Pemerintah saat ini sedang dirundung masalah khususnya di bidang keuangan. Hal itu disebabkan kondisi keuangan negara yang kini tengah mengalami kelesuan. Banyak faktor yang jadi penyebabnya, salah satunya terkait realisasi penerimaan negara yang meleset dari target.
PinterPolitik.com
Seperti diketahui, hingga November 2019, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit sebesar Rp 368 triliun alias menembus 2,29 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Angka tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan periode sebelumnya yang hanya Rp 287,9 triliun atau sekitar 1,95 persen terhadap PDB.
Pemerintah sejauh ini selalu beralasan bahwa defisit APBN dipicu oleh realisasi penerimaan negara yang meleset dari target yang salah satunya dipengaruhi ketidakpastian ekonomi global akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
Alasan tersebut tidak sepenuhnya salah sebab faktanya pertumbuhan ekonomi global hingga saat ini terus mengalami tekanan hebat. Bahkan pertumbuhan ekonomi negara-negara maju diproyeksikan hanya tumbuh di bawah 2 persen pada 2020.
Melihat kondisi tersebut sebagian memprediksi akan terjadi resesi global ekonomi global. Institut for Development of Economics and Finance (Indef) memprediksi senadainya itu terjadi akan berdampak ke Indonesia.
Tanpa bermaksud mengenyampingkan persoalan tersebut, otokritik terhadap sejumlah kebijakan pemerintah terutama kebijakan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga terbilang penting. Hal ini menimbang beberapa kebijakan Kemenkeu merespons situasi internal maupun eksternal yang masih kurang tepat.
Ambil contoh, kebijakan cukai yang dinilai masih salah kaprah hingga kebijakan iuran BPJS yang justru memberatkan peserta BPJS, alih-alih memberikan solusi.
Harapan munculnya inovasi kebijakan dari Kemenkeu nyaris belum terlihat. Alih-alih melakukan teorbosan, Sri Mulyani justru menuai kritikan lantaran kebijakan-kebijakannya yang dianggap kontroversial.
Ketidakmampuan menciptakan inovasi kebijakan di bidang ekonomi dan keuangan, berdampak pada stagnasi ekonomi sepanjang 5 tahun terakhir. Ini bisa dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang rata-rata hanya mampu menembus angka 5 persen.
Pada sisi lain, lemahnya pengawasan di pos-pos strategis yang menjadi sumber pemasukan negara juga menyumbang masalah lainnya. Sebut saja sektor bea cukai yang sejauh ini berkontribusi terhadap penerimaan negara belum mampu dioptimalkan dengan baik.
Beranjak dari sengkarut persoalan tersebut, pemerintah kembali dituntut agar lebih serius dalam mengambil langkah ke depan. Terutama soal perpajakan dan bea cukai, pemerintah atau dalam hal ini Kemenkeu diharapkan mampu merumuskan kebijakan yang tepat, tidak asal gegabah.
Karenanya, penting untuk mempertanyakan apa yang menjadi kendala utama di balik upaya mendorong penerimaan negara, terutama di sektor kepabeanan? Mengapa tidak ada inovasi kebijakan?
Tantangan Besar Sektor Kepabeanan
Usai terjadi rentetan aksi penyelundupan mobil dan motor mewah belakangan, banyak pasang mata tertuju ke sektor kepabeanan yang selama ini nyaris tak pernah disorot publik. Selain itu, dampak dari kejadian itu publik mulai menyadari betapa bobrok manajemen di internal lembaga tersebut.
Apabila dirunut, sejumlah kasus pernah melanda lembaga tersebut. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menangani sejumlah kasus yang melibatkan lembaga kepabeanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Salah satu kasus yang paling dingat publik adalah korupsi pengadaan 20 kapal yang diduga merugikan negara hingga Rp 100 miliar lebih.
Diduga, kurangnya pengawasan membuat lembaga kepabeanan menjadi ladang empuk para mafia impor-ekspor mengeruk keuntungan. Walhasil, akibat pengawasan yang kurang optimal negara terus kecolongan untuk mendongkrak pemasukan di sektor strategis ini.
