Sebagai pelindung rakyat, pemerintah harusnya selalu menjamin keamanan dan keselamatan warganya, bahkan dalam krisis ekonomi sekalipun. Sudahkah hal ini dilakukan pemerintah?
Banyak pemerhati ekonomi mengatakan tahun 2023 akan menjadi tahun yang sangat berat, tidak hanya bagi Indonesia, tapi juga dunia. Inflasi yang mulai terjadi pada beberapa negara besar seringnya dijadikan acuan bahwa ketakutan ini bukanlah sesuatu yang diimajinasikan.
Hal ini juga diamini oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani (SM) yang berulang kali menyebutkan bahwa ancaman resesi global semakin dibuat nyata akibat adanya ketegangan geopolitik internasional. Utamanya, tentu akibat perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina semenjak 24 Februari silam.
Namun, ada beberapa pihak yang mulai menilai narasi yang disampaikan SM tampak terlalu menakut-nakuti publik. Mantan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla, misalnya, pernah mengatakan SM seharusnya tidak terlalu membuat rakyat takut.
Dan sesuai dengan apa yang pernah ditulis dalam artikel PinterPolitik.com berjudul Sri Mulyani, The Agent of Fear?, sepertinya bisa disinyalirkan bahwa permainan rasa takut dalam ekonomi sepertinya memang jadi hal yang lumrah karena secara prinsip ekonomi berjalan berdasarkan rasa takut manusia, yang terkadang juga digunakan untuk menggerakkan sebuah agenda politik.
Akan tetapi, masih ada satu hal menarik di balik pernyataan-pernyataan SM yang perlu dibahas, yakni mengapa SM dan pemerintah sering -bahkan mungkin terlalu sering- menyebutkan bahwa krisis ekonomi yang kemungkinan datang adalah akibat permasalahan global.
Ya, kalau kita coba perhatikan, tidak dipungkiri bahwa dalam beberapa kesempatan SM memang tampak ingin menegaskan bahwa kondisi ekonomi yang berpotensi memburuk ini terjadi akibat keadaan dunia yang sedang tidak baik. Kata-kata seperti “geopolitik”, “pandemi”, dan “perubahan iklim” hampir bisa dipastikan muncul setiap kali SM membahas krisis ekonomi.
Seperti apa kira-kira intrik politik di balik alasan kenapa SM melakukan hal ini?
Pemerintah Coba Lempar Tangan?
Sebelum kita bahas lebih lanjut, penting untuk kita sadari bersama bahwa suatu permasalahan ekonomi tidak mungkin tiba-tiba saja menjadi besar hanya karena faktor eksternal, tetapi juga benturannya dengan keadaan ekonomi domestik yang memang sudah menjadi masalah dalam suatu negara.
Terkait Indonesia, krisis ekonomi Asia tahun 1997-1998 bisa begitu besar dampaknya pada kita karena saat itu pemerintah luput mengidentifikasi sumber masalah di dalam negeri. Kalau mengacu pada apa yang ditulis mantan Wapres Boediono dalam bukunya Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah, salah satu alasan sesungguhnya kenapa krisis 1998 menjadi parah adalah karena buruknya sistem perbankan Indonesia, yang kala itu juga tidak memiliki sistem early warning atau siaga awal yang baik.
Soal keadaan ekonomi Indonesia saat ini, meskipun bisa saja tidak akan berdampak langsung pada potensi krisis ekonomi 2023 akibat resesi global, kita tidak boleh menutup mata bahwa secara nyata Indonesia masih memiliki persoalan ekonominya sendiri. Pertama, terkait utang luar negeri, sejak tahun 2012 utang kita terus meningkat, yang tadinya sekitar Rp2.000 triliun, saat ini menjadi sekitar Rp6.000 triliun.
Lalu, ada juga persoalan realisasi pembayaran pajak. Data dari Kemenkeu menunjukkan bahwa sejak 12 tahun terakhir, hingga tahun 2021, realisasi pajak Indonesia selalu di bawah target, ini artinya masih banyak warga kita yang tidak membayar pajak, padahal pajak adalah sumber pendapatan negara yang begitu penting dan besar. Dari realisasi pajak ini saja dampaknya bisa ke mana-mana, seperti pembengkakan utang luar negeri misalnya.
Oleh karena itu, seperti apapun narasi yang disampaikan pemerintah tentang kondisi ekonomi Indonesia, hal-hal seperti ini tetap perlu jadi batu sandaran kita dalam menakar “kesehatan” ekonomi Indonesia. Tentu api besar tidak akan tersulut jika tidak ada barang mudah terbakar di sekitarnya, bukan?
Nah, lantas kenapa pemerintah, dan SM khususnya, sangat jarang membahas ini dan lebih sering coba menarasikan bahwa krisis ekonomi mendatang adalah akibat kondisi global?
Well, jika kita coba menalarkan ini, sudah paling tepat sepertinya jika kita mengacu pada tulisan The Politics of Blame Avoidance karya R. Kent Weaver. Di dalamnya, Weaver berargumen bahwa para politisi dan pejabat publik secara naluriah akan termotivasi untuk menghindari kesalahan atas tindakan dan keputusannya yang dianggap tidak populer atau bahkan berakibat buruk.
Salah satu alasannya adalah dengan melimpahkan permasalahan yang terjadi padanya ke pihak lain sehingga ia tidak akan dianggap sebagai yang paling bertanggung jawab oleh rakyatnya.
