Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membuat geger publik dengan berita terkait kebijakan pajak dalam transaksi jual beli pulsa, voucher, hingga token listrik. Lantas mengapa kebijakan terkait pajak ini kerap menuai polemik di masyarakat?
Pandemi Covid-19 yang melanda dunia dalam setahun terakhir memang membawa dampak yang luar biasa bagi kehidupan manusia. Ekses dari pagebluk ini menghantam banyak sektor fundamental, mulai dari tentunya kesehatan, sosial, pendidikan, hingga pastinya ekonomi.
Jangankan bagi negara berkembang seperti Indonesia, bagi negara-negara maju sekalipun pandemi Covid-19 telah menjerumuskan perekonomian mereka ke dalam jurang resesi. Akibatnya sudah tak terhitung berapa banyak pekerja yang terpaksa menganggur karena bisnis tempat mereka bekerja mulai melakukan efisiensi, atau bahkan yang terburuk, tak mampu bertahan menghadapi terpaan pandemi.
Untuk mencegah terperosok semakin dalam, pemerintah berupaya keras melakukan berbagai upaya pemulihan ekonomi. Termasuk memberikan relaksasi pajak bagi pelaku usaha hingga menyalurkan subsidi gaji bagi para pekerja.
Namun di tengah upaya pemerintah dalam mengatasi pandemi dan krisis ekonomi yang belum usai ini, terselip sejumlah kabar yang tak menggembirakan bagi masyarakat. Setelah sebelumnya beredar informasi bahwa pemerintah tak akan melanjutkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Subsidi Gaji, publik dihebohkan dengan rencana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) dalam transaksi jual beli pulsa, voucher, hingga token listrik.
Sontak kabar ini pun membuat publik geram. Pasalnya, kebijakan tersebut dikhawatirkan akan membuat harga pulsa dan token listrik merangkak naik di tengah himpitan ekonomi yang masih berlangsung.
Sentimen dari masyarakat tersebut agaknya membuat Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani gerah. Melalui akun instagramnya, alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) ini menyampaikan sendiri klarifikasinya terkait polemik tersebut.
Menggunakan tulisan yang seluruhnya diketik dengan huruf kapital, Sri Mulyani membantah bahwa pemerintah berniat menerapkan pungutan pajak baru. Ada pun polemik yang dipersoalkan publik adalah terkait penyederhanaan kebijakan PPN dan PPh yang selama ini telah berjalan dan tidak akan memengaruhi harga pulsa, voucher ataupun token listrik.
Ini sebenarnya bukan lah kali pertama kebijakan Menkeu Sri Mulyani menuai keributan. Kebijakan sebelum-sebelumnya, terutama yang berkaitan dengan pajak, juga kerap menuai polemik serupa. Pemungutan pajak bagi e-commerce, ataupun layanan streaming berbayar adalah sekelumit contohnya.
Menyikapi hal ini, lantas apa sebenarnya yang menyebabkan kebijakan pajak pemerintah kerap menuai sentimen minor publik?
Menyoal Moralitas Pajak
Kebijakan pajak Sri Mulyani yang kerap menuai kritikan publik tersebut agaknya disadari juga oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi XI dari Fraksi Partai Golkar, Mukhamad Misbakhun. Dalam kolomnya yang berjudul Ketidakpercayaan Yang Dipercaya, Ia mengaku bahwa setiap berbicara di DPR, Menkeu Sri Mulyani selalu menyinggung tiga hal, yaitu tata kelola, integritas, dan good governance.
Tiga kalimat mantra tersebut menurutnya menggambarkan orientasi Sri Mulyani yang jelas arahnya, yaitu membangun kepercayaan publik.
Kendati demikian, ketika hendak merumuskan aturan soal aturan pajak, ternyata respons publik jauh dari rasa percaya yang diharapkan Sri Mulyani. Ia pun mempertanyakan ada ambiguitas apa yang melanda masyarakat ihwal kepercayaan ini, sehingga publik terkesan mendua ketika menanggapi kebijakan pajak Menkeu Sri Mulyani.
Sensitivitas publik terhadap kebijakan pajak sebenarnya dapat dimaklumi. Sebab, pajak hingga kini masih menjadi diskursus yang tak jarang memantik pro-kontra di masyarakat.
Michael Huemer dalam bukunya yang berjudul The Problem of Political Authority menyebut bahwa ada persoalan moral yang terkandung dalam konsep pajak.
Ia menilai bahwa pajak merupakan sebuah kegiatan pemaksaan yang dilakukan oleh pemerintah dengan mengesampingkan kontrak sosial yang seharusnya terjalin dalam proses perumusan suatu aturan.
Kadang-kadang negara tiba-tiba hadir menjadi sosok yang kuat dan dominan bagi masyarakat dan sering kali mengatasnamakan kebaikan bersama demi sebuah tindakan yang justru merugikan masyarakat dan memberi keuntungan bagi dirinya sendiri.
Realitas tersebut yang membuat Haumer menganalogikan negara yang memajaki warganya sebagai tindakan perampasan, atau pencurian.
