Site icon PinterPolitik.com

Sri Mulyani dan Perangkap Tsunami Finansial

Sri Mulyani dan Perangkap Tsunami Finansial

Jokowi dan Sri Mulyani (Foto: istimewa)

Seri pemikiran Kishore Mahbubani #24

Ada dua kubu yang berdebat terkait penyebab krisis ekonomi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Kubu pertama melihat Covid-19 sebagai penyebab utama porak-porandanya ekonomi global. Sementara, kubu kedua menyebut sistem finansial global yang sudah ambruk sejak tahun 2008 adalah penyebab utamanya. Yang terjadi saat ini adalah tsunami finansial. Jika demikian, dengan melihat kebijakan-kebijakan ekonomi yang sudah diambil oleh Sri Mulyani, lalu kubu mana yang argumentasinya paling bisa dipertanggungjawabkan?


PinterPolitik.com

“The really good news is that few Asians have lost their optimism about the future. They have no illusions about the crisis but are confident that they remain on the right trajectory to deliver the Asian century”.

::Kishore Mahbubani, akademisi dan mantan diplomat Singapura::

Sekitar empat ribu tahun lalu, tsunami pertama yang tercatat dalam sejarah peradaban manusia terjadi di wilayah Suriah. Dua ribu tahun kemudian, tepatnya di awal tahun 426 SM, sejarawan Yunani Kuno, Thucydides menjadi orang pertama yang berargumentasi bahwa gempa di lautan sangat mungkin menjadi penyebab terjadinya tsunami.

Sementara sejarawan Romawi, Ammianus Marcellinus menggambarkan lebih spesifik terkait sequence atau urut-urutan dari terjadinya tsunami tersebut, yang dimulai dengan gempa besar, lalu air laut mulai surut, dan pada akhirnya sebuah gelombang besar akan menyapu daratan. Catatan Marcellinus itu dibuatnya pasca tsunami pada tahun 365 M menghancurkan kota Alexandria.

Tentu saja tulisan ini tidak akan membahas spesifik fenomena alam tersebut, namun hanya mengambil instisari dari sequence atau urut-urutan kejadian yang satu terhadap yang lain. Menariknya, konsepsi tentang tsunami ini oleh beberapa pihak digunakan untuk menganalisis persoalan ekonomi yang terjadi di seputaran penanganan Covid-19.

Istilah yang kemudian dimunculkan adalah tsunami finansial – seperti yang salah satunya dikemukakan oleh penulis asal Jerman, Ernst Wolff. Well, seperti yang diketahui bersama, ekonomi global memang tengah porak-poranda sepanjang pandemi Covid-19.

Di Indonesia sendiri misalnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menyebutkan bahwa penanganan Covid-19 – baik dari sisi kesehatan maupun dalam konteks dampak ekonominya – hanya akan bisa diselesaikan jika vaksin Covid-19 bisa didapatkan oleh semua negara di dunia.

Menurut Sri Mulyani, dampak yang dirasakan terlihat dari penerimaan pajak yang menurun, kemudian angka pengangguran yang meningkat, dan lain-lain. Sebagai catatan, angka pengangguran di Indonesia sepanjang pandemi Covid-19 meningkat hingga 2,67 juta jiwa. Pada saat yang sama, ratusan ribu hingga jutaan lapangan pekerjaan pun menghilang.

Sri Mulyani dan para pemimpin dunia kemudian menjatuhkan Covid-19 sebagai kambing hitam. Namun pertanyaan yang kemudian muncul adalah benarkah demikian? Benarkah Covid-19 menjadi satu-satunya persoalan utama ekonomi dunia saat ini? Lalu, bagaimana fenomena ini dilihat dari kacamata akademisi dan mantan diplomat asal Singapura, Kishore Mahbubani?

Jebakan Tsunami Finansial

Memang harus diakui bahwa para ekonom, pengambil kebijakan, politisi dan scholar punya pandangan yang terpecah terkait kondisi perekonomian yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir ini. Kubu pertama sepenuhnya menunjuk Covid-19 sebagai persoalan utamanya. Sementara kubu kedua melihat persoalan ekonomi dan finansial hari ini tidak semata-mata terjadi akibat Covid-19, melainkan dampak beruntun yang merupakan sequence dari serangkaian peristiwa.

Untuk kubu yang percaya bahwa ekonomi runtuh karena Covid-19 memang melihatnya dari sudut pandang efek domino yang diakibatkan oleh virus yang satu ini terhadap aktivitas di dunia bisnis dan perekonomian itu sendiri.

Arus manusia dan barang yang terganggu, ketakutan yang awalnya muncul akan ketidakpastian massa depan, serta batasan-batasan yang harus diterapkan sebagai akibat pelaksanaan protokol kesehatan, memang secara langsung mempengaruhi perekonomian secara keseluruhan. Pasar saham misalnya sempat ambruk pada Maret 2020 lalu sebagai awal dari krisis besar yang kemudian terjadi di bulan-bulan selanjutnya, di mana negara-negara di dunia terjerembab ke dalam jurang resesi ekonomi.

Sementara, untuk kubu kedua yang memandang Covid-19 bukanlah masalah utama, berargumentasi bahwa persoalan-persoalan ekonomi yang terjadi saat ini sebetulnya adalah efek lanjutan dari masalah-masalah ekonomi yang terjadi pada tahun 2008 lalu. Kala itu, dunia menghadapi krisis finansial akibat risiko besar yang diambil oleh banyak bank dan institusi dunia ketika berinvestasi di sektor properti di Amerika Serikat (AS).

Setelah kemudian ditemukan bahwa kondisi yang terjadi saat itu hanyalah housing bubble – di mana harga properti awalnya sangat mahal, namun kemudian anjlok secara drastis karena banyaknya kredit macet – dampaknya kemudian terasa di seluruh dunia.

Nah, beberapa pihak menyebutkan bahwa krisis di tahun tersebut masih meninggalkan dampak hingga saat ini. Instutusi keuangan besar macam Goldman Sachs bahkan diharuskan membayar hingga US$ 5 miliar pada tahun 2010 karena perannya di balik krisis di tahun tersebut. Dampak lanjutan krisis inilah yang oleh beberapa penulis dan analis seperti Ernst Wolff dianggap sebagai tsunami finansial tersebut.

Wolff menyebutkan bahwa persoalan ekonomi yang terjadi saat ini di sepanjang penanganan pandemi Covid-19, bukanlah terjadi semata-mata karena virus tersebut, melainkan karena warisan masalah ekonomi masa lalu tersebut. Apalagi, solusi atau jalan keluar untuk mengatasi masalah krisis di tahun tersebut justru ditempuh dengan metode yang cenderung “tambal sulam”.

Menurut Wolff, sistem finansial global telah hancur pada tahun 2007-2008. Padahal, sistem ini penting karena menunjang semua aspek kehidupan manusia di semua negara. Buat yang belum tahu, sistem finansial atau financial system ini adalah sebuah struktur tata kelola keuangan global yang di dalamnya berisikan bank-bank, perusahaan-perusahaan asuransi, pasar saham, dan institusi keuangan lainnya.

Wolff juga menyebutkan bahwa sistem finansial yang ada saat ini telah meletakkan terlalu banyak kekuasaan dan keuntungan ekonomi kepada orang-orang kaya. Pasalnya, di tengah krisis ekonomi yang terjadi, para orang kaya tersebut memperoleh peningkatan kekayaan yang sangat signifikan.

Apalagi, mulai muncul wacana bank-bank sentral dan institusi keuangan global seperti International Monetary Fund atau IMF, mendorong penerbitan mata uang digital resmi yang dikeluarkan secara global. Ini akan melahirkan kontrol yang sangat besar terhadap sistem perbankan dan masyarakat dunia secara keseluruhan.

Argumentasi bahwa krisis 2008 belum berakhir efeknya juga disepakati oleh sejarawan sekaligus Guru Besar di Columbia University, Adam Tooze – sekalipun solusi yang ditawarkan sedikit berbeda. Wolff menawarkan “revolusi damai”, sementara Tooze mensyaratkan keterbebasan dari kungkungan sistem mata uang dolar AS yang membuat ekonomi sangat mudah digoyah. Intinya, mereka sepakat bahwa sebelum ada perubahan yang substansial dalam tata kelola sistem finansial global, maka efek krisis tersebut masih.

Secara keseluruhan bisa dianggap bahwa tsunami finansial itu adalah yang sedang terjadi saat ini. Gempa ekonomi telah terjadi pada tahun 2008. “Air laut” sistem keuangan global kemudian surut, namun masalah yang dibawanya menjadi berlipat ganda, dan saat ini tengah dirasakan gelombangnya ketika Covid-19 menjadi pengguncang utamanya.

Well, ketika sistem ekonomi dunia diikat dalam satu kekuasaan dolar AS, maka pandemi yang menyerang seluruh dunia sudah lebih dari cukup untuk memporak-porandakannya.

Akan Kemana Indonesia?

Tentu pertanyaannya adalah bagaimana dengan Indonesia?

Kishore Mahbubani dalam salah satu tulisannya untuk Financial Times pada 2008 lalu, menyebutkan bahwa negara-negara Asia justru merasakan dampak yang relatif kecil dari krisis di tahun tersebut. Menurut Mahbubani, negara-negara di Asia telah belajar dari krisis di tahun 1998, sehingga melakukan resep yang sebaliknya ketimbang yang diminta oleh institusi keuangan global di periode sebelumnya.

Negara-negara Asia tersebut tak meliberalisasi sektor-sektor ekonomi secara terlalu cepat, kemudian tak melakukan pinjaman yang terlalu besar, berinvestasi pada produktivitas, dan berfokus pada peningkatan mutu pendidikan.

Namun, apakah pandangan Mahbubani ini masih bisa dianggap relevan untuk melihat kondisi Indonesia saat ini? Well, jika argumentasinya adalah krisis ekonomi yang terjadi saat ini merupakan efek tsunami finansial sejak tahun 2008, maka boleh jadi Indonesia merasakan dampaknya secara perlahan, sekalipun solusi yang sama tetap juga digunakan.

Menkeu Sri Mulyani misalnya, meskipun melakukan pinjaman dari luar negeri, namun jumlahnya tidak terakumulasi besar dari satu pihak saja. Dari Australia contohnya, Indonesia mendapatkan Rp 15 triliun, kemudian dari Jerman juga diajukan pinjaman sebesar Rp 9 triliun.

Selain itu, dengan makin kuatnya Tiongkok, maka negara-negara di Asia dan Indonesia secara khusus tentunya, masih bisa mencari pegangan ketika sistem finansial berbasis dolar AS terguncang. Artinya, Tiongkok bisa menjadi sentral kekuatan ekonomi penyeimbang – sekalipun dari sisi kekuatan mata uangnya masih sangat jauh dibandingkan dolar AS.

Pada akhirnya, catatan penting dari perdebatan tentang penyebab krisis ekonomi di sepanjang Covid-19 ini adalah bahwa separah apapun pandemi ini menyerang, jika sistem dan tata kelola keuangan negara sudah rapuh, maka bisa dipastikan negara seperti Indonesia bisa saja porak poranda.

Harapannya, Indonesia tidak terjebak dalam tata kelola yang salah. Semua pihak tentu tak akan membiarkan hal tersebut terjadi dan mengupayakan hal yang sebaliknya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version