Jika kita ingin menggunakan pemikiran ini untuk menelaah kenapa pemerintah sering menyebut resesi global, maka kita bisa sebutkan bahwa bisa saja faktor-faktor krisis ekonomi eksternal ini dijadikan sebagai “ban serep” jika nantinya krisis terjadi dan pemerintah disalahkan. Sederhananya, pemerintah bisa mengatakan, “jangan salahkan kami, ini adalah sebuah masalah global”. Padahal, seperti yang kita sudah bincangkan di atas, suatu permasalahan eksternal bisa menjadi besar jika berbenturan dengan permasalahan ekonomi domestik.
Namun sayangnya narasi seperti itu sepertinya tidak hanya bertujuan mengalihkan kesalahan, tapi juga untuk mengondisikan pola pikir masyarakat.
Di dalam dunia marketing, ada sebuah strategi yang disebut top-of-mind awareness (TOMA), yakni sebuah strategi menciptakan brand awareness sehingga sesuatu yang dinarasikan bisa menjadi hal pertama yang dipikirkan orang ketika mereka membutuhkan sesuatu. Tapi tentunya strategi seperti ini tidak hanya berlaku untuk marketing, tapi bisa juga digunakan untuk politik dan pemerintahan.
Dengan TOMA, narasi tentang bahaya resesi global, geopolitik, dan perubahan iklim yang begitu sering disuarakan bisa menjadi sesuatu yang tertanam dalam benak masyarakat Indonesia. Akibatnya, jika suatu krisis nantinya terjadi, maka secara otomatis mereka akan berpikiran bahwa ini adalah dampak dari kondisi global, bukan akibat permasalahan di dalam negeri. Tentu, bisa saja hal itu memang benar, tapi jangan sampai itu digunakan hanya sebagai kesempatan untuk “lempar tangan” belaka.
Ini kemudian membawa kita ke pertanyaan selanjutnya, mungkinkah ada hal yang lebih mendalam yang membuat negara bisa bertindak seperti ini?
Pemerintah, “Kepala Keluarga” yang Panik?
Di negara-negara Asia, konsep kekeluargaan memiliki pandangan yang sedikit berbeda dengan negara-negara lain di dunia. Di Indonesia, misalnya, sedari kecil kita sudah dididik bahwa orang tua harus selalu kita patuhi, jaga, dan hormati.
Hal seperti ini memiliki julukannya sendiri, yakni filial piety. Segala hal harus sesuai dengan kehendak orang tua dan terkadang kita pun perlu membela orang tua bahkan jika mereka merupakan pihak yang salah.
Menariknya, filial piety ini ternyata juga sering dibawa-bawa ke urusan politik dan pemerintahan. David Bourchier dalam bukunya Illiberal Democracy in Indonesia: The Ideology of the Family State, menyebutkan bahwa sejak awal merdeka politik Indonesia selalu membawa kultur kekeluargaan, mulai dari Pancasila yang menekankan unsur musyawarah atau kebersamaan dalam keputusan politik, hingga pencitraan sejumlah tokoh politik sebagai “ibu” atau “bapak” bangsa.
Untuk konteks modernnya, contoh saja Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang sering dianggap sebagai Ibu di partai tersebut. Lalu, juga penggunaan kosakata “Ibu Pertiwi” pada Indonesia layaknya seorang Ibu yang perlu senantiasa kita bela.
Namun, praktik seperti ini memiliki beberapa sisi negatif. Patricia Ebrey dalam tulisannya Imperial filial piety as a political problem melempar kritik bahwa nilai kekeluargaan yang dibawa dalam politik, khususnya pemerintahan, berpotensi menjadikan negara atau siapapun yang berkuasa kebal terhadap tuduhan kesalahan.
Sebagai analogi contoh, ketika ayah kita dipukul oleh seseorang, maka otomatis kita pasti akan membela ayah kita. Padahal, kita tidak mengetahui permasalahannya seperti apa. Bisa saja justru ayah kita yang salah. Akan tetapi, karena kita tunduk pada filial piety, kita akan berusaha melumrahkan kesalahan ayah kita dan kemudian malah menjadikan masalahnya sebagai masalah kita juga.
Kembali ke persoalan krisis ekonomi, sepertinya tampak ada unsur pemanfaatan filial piety dalam sikap pemerintah menghadapinya. Dengan membawa narasi bahwa krisis yang mendatang murni merupakan akibat faktor eksternal, masyarakat berpotensi melumrahkan manajemen ekonomi negara yang bisa saja sebenarnya juga bersalah dalam mengakibatkan krisis.
Di sisi lain, terkait narasi ketakutan yang sering dilontarkan SM, ini juga mungkin beririsan dengan kebiasaan orang tua di Indonesia yang sering melarang anaknya berbuat sesuatu dengan membungkusnya melalui kisah-kisah menyeramkan.
Padahal, seorang kepala keluarga seharusnya juga menahan diri agar tidak terlalu menakut-nakuti anaknya. Dalam beberapa kasus, kepala keluarga bahkan perlu berbohong agar anaknya bisa hidup sejahteran dan aman, karena sudah menjadi tugasnya untuk selalu melindungi anak yang dinaunginya. Akan menjadi manajemen parenting yang tidak baik jika seorang kepala keluarga menjadikan masalah keluarga sebagai sesuatu yang juga perlu ditakuti dan dipertanggungjawabkan oleh anaknya.
Akan tetapi, tentu semua ini hanyalah interpretasi belaka. Besar harapan kita pemerintah dapat mengutamakan keselamatan dan keamanan warganya, sekelam apapun keadaan dunia. (D74)