Kasus penyelundupan mobil dan motor mewah yang merugikan negara hingga miliaran rupiah belakangan juga membuktikan kalau maksimalisasi penerimaan negara di sektor bea cukai masih menjadi pekerjaan besar pemerintah.
Menurut keterangan Menkeu Sri Mulyani, untuk kasus penyelundupan mobil dan motor mewah sepanjang tahun 2019 secara nasional Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) mengungkap 57 kasus penyelundupan mobil mewah dan 10 kasus untuk motor.
Dari kasus tersebut, terdapat 84 mobil dan 2.693 motor mewah yang diselundupkan. Angka tersebut melonjak tajam jika dibandingkan dengan tahun 2018 yang hanya terjadi penyelundupan mobil mewah sebanyak 7 unit dan motor mewah sebanyak 127 unit.
Adapun potensi kerugian negara akibat penyelundupan sepanjang 2019 tersebut diperkirakan mencapai Rp 647,5 miliar. Sementara itu, Bea Cukai mencatat keseluruhan nilai barang yang diselundupkan mencapai Rp 312,92 miliar untuk mobil, dan Rp 10,83 miliar untuk motor.
Itu baru kasus penyelundupan mobil dan motor, belum jenis penyelundupan lainnya. Sebut saja sejumlah kasus penyelundupan lainnya yang tak kalah besar menyumbang kerugian negara seperti penyelundupan pakaian bekas dari luar negeri dalam bentuk karung padat atau ball press dengan nilai mencapai Rp 42,1 miliar sepanjang 2019.
Sementara, pada 2018 DJBC juga mencatat telah menindak 394 kasus penyelundupan pakaian bekas ke tanah air dengan nilai mencapai Rp48,96 miliar. Penyelundupan tersebut seluruhnya dilakukan melalui pelabuhan tidak resmi atau lazim disebut pelabuhan tikus.
Akibat kurangnya pengawasan di sektor kepabeanan, sumber-sumber pemasukan negara yang semestinya dikelola dengan baik dan maksimal guna menopang penerimaan negara menjadi tidak optimal. Hal itu dapat disaksikan melalui pemasukan negara di sektor kepabeanan yang belum konsisten menyumbang pendapatan negara.
Jika dilihat capaian penerimaan bea dan cukai sepanjang 5 tahun terakhir memang menunjukkan tren positif, teristimewa pada 2017 dan 2018 yang melampaui target. Sementara untuk 2015 dan 2016 realisasinya masih di bawah target.
Pada 2015 realisasi penerimaan bea dan cukai hanya mencapai 179,58 triliun (92,09%) dari target Rp 194,99 triliun. Tren serupa juga dialami pada 2016 yang hanya mampu menyumbang Rp178,72 triliun (97,15%) dari target APBN-P Rp 183,96 triliun.
Namun, realisasi penerimaan bea cukai mengalami peningkatan drastis pada 2017, yakni Rp 189,36 triliun (100,12%) dari target APBN-P Rp 189,14 triliun. Tren serupa terulang pada 2018 yang menyentuh Rp 205,35 triliun (105,8%) dari target Rp 194,10 triliun.
Sedangkan, di 2019, tercatat hingga November, realisasi penerimaan bea cukai baru mencapai 84,39% atau menyentuh Rp 176,23 triliun dari target Rp 208,82 triliun. Adapun masing-masing disumbang oleh Bea Masuk senilai Rp 33,59 triliun (86,35%) dari target Rp 38,90 triliun, Bea Keluar Rp 3,18 triliun (71,9%) dari target Rp 4,42 triliun, dan Cukai Rp 139,46 triliun (84,26%) dari target Rp 165,50 triliun.
