikan saja “gebrakan” baru apa lagi yang akan diberikan oleh Belva dan kawan-kawan. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version