Senada, Lysander Spooner, seorang filsuf politik Amerika Serikat (AS), juga pernah memberikan argumentasi yang menarik. Ia mengungkapkan bahwa jika pajak tanpa persetujuan bukanlah perampokan, maka setiap perampok hanya perlu mendeklarasikan diri mereka sebagai pemerintah, dan semua tindakan mereka akan menjadi legal.
Dalam konteks negara, pajak biasanya dipungut berlandaskan pada norma-norma hukum. Negara biasanya juga menggunakan narasi-narasi bahwa pajak digunakan untuk membiayai program-program kesejahteraan umum seperti pembangunan infrastruktur bersama hingga subsidi silang.
Kendati begitu, tampaknya tak semua pihak setuju akan gagasan ‘demi kesejahteraan umum’ tersebut. Bagi mereka yang cenderung mengkritik moralitas pajak ini meyakini bahwa dirinya berhak mendapatkan seluruh hasil dari jerih payahnya sendiri.
Robert Nozick dalam bukunya Anarchy, State, and Utopia, misalnya, mengkritik subsidi silang, di mana pendapatan orang kaya diambil melalui pajak untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Menurutnya, pajak tinggi yang diberikan kepada orang kaya adalah bentuk dari ketidakadilan.
Oleh karena moralitasnya itu sendiri masih menjadi subjek yang kerap diperdebatkan, hal ini kemudian menjadi wajar jika publik lebih sensitif terhadap kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pajak.
Lantas apakah hal tersebut menjadi satu-satunya faktor publik kerap mengkritik kebijakan pajak Menkeu Sri Mulyani?
Sri Mulyani Kehabisan Akal?
Meski Menkeu Sri Mulyani telah menyampaikan klarifikasinya, namun tak dapat dielakkan bahwa persoalan ini kadung menjadi polemik di ranah publik. Tak hanya masyarakat, sejumlah tokoh pun turut memandang sinis langkah Kemenkeu.
Ekonom yang selama ini vokal mengkritik pemerintah, seperti Rizal Ramli tak mau ketinggalan memanfaatkan polemik ini untuk menyerang pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Dengan aksentuasi yang khas, Ia menyindir Sri Mulyani yang dinilainya tidak kreatif lantaran lebih memilih memajaki rakyat yang membeli pulsa dan token listrik demi mengatasi persoalan utang negara dan neraca primer yang disebutnya telah bercokol di zona negatif selama enam tahun.
Atas dasar itu, Ia tak segan-segan memberikan kesimpulan yang cukup berani dengan menyebut bahwa kebijakan ini bisa saja membuat Presiden jatuh bersama dengan Menkeu Sri Mulyani.
Kendati sekilas terdengar seperti serangan yang bersifat politis, namun argumentasi Rizal ini bisa jadi memang mewakili keresahan publik. Sebab dalam beberapa waktu terakhir, pemberitaan mengenai membengkaknya utang negara memang tengah santer dibicarakan.
Selain terkait utang, kinerja Menkeu Sri Mulyani yang bisa dibilang kurang memuaskan juga terlihat dari anjloknya realisasi penerimaan pajak pada tahun 2020 yang hanya mencapai Rp 925,3 triliun. Angka itu menunjukkan kontraksi penerimaan pajak pada tahun tersebut mencapai 18,5 persen.
Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar menilai terkontraksinya realisasi penerimaan pajak ini disebabkan karena buruknya kinerja penerimaan pajak penghasilan (PPh) non-migas yang drop minus 20 persen. Namun begitu, Ia menilai bahwa hal tersebut wajar seiring dengan stimulus fiskal berupa insentif perpajakan dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN) 2020.
Kendati bagi sejumlah pakar mudah saja memahami bahwa kegagalan realisasi penerimaan pajak adalah hal yang wajar di situasi pandemi, namun tak demikian bagi publik awam.
David Hazinski dalam tulisannya yang berjudul Why People Hate Their Government memaparkan beberapa alasan mengapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kerap menuai sentimen minor publik. Salah satunya disebabkan oleh kegagalan komunikasi publik yang dilakukan pemerintah.
Bagi mereka yang tak memiliki pemahaman memadai, bisa saja menganggap kebijakan PPN dan PPh terkait pulsa, voucher dan token listrik sebagai salah satu upaya Sri Mulyani untuk menggenjot penerimaan pajak tersebut. Ini semakin mendapatkan afirmasinya jika kita melihat sikap Menkeu Sri Mulyani yang justru menyarankan kepada anggota dewan untuk membentuk Panitia Kerja (Panja) Pajak.
Sebab jika nantinya benar-benar akan dibentuk, Menkeu Sri Mulyani bisa saja justru memanfaatkan forum tersebut untuk mencari pemakluman DPR, yang memang didominasi oleh pendukung pemerintah, atas kegagalannya dalam mencapai realisasi pajak.
Pada akhirnya, meski sudah menegaskan klarifikasinya, suka tak suka sentimen minor publik terhadap kebijakan PPN dan PPh pulsa, voucher, dan token listrik kiranya memang tak bisa dihindari. Namun momentum ini seharusnya bisa dimanfaatkan Sri Mulyani dan jajarannya kementeriannya untuk mengevaluasi kembali kinerja dan juga strategi komunikasinya agar publik lebih mudah memahami konteks kebijakan pajak sehingga polemik semacam ini tak perlu terulang kembali. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.