Dalam keterangannya, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi mengaku penerimaan di sektor bea masuk dan bea keluar pertumbuhannya sedang mengalami penurunan. Dia menyebut hal itu salah satunya dipengaruhi oleh kondisi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
Hal senada juga diungkapkan Menteri Keuangan (Menkeu RI), Sri Mulyani saat menanggapi tren kelesuan realisasi penerimaan pajak menyebut kondisi ekonomi global yang belum membaik memeberikan dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Dampak tersebut, juga kata dia, menimbulkan kontraksi pada bea masuk dan bea keluar.
Mengurai Benang Kusut Kebijakan
Pertanyaannya, jika pemerintah sudah bisa mengidentifikasi akar penyebabnya dengan baik, mengapa masih belum sepenuhnya mampu mendorong kebijakan yang tepat?
Juma & Onkware dalam The Challenges of Public Policy Formulation and Evaluation through the Questions “What, Who, How, and When? menyebut kebijakan publik berkaitan erat dengan parktik kekuasaan yang berlaku di sebuah negara, sebagai dampak dinamika internal maupun eksternal.
Karena itu, mencermati pengaruh dinamika politik yang sedang berlangsung sangat membantu dalam memahami konstruk sebuah kebijakan.
Apabila alasan Menkeu selama ini selalu menyebut kebijakannya tidak bisa dipisahkan dari dinamika ekonomi dan politik global, maka apa yang dikemukakan Juma & Onkware dalam tulisannya cukup masuk akal.
Sri Mulyani kerap mengatakan kondisi ekonomi global yang labil, bahkan cenderung memburuk akibat perang dagang mendorong lahirnya sejumlah kebijakan internal, sebagai respons atas kondisi yang ada.
Namun, yang disayangkan, di antaranya sejumlah kebijakan yang diambil Menkeu belum berhasil menjawab sederet persoalan yang saat ini tengah melanda kondisi ekonomi dan keuangan negara.
Untuk itu, mempertanyakan sederet kebijakan pemerintah yang tidak tepat sasaran memang penting. Alasannya karena apapun bentuk kebijakan (publik) yang diambil pemerintah selalu memiliki dampak terhadap masyarakat.
Terkait kurangnya inovasi kebijakan pemerintah dalam hal ini Kemenkeu merespons situasi saat ini penting untuk dievaluasi.
Anders Hanberger dalam What is the Policy Problem? Methodological Challenges in Policy Evaluation mengemukakan bahwa persoalan paling sering terjadi dalam perumusan kebijakan ialah ketidakmampuan mengidentifikasi duduk sebuah persoalan.
Hanberger menambahkan, para pembuat kebijakan harus jeli dalam mengenali siapa stakeholder yang dimaksudkan dalam kebijakan tersebut dan untuk tujuan apa kebijakan itu dibuat.
Jika ditarik lebih jauh, apa yang disampaikan Hanberger relevan dengan perumusan sejumlah kebijakan yang belakangan diambil Kemenkeu.
Sebagai contoh, mengacu pada data-data yang telah dipaparkan di depan, bahwa serentetan kasus yang terus terjadi di sektor kepabeanan seperti kasus penyelundupan yang berdampak buruk terhadap penerimaan negara, semestinya segera direspons sejak awal. Dari fakta-fakta yang ada, kasus penyelundupan bukan baru terjadi di 2019, melainkan telah sering terjadi jauh sebelum itu.
Pertanyaannya, mengapa kejadian serupa kembali terulang di 2019, bahkan terlihat cukup masif? Atau, dapat dikatakan terjadi peningkatan luar biasa yang mana hal itu juga diakui oleh Menkeu Sri Mulyani.
Dengan demikian, bisa disimpulkan pemerintah sejauh ini belum mampu mencegah parktik penyelundupan yang menguras pemasukan negara.
Walhasil, ketika pemerintah berteriak tentang pentingnya menyelamatkan uang negara dari parktik-praktik (bisnis) ilegal, ketidakpatuhan membayar pajak, justru pada saat yang sama pemerintah membiarkan sumber-sumber pemasukan terus-menerus kecolongan yang membuat pendapatan negara menjadi tidak maksimal. (H57)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.