HomeNalar PolitikSri Mulyani, Nadiem dan Ancaman Netflix

Sri Mulyani, Nadiem dan Ancaman Netflix

Mendikbud Nadiem Makarim disorot ketika menjalin kerja sama dengan Netflix. Di saat yang sama, Menkeu Sri Mulyani sedang menghitung bidak catur dan mencari cara agar perusahaan tersebut mau membayar pajak di Indonesia. Sementara, keberadaan Netflix disebut akan menggerus angka penonton televisi di Indonesia – hal yang mungkin berkaitan dengan wacana berbagai pihak menjerat perusahan tersebut, katakanlah salahs atunya lewat UU ITE. Nyatanya, Indonesia sedang di ambang transformasi konsumsi dunia hiburan – hal yang membuat banyak pelaku bisnis ketar-ketir.


PinterPolitik.com

“I don’t watch much TV at all, but I did like ‘Narcos’ on Netflix a lot”.

:: Devin Armani Booker, atlet basket NBA ::

Bicara tentang Netflix sebagai layanan streaming media hiburan, mau tidak mau membawa kita ke awal tahun 1920-an, ketika George Owen Squier menjadi orang pertama yang mematenkan sistem transmisi dan distribusi sinyal lewat kabel listrik – hal yang kini dikenal dengan nama Muzak, sebutan untuk teknologi siaran musik tanpa gelombang radio.

Namun, butuh waktu hampir 60 tahun sejak paten Squier tersebut, untuk mengembangkan teknologi – yang kemudian disebut sebagai layanan streaming – tersebut, yang bahkan kini menjadi sama sekali tak butuh kabel sebagai perantara.

Netflix adalah salah satu perusahaan paling terkemuka – selain YouTube tentunya – jika yang dibicarakan adalah layanan streaming film atau drama seri televisi. Perusahaan inilah yang kini mendapatkan sorotan lebih di Indonesia.

Bukan tanpa alasan, beberapa hari terakhir ini publik dihebohkan dengan munculnya tagar #NetflixTakAman yang sempat cukup ramai diperbincangkan. Tagar tersebut menarik perhatian sebab beberapa waktu terakhir perusahaan ini cukup menyita perhatian masyarakat.

Mulai dari konteks pertautan bisnisnya dengan Telkom Indonesia – BUMN yang telah memblokir layanan Netflix sejak 2016 lalu – hingga kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang mendapat kritikan tajam.

Persoalan dengan Telkom adalah terkait status Netflix yang disebut BUMN tersebut belum memenuhi regulasi yang berlaku di Indonesia, sekalipun beberapa pihak juga menyinggung konteks kemungkinan persaingan bisnis yang melibatkan produk-produk Telkom.

Publik mungkin ingat ketika Spotify – layanan yang secara sistem mirip dengan Netflix – masuk ke Indonesia, hampir semua layanan streaming musik di Indonesia terdampak. Telkom sendiri punya layanan streaming musik di anak perusahaannya, Telkomsel, bernama Langit Musik.

Walaupun masih bertahan hingga saat ini, namun banyak pihak menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan yang membuat layanan streaming musik ini mulai kesulitan melawan kekuatan pemain besar seperti Spotify.

Hal inilah membuat beberapa pihak menunjuk faktor serupa pada konteks bisnis streaming film, di mana Telkomsel misalnya, punya ikatan bisnis dengan HOOQ – platform streaming film dan acara TV kolaborasi Sony Pictures dan Warner Bross – lewat layanan VideoMax. Layanan tersebut kini makin komplit lewat hadirnya aplikasi Maxstream milik Telkomsel.

Sementara konteks kerja sama dengan Kemendikbud dikritik karena status Netflix yang disebut belum punya kantor resmi di Indonesia dan berbagai regulasi yang disebut belum dipenuhi untuk menjalankan bisnisnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani misalnya, masih terus berupaya untuk mengejar perusahaan seperti Netflix agar membayar pajak di Indonesia. Apalagi, perusahaan yang berpusat di Amerika Serikat (AS) ini memiliki nilai ekonomi yang cukup signifikan.

Baca juga :  Siapa di Balik Sri Mulyani?

Kesulitan pemerintah memang terletak pada kemampuannya yang belum bisa menarik pajak dari perusahaan over the top (OTT) yang beroperasi di luar negeri, seperti Netflix dan Spotify.

Terlepas dari hal-hal tersebut, keberadaan Netflix menandai periode baru dalam konteks konsumsi produk media dan hiburan. Ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah, pun bagi industri hiburan konvensional, misalnya televisi. Lalu, seperti apa fenomena ini harus dimaknai?

Netflix dan Cord Cutting Phenomena

Netflix adalah salah satu penyumbang terbesar fenomena pergeseran cara konsumsi hiburan yang terjadi dalam masyarakat kontemporer – hal yang sering diistilahkan sebagai cord-cutting phenomena. Fenomena ini sering digambarkan sebagai perilaku konsumen yang meninggalkan layanan televisi berbasis satelit atau televisi kabel berbayar, dan beralih ke layanan streaming.

Fenomena ini mulai mewabah di negara-negara Barat, misalnya Amerika Serikat (AS), dan kini sedang menjalar ke negara-negara di Asia Pasifik.

Pelanggan Netflix di Asia Pasifik pada kuartal ke-3 di 2019 misalnya, mencapai 14,5 juta.

Jumlah ini memang terbilang kecil dibandingkan wilayah yang lain, namun mengalami pertumbuhan yang besar dari hanya 4,7 juta pada kuartal ke-3 tahun 2017.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa, total pengguna Netflix di dunia saat ini mencapai 158 juta, dengan 90 persen pertumbuhannya saat ini berasal dari luar AS.

