Cukup mengejutkan, baru-baru ini Menteri Keuangan Sri Mulyani “curhat” dengan menyebutkan banyak janji kampanye Presiden Jokowi membuatnya “sakit perut” karena kesulitan untuk mencari pendanaan atas realisasi berbagai janji tersebut. Sontak saja, berbagai pihak memberi tanggapan yang bahkan menyebut Sri Mulyani layak dipecat atas ucapannya. Akan tetapi, ada pula pihak yang menyebutkan bahwa pernyataan tersebut adalah kejujuran Sri Mulyani akan kondisi ekonomi Indonesia saat ini. Benarkah demikian?
PinterPolitik.com
Dalam berbagai kesempatan, Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kerap memberi penegasan agar media massa memberitakan informasi yang tidak berpotensi menimbulkan gesekan ataupun keresahan di tengah masyarakat.
Penegasan itu pula yang diutarakan oleh sosok yang kerap dijuluki sebagai menteri segala urusan ini dalam menanggapi demo masyarakat Natuna yang menolak karantina WNI asal Wuhan dilakukan di pulau ujung utara Indonesia tersebut. Tandasnya kepada media, jika “kamu mau bangsamu rusak, ya bikin berita jelek”.
Pernyataan Luhut tersebut sepertinya tidak hanya harus disampaikan kepada awak media. Pasalnya, baru-baru ini Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati memberikan pernyataan yang menurut berbagai pihak dapat meresahkan masyarakat, bahkan dapat memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Bagaimana tidak, sosok yang pernah menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menuturkan bahwa banyak janji kampanye Presiden Jokowi yang membuatnya “sakit perut” karena harus mencari sumber dana terkait realisasinya.
Menurut Sri Mulyani, sumber dana dari janji kampanye seperti program kartu pra-kerja yang akan menyerap anggaran sebesar Rp 10 triliun, bahkan belum diketahui ketika kampanye.
Sontak saja, atas pernyataannya, Sri Mulyani kemudian mendapatkan kritik dari berbagai pihak. Eks Jubir Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Adhie M. Massardi misalnya, menegaskan jangan sampai Sri Mulyani melakukan “pembusukan dari dalam”. Menurutnya, jika alumnus Universitas Indonesia tersebut tidak setuju dengan program pemerintah, sudah seharusnya ia mundur.
Tidak hanya diminta mundