Prabowo mengritik kebijakan pemerintah yang tidak mampu membuat Indonesia keluar dari persoalan utang. Jumlah utang yang menurutnya sudah mencapai Rp 9.000 triliun bahkan terus bertambah seiring kebijakan melakukan pinjaman baru yang justru digunakan untuk pembayaran utang.
PinterPolitik.com
“Rather go to bed without dinner than to rise in debt.”
:: Benjamin Franklin ::
[dropcap]K[/dropcap]isah tentang utang dan segala persoalannya memang telah menjadi bagian dari catatan sejarah peradaban manusia, bahkan boleh jadi menjadi salah satu yang tertua.
Sejak 5 ribu tahun yang lalu, praktik utang telah menjadi bagian dari keseharian hidup manusia, mulai dari kisah perbudakan utang (debt slavery) yang dilakukan oleh bangsa Sumeria, hingga kisah mulia penghapusan utang oleh Raja Hammurabi terhadap semua rakyatnya di Babylonia.
Maka, tidak heran jika kini praktik utang itu pun masih hangat dibicarakan, apalagi di tengah sengkarut kampanye politik jelang Pilpres 2019. Adalah Prabowo Subianto yang mendudukkan perspektif tentang utang itu pada titik tertinggi dalam bagian kritiknya terhadap kubu pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Mantan Danjen Kopassus itu menyebutkan bahwa utang negara saat ini jumlahnya telah mencapai Rp 9.000 triliun. Prabowo juga menilai pemerintah tidak mampu mengelola keuangan dan cenderung mengandalkan utang untuk berbagai pembiayaan. Bahkan banyak pinjaman baru justru ditujukan untuk pembayaran utang dan bunga utang-utang lama.
Jumlah utang yang cukup besar dan mencapai 67 persen dari Gross Domestic Product (GDP) Indonesia di tahun 2017 ini tentu saja berbeda dari informasi jumlah utang yang selama ini dikeluarkan oleh pemerintah yang hanya ada di kisaran Rp 4 ribu triliun.
Mmm setau sy dulu masi posisi 7000T kemudian dijelaskan sama Bu SMI tp saat itu bkn PS nah skr ada data baru lagi angkanya di 9000T. Coba skr Bu SMI jelasin lagi panjang lebar di FB kek waktu hutang di 7000T 🙂
— Bang Siomay Is Back ! (@BangSiomay_Back) June 26, 2018
Nyatanya, jumlah utang yang disinggung oleh Prabowo ini merupakan keseluruhan utang negara jika dihitung dengan jumlah utang BUMN dan lembaga keuangan yang lain. Rinciannya utang pemerintah sebesar Rp 4.060 triliun, utang BUMN Rp 630 triliun dan utang lembaga keuangan lain Rp 3.850 triliun.
Prabowo juga menyinggung rating utang oleh lembaga pemeringkat Moodys yang diklaimnya telah memberikan catatan “bahaya” terhadap status utang Indonesia. Kondisi ini menurutnya suatu saat akan membuat negara dikuasai oleh bangsa asing karena keterikatan utang tersebut – kondisi yang mungkin bisa disebut sebagai debt slavery.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati membantah apa yang dituduhkan oleh Prabowo. Menkeu menyebut bahwa jumlah utang dari beberapa entitas tersebut tidak dapat dijumlahkan dan dijadikan sebagai pembanding.
Namun, isu yang telah menjadi serangan politik berkepanjangan sejak hampir setahun terakhir ini membuka perdebatan baru.
Apakah pemerintah memang mengabaikan kondisi ekonomi dan tidak membuka akses informasi ekonomi yang transparan kepada masyarakat termasuk dalam hal utang atau memang telah terjadi asymmetric information antara pemerintah dengan masyarakat terkai kondisi ekonomi yang berpotensi menjadikan Indonesia debt slavery seperti kata Prabowo?
Debt Slavery, Prabowo vs Sri Mulyani
Untuk beberapa lama, Sri Mulyani memang menjadi bulan-bulanan oposisi ketika berbicara tentang utang. Debat yang tidak kesampaian antara dirinya dengan mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli juga salah satunya menyorot persoalan utang tersebut.
Persoalan tentang utang BUMN pun telah menjadi konsen oposisi ketika sejak awal tahun ini wacana tersebut dilemparkan sebagai serangan kepada pemerintah. Wakil Ketua DPR Fadli Zon sering melontarkan hal tersebut, misalnya ketika ia menyebut bahaya utang yang jika ditotal antara BUMN biasa dengan BUMN keuangan dan perbankan telah mencapai Rp 4.800 triliun.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti dalam tulisannya di Kompas.com membuat klarifikasi terkait pernyataan Prabowo tentang utang tersebut.
Menurut pria lulusan Yokohama National University Jepang itu, perhitungan utang yang dibuat Prabowo terkesan “dilebih-lebihkan”, seolah-olah negara dalam keadaan bahaya. Selain jumlah total utang yang menurut Nufransa “hanya” mencapai Rp 8.540 triliun dan dihitung berdasarkan kurs Rp 13.492 per dollar AS – bukan seperti hitungan Prabowo yang menggunakan kurs Rp 14.000 – nyatanya rating yang diberikan oleh lembaga Moodys terhadap Indonesia justru sebaliknya meningkat dibanding sebelumnya.
Rating utang Indonesia naik dari Baa3 atau outlook positif menjadi Baa2 atau outlook stabil pada April 2018. Fakta tersebut juga bisa ditemukan di laman resmi Moodys.
Nufransa juga menyebutkan bahwa utang, termasuk yang berbentuk syariah, adalah instrumen pembiayaan yang dapat digunakan oleh negara untuk mencapai tujuan, selama dikelola secara hati-hati, akuntabel, transparan, dan bertanggung jawab.
Jika demikian, apakah itu berarti pernyataan Prabowo tentang utang lebih sarat makna politis – mengingat kritik terhadap pemerintahan yang berkuasa akan mendatangkan citra positif bagi dirinya menjelang Pilpres 2019?
Boleh jadi memang demikian. Sebagai instrumen ekonomi, utang punya sisi positif jika digunakan secara efektif dan efisien untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Catatannya, selama rasio jumlah utang tersebut masih ada pada titik yang aman, katakanlah jika dibandingkan dengan rasio penerimaan pajak terhadap GDP, maka utang bukanlah hal yang tabu untuk dilakukan.
Saat ini, rasio utang Indonesia terhadap GDP mencapai 29,2 persen. Jumlah ini jauh lebih rendah dibandingkan Jepang yang menyentuh angka 253 persen terhadap GDP atau Tiongkok yang menyentuh angka 47,6 persen dan Amerika Serikat (AS) yang mencapai 105,4 persen.
Jepang dan AS yang persentase utangnya melampaui GDP tidak mendapatkan banyak masalah berarti secara ekonomi karena memiliki rasio penerimaan pajak yang tinggi, serta kepercayaan investor yang sangat kuat untuk berinvestasi.
Artinya kekuatan negara untuk membayar utang tersebut masih sangat besar. Dengan demikian, secara ekonomi, negara-negara itu aman-aman saja. Jadi, apakah itu berarti utang tidak berbahaya sama sekali?
Tunggu dulu. Jika ditelusuri secara lebih mendalam, kata-kata Prabowo bukanlah sekedar kritik tanpa alasan. Pada Juni 2015, The Economist menulis tentang seberapa besar pengaruh utang terhadap ekonomi suatu negara.
Dalam tulisan tersebut, majalah yang didirkan sejak tahun 1843 itu menyebutkan bahwa jumlah dan rasio utang yang terlalu besar berpotensi menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi yang pada suatu titik akan berdampak pula terhadap ekonomi secara keseluruhan.
Moritz Schularick dari University of Bonn dan Alan Taylor dari University of Virginia dalam tulisan lain juga menyebutkan bahwa pertumbuhan angka kredit yang cepat adalah salah satu cara untuk memprediksi krisi ekonomi yang terjadi antara tahun 1870-2008.
Sementara itu, utang BUMN dan lembaga keuangan yang disebut Prabowo, akan mendatangkan masalah jika perusahaan-perusahaan tersebut gagal bayar, apalagi jika harus terjebak dalam program swap saham. Beberapa perusahaan memang menerapkan kebijakan untuk menukar nilai utang yang harus dibayarkan dengan sejumlah saham.
Jika hal ini terjadi, lama-kelamaan, semua saham BUMN akan dikuasai oleh pihak luar. Prabowo sempat menyinggung beberapa BUMN, misalnya Waskita Karya yang jumlah utangnya naik 669 persen, Wijaya Karya naik 181 persen, Adhi Karya 155 persen dan utang pembangunan perumahan naik 125 persen. Kenaikan utang empat BUMN ini diakumulasi sejak 2014 sampai 2017, tentu saja seiring jor-joran program infrastruktur Jokowi.
Belum lagi utang lembaga-lembaga keuangan lain – dalam hal ini bank-bank BUMN yang jumlahnya mencapai Rp 3.850 triliun. Jika ada bank nasional yang gagal bayar utang jatuh tempo, maka dampak ekonominya sangat mungkin terjadi dalam skala nasional.
Pada titik ini, argumentasi bahwa total utang yang dihitung Prabowo tidak bisa dijadikan patokan pembanding, boleh jadi terbantahkan. Bagaimanapun juga pemerintah tetap harus minimal melakukan pengawasan terhadap utang BUMN. Memang korporasi punya aturan tersendiri untuk mengelola utang, namun peran pemerintah untuk menjaga perekonomian tetap stabil adalah sebuah keharusan.
Asymmetric Information, Siapa Benar?
Prabowo memang punya tujuan politis ketika menyebutkan jumlah utang yang fantastis tersebut. Boleh jadi ia telah menggunakan strategi politik-ekonomi yang dikenal dengan sebutan asymmetric information.
Istilah ini awalnya digunakan untuk menggambarkan kondisi transaksi antara penjual dan pembeli, dengan satu pihak memiliki pengetahuan atau informasi yang lebih banyak dibanding pihak lain. Asymmetric information terjadi misalnya ketika pembeli tidak mengetahui harga mobil yang seharusnya, sehingga sang penjual bisa memanfaatkan ketidaktahuan itu untuk meraih untung yang sebesar-besarnya.
9) Inilah poin yg kemarin diingatkan oleh Ketua Umum @Gerindra, P @prabowo soal bahayanya perekonomian yg ditopang oleh utang. Per 30 April 2018, posisi utang pemerintah sudah mencapai Rp4.180,61 triliun.
— Fadli Zon (@fadlizon) June 29, 2018
Sementara dalam politik elektoral, asymmetric information bisa digunakan untuk menggambarkan keadaan ketika pengetahuan yang lebih tinggi akan suatu hal tertentu oleh satu kandidat membuat tingkat keterpilihannya jauh lebih tinggi dibanding kandidat lain. Dalam konteks ini, Prabowo memanfaatkan asymmetric information untuk membentuk opini publik tentang citra utang pemerintahan Jokowi.
Pada saat yang sama, Menkeu dan jajaran pemerintahan Jokowi juga menggunakan konsep asymmetric information ini ketika berhadapan dengan masyarakat. Bagaimanapun juga, jumlah utang pada titik tertentu akan menjadi konsen persepsi masyarakat terhadap pencapaian pemerintah. Banyak negara gagal, misalnya Yunani, Venezuela, dan beberapa begara Amerika Latin lain, mengalami kejatuhan ekonomi akibat krisis utang tersebut.
Artinya, utang yang tidak dikelola dengan baik, tentu saja akan menyebabkan kehancuran ekonomi. Konteks asymmetric information dalam hubungan pemerintah dengan rakyat tampak dari banyak masukan kepada Menkeu misalnya untuk menolak ajakan debat dari Rizal Ramli karena banyak informasi ekonomi yang merupakan rahasia negara dan tidak boleh dibuka kepada publik – demikian klaimnya – walaupun dalam konteks transparansi pemerintahan, hal ini boleh jadi adalah sebuah kemunduran.
Dengan makin mudahnya sebaran informasi, kritik Prabowo boleh jadi pada titik tertentu merugikannya secara politik karena masyarakat bisa mengecek kebenaran klaim mantan menantu Soeharto itu.
Yang jelas kondisi asymmetric information ini menguntungkan pemerintah, bahkan juga Sri Mulyani sebagai Menkeu secara personal. Dengan munculnya wacana bahwa dirinya masuk dalam salah satu kandidat calon wakil presiden pendamping Jokowi, maka asymmetric information yang dimilikinya akan mendukung tingkat keterpilihan politiknya.
Persoalannya tinggal siapa yang lebih kuat di antara Prabowo dan Sri Mulyani kalau jadi bertarung nanti. Masyarakatlah yang akan menilai karena bagaimanapun juga – seperti kata Benjamin Franklin di awal tulisan ini – utang tetaplah sesuatu yang buruk. Tak ada negara yang mau jadi budak utang bukan? (S13)