Setahun berkiprah, keberadaan sejumah anak muda dalam jajaran staf khusus (stafsus) Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mendapat sorotan. Kontribusi mereka sekali lagi kembali dipertanyakan pasca Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) melontarkan kritik terkait sumbangsih golongan milenial. Apakah ini berarti kritik Mega akhirnya mendapatkan afirmasinya?
“Young people understand they are the future of the country and they intend to shape that future.” – Bernie Sanders, Politikus AS
Satu tahun yang lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) begitu optimis bahwa penunjukan tujuh anak muda sebagai staf khsusunya (stafsus) akan memberikan ide-ide segar bagi kebijakan yang akan diambilnya. Ia menyebut mereka akan menjadi ‘teman diskusi’ yang akan membantu Presiden memajukan negara dengan cara-cara yang out of the box.
Namun jauh panggang dari api, kenyataan yang terjadi malah sebaliknya. Setelah kurang lebih satu tahun berkiprah, stafsus-stafsus milenial ini justru lebih banyak menuai kontroversi ketimbang prestasi.
Dua di antara mereka, yakni Andi Taufan dan Adamas Belva bahkan telah melepaskan jabatannya sebagai staf khusus. Keduanya tersangkut kasus konflik kepentingan dan sempat menjadi bulan-bulanan publik.
Selain itu, alih-alih menelurkan kebijakan yang out of the box, keputusan-keputusan Presiden juga justru mendapat tentangan publik, termasuk dari kalangan milenial sendiri. Hal ini tentu membuat tujuan penunjukan stafsus milenial yang diniatkan sebagai ‘jembatan’ antara Presiden dan anak muda tersebut patut dipertanyakan.
Setelah sekian lama tak terdengar kabarnya, keberadaan stafsus milenial kembali mendapatkan sorotan belakangan ini.
Bukan karena kontroversi atau prestasi, melainkan lantaran kritik yang dilontarkan Ketua Umum (Ketum) PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri yang mempertanyakan sumbangsih generasi millenial.
Sontak, lisan Mega itu langsung menuai berbagai reaksi miring. Tak sedikit juga yang kemudian mengait-ngaitkannya dengan keberadaan stafsus milenial yang dianggap tak berkontribusi apapun bagi kebijakan-kebijakan pemerintah.
Mempertimbangkan disfungsi stafsus milenial bentukan Jokowi tersebut, apakah ini artinya kritikan Mega sebenarnya sudah tepat?
Kebangkitan Milenial
Signifikansi keberadaan kaum milenial memang tak terelakkan. Riset yang dilakukan oleh lembaga Alvara Research Center menyebut bahwa mulai tahun ini, milenial adalah generasi yang mendominasi populasi di Indonesia, dengan komposisi 34 persen diikuti 20 persen generasi X, dan 13 persen generasi baby boomers. Dominasi generasi milenial ini diperkirakan akan berlangsung hingga 2035.
Tak hanya di Indonesia, mendominasinya kaum milenial juga terjadi di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat (AS). Sebuah riset yang dilakukan Pew Research Center menyebut tahun ini milenial telah menggantikan baby boomers sebagai generasi terbesar di AS dengan perkiraan populasi mencapai 72,1 juta jiwa.
Semakin menjamurnya populasi milenial menjadikan kekuatan mereka tak bisa dianggap remeh, termasuk dalam konteks politik. Di Negeri Paman Sam sendiri, kebangkitan kekuatan politik milenial disebut-sebut terjadi ketika Barack Obama terpilih menjadi Presiden AS.
John Haltiwanger dalam tulisannya yang berjudul How President Barack Obama Shaped the Lives of Milenials mengatakan bahwa tak ada generasi yang lebih mencintai Obama melebihi para milenial. Ini terbukti dari approval rating Obama di kalangan milenial yang mencapai 77 persen bahkan ketika Ia akan meninggalkan Gedung Putih.
Kesuksesan Obama agaknya menginspirasi banyak pemimpin-pemimpin dunia termasuk Jokowi untuk mengkapitalisasi dukungan milenial. Dalam beberapa kesempatan, mantan Gubernur DKI Jakarta itu kerap mempertontonkan kedekatannya dengan golongan ini, mulai dari meniru gaya berpakaian, mengundang tokoh-tokoh milenial ke Istana Negara, melibatkan influencer-influencer muda dalam kebijakan-kebijakan pemerintah, hingga tentu saja, mengangkat staf khusus dari kalangan milenial.
Doktor Ilmu Politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Jerry Sambuaga dalam tulisannya yang berjudul Milenial dalam Politik mengatakan bahwa terdapat sejumlah karakter khusus dari kelompok milenial yang membuat mereka begitu mempesona bagi kalangan politisi. Karakter khusus itu dipengaruhi oleh kemajuan teknologi yang memang dimulai sejak tahun 1980-an.
Globalisasi yang didorong oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi mempunyai implikasi pada berubahnya pola-pola hubungan sosial seluruh masyarakat di dunia. Keterhubungan ini membuat generasi milenial menjadi lebih canggih dan modern, baik dalam segi fisik maupun dari segi nilai dan pemikiran.
Selain itu, Jerry juga melihat bahwa milenial saat ini bukan hanya berperan sebagai objek politik tetapi juga sebagai subjek. Jika mengacu pada kategorisasi usia dan tahun kelahiran, saat ini sudah banyak milenial yang menduduki posisi di pemerintahan. Ini membuktikan bahwa sebenarnya mereka sudah mulai menjadi pelaku utama dari politik nasional.
Generation Gap
Kendati memiliki sejumlah keunggulan, namun kenyataanya keberadaan generasi milenial dalam tatanan politik tetaplah menghadapi sejumlah kendala. Kendala tersebut tak jarang membatasi mereka untuk berkontribusi lebih dalam panggung politik.
Stella M Rouse dan Ashley D Ross dalam tulisan mereka yang berjudul The Politics of Millennials: Political Beliefs and Policy Preferences of America’s Most Diverse Generation mengatakan bahwa generasi millenial adalah generasi yang lebih kosmopolitan daripada generasi sebelumnya. Hal ini dikarenakan milenial tumbuh dewasa di dunia global, di mana barang, jasa, orang, informasi, dan budaya mengalir bebas melintasi perbatasan nyata dan virtual.
Keterkaitan dengan lingkungan global berkontribusi pada identitas yang lebih besar yang dikenal sebagai kosmopolitanisme atau menjadi ‘warga komunitas global yang lebih besar’.
Kosmopolitanisme tersebut juga mempengaruhi pandangan kaum milenial tentang kebijakan dalam negeri, di mana ini membuat mereka lebih terbuka terhadap orang luar dan cenderung tidak menganggap entitas asing sebagai ancaman dibandingkan generasi yang lebih tua.
Melengkapi pernyataan tersebut, Hollie Russon Gilman dan Elizabeth Stokes dalam tulisan mereka yang berjudul The Civic and Political Participation of Millennials, menilai generasi milenial memiliki pendekatan yang lebih bersifat pragmatis dalam memandang persoalan-persoalan publik.
Mereka percaya bahwa pemerintahan merupakan instrumen penting bagi perubahan, namun cenderung tak peduli terhadap tatanan maupun identitas politik tradisional seperti kepartaian, yang menurut mereka terlalu rigid, outdated, dan ketiggalan zaman.
Pendekatan yang lebih pragmatis itu kemudian menimbulkan pertanyaan di kalangan generasi yang lebih tua tentang komitmen jangka panjang dan kolektif yang diperlukan dalam sejumlah kebijakan publik, demokrasi dan penyelesaian masalah. Hal tersebut bisa saja kemudian membuat generasi yang lebih senior tak mau begitu saja menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada generasi tersebut.
Lantas jika memang asumsi itu benar, apakah generation gap pula yang menyebabkan stafsus milenial Jokowi tak mampu memberikan kontribusi yang maksimal?
Hanya untuk Marketing?
Kembali kepada pendapat Jerry, Ia mengatakan bahwa konsep milenial juga sebenarnya merupakan bagian dari upaya pakar-pakar marketing untuk menemukan metode yang lebih baik dalam melahirkan desain produksi maupun penjualan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konteks milenial yang selama ini didiskusikan dalam berbagai pembicaraan lebih mengacu pada suatu objek yang akan menjadi sasaran bagi penjualan, propaganda, dan/atau kampanye.
Pendapat Jerry tersebut rasanya sangat relevan dalam konteks stafsus milenial. Bagaimana tidak? Kendati diberikan posisi di pemerintahan, nyatanya mereka sebenarnya memang tak memiliki daya tawar apapun bagi kebijakan-kebijakan pemerintah.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin menilai masukan-masukan yang diberikan para stafsus milenial ini hanya akan ‘masuk kuping kanan, keluar kuping kiri’. Hal ini dikarenakan bisikan-bisikan mereka sangat mungkin terhalang oleh elite-elite politik atau orang-orang yang lebih tua yang ada di lingkaran dekat Jokowi.
Apalagi, staf-staf khusus milenial ini masih miskin pengalaman di bidang pemerintahan. Sebaliknya, Ia pun menilai bahwa penunjukan sejumlah anak muda dalam jajaran staf khusus hanya bertujuan untuk menunjukkan bahwa Jokowi dicintai dan didukung oleh kaum milenial.
Dengan demikian, selain karena adanya faktor generation gap, disfungsi staf khusus milenial bisa saja terjadi karena memang sejak awal mereka didesain bukan untuk mempengaruhi kebijakan, melainkan lebih karena tujuan marketing belaka. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa tuntutan agar stafsus milenial memberikan kontribusi yang lebih terhadap kebijakan tampaknya adalah ekspektasi yang salah.
Terkait pernyataan Mega, dari sini dapat dikatakan bahwa minimnya kontribusi milenial dalam konteks politik bukanlah disebabkan karena ketidakmampuan atau ketidakmauan mereka, melainkan lebih dikarenakan sistem yang ada belum memberikan mereka kesempatan yang seluas-luasnya untuk berkontribusi.
Pada akhirnya, kendati bersandar pada teori-teori logis, namun sekelumit ulasan di atas hanyalah asumsi yang belum tentu benar adanya. Namun yang jelas, keterlibatan generasi muda dalam politik adalah sesuatu yang perlu terus didorong, sebab di tangan merekalah, tampuk kepemimpinan negeri pada waktunya akan diserahkan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.