Di AS, perusahaan tersebut menghasilkan pendapatan US$ 12,36 per bulan (sekitar Rp 168 ribu) dari setiap pengguna. Sementara di Amerika Latin, dengan harga dan promosi berbeda, pendapatan yang dihasilkan US$ 8,21 per bulan (sekitar Rp 111 ribu).

Jumlahnya juga berbeda untuk pelanggan di Eropa, Afrika, dan beberapa kawasan lainnya. Sementara untuk pelanggan di Asia Pasifik, yang didapatkan Netflix adalah sebesar US$ 9,31 per bulan (sekitar Rp 126 ribu).

Jumlah tersebut berkontribusi terhadap total pendapatan Netflix yang juga terus meningkat. Pada kuartal ke-3 2019, pendapatan perusahaan tersebut menyentuh US$ 5,2 miliar atau sekitar Rp 71,5 triliun.

Jumlah ini juga kemungkinan akan berubah di masa depan. Hal ini terutama karena promosi yang berbeda di berbagai negara, katakanlah seperti di India dan Indonesia. Netflix misalnya telah merilis paket berlangganan mobile atau ponsel seharga US$ 3 per bulan di India. Layanan serupa juga dirilis di Indonesia seharga Rp 49 ribu per bulan.

Peningkatan pelanggan Netflix juga terjadi signifikan di Indonesia. Pada 2017, total pelanggan streaming Netflix Indonesia mencapai 95 ribu pelanggan. Pada 2018, pelanggan Netflix Indonesia tumbuh 2,5 kali lipat menjadi 237,3 ribu pelanggan.

Sementara untuk tahun 2019, jumlah pelanggan Netflix di Indonesia diperkirakan mencapai 482 ribu atau meningkat dua kali lipat dibandingkan 2018. Sedangkan untuk tahun 2020, jumlah pelanggan Netflix diprediksi mencapai 907 ribu pelanggan atau melejit 88,35 persen.

Adapun data jumlah pelanggan ini mengacu pada pelanggan streaming dan akun pelanggan yang dapat ditagih secara individu, bukan total keseluruhan penonton Netflix yang jumlahnya lebih besar.

Peningkatan jumlah pelanggan Netflix ini sejalan dengan pelanggan tv kabel di berbagai negara. Di AS misalnya, pada kuartal ke-3 2019, jumlah pelanggan TV kabel yang “hengkang” mencapai angka 1,1 juta pengguna hanya dalam kurun waktu 3 bulan.

Jumlah ini diperkirakan akan berdampak pada peningkatan pendapatan perusahaan-perusahaan layanan streaming, termasuk Netflix, hingga mencapai 64 persen secara total.

Nasib Televisi Konvensional

Michael Strangelove – dosen di Department of Communication Studies, University of Ottawa – dalam bukunya yang berjudul Post-TV: Piracy, Cord-Cutting, and the Future of Television menyebutkan bahwa akhir tahun 2000-an adalah awal ketika televisi mulai mengalami hantaman dari industri berbasis streaming.

Era yang disebutnya sebagai Post-TV ini adalah masa ketika internet telah menjadi luar biasa kuat secara basis infrastruktur dan mulai perlahan menggantikan televisi. Inilah era yang sedang dihadapi oleh masyarakat.

Dalam konteks Indonesia saat ini, Mendikbud Nadiem Makarim melihat pergeseran ini sebagai peluang untuk memperkuat konteks promosi kebudayaan Indonesia. Namun seperti biasa, kemajuan teknologi selalu melahirkan dua sisi mata uang, yakni positif untuk mereka yang rindu kemajuan, tetapi negatif untuk mereka yang sudah terlanjur nyaman dengan status quo atau keadaan yang sekarang ini dinikmati – termasuk yang telah mendapatkan keuntungan ekonomi dari keadaan tersebut.

Sementara bagi Menkeu Sri Mulyani, geliat industri streaming ini punya nilai ekonomi yang sangat besar. Namun, negara belum punya mekanisme untuk menarik pajak dari perusahaan-perusahaan tersebut.

Selain itu, hal ini juga bisa saja mempengaruhi industri televisi yang sudah ada, yang boleh jadi akan terus mengalami kemunduran. Apalagi, industri streaming yang berbasis internet mampu menjangkau hampir semua masyarakat, termasuk yang hanya punya smartphone.

Demikian, wajar jika muncul pertanyaan terkait apakah berbagai persoalan dan serangan yang menimpa Netflix beberapa waktu terakhir sebetulnya juga melibatkan pemangku kepentingan di industri televisi nasional.

Pada akhirnya, keberadaan Netflix dan berbagai isu yang menerpanya beberapa waktu terakhir ini memang punya muara kepentingan ekonomi dan bisnis yang besar. Bayangkan jika semua masyarakat beralih menonton tayangan hiburan lewat smartphone masing-masing, sudah bisa dipastikan bahwa industri TV nasional akan terus merugi.

Ini juga akan menjadi penanda fase baru transformasi dalam masyarakat. Jika Squier dulu butuh 60-an tahun agar teknologi yang dipatenkannya menjadi masif, mungkin ini saatnya dunia memasuki periode 60 tahun berikutnya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

More Stories

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Prabowo Subianto resmi melantik 48 menteri yang akan mengisi Kabinet Merah Putih yang dipimpinnya.

Perang Bharatayuddha Jokowi vs Megawati

Pemanggilan sosok-sosok calon menteri dan calon wakil menteri untuk kabinet Prabowo-Gibran dalam 3 hari terakhir jadi pemandangan terbaru pertarungan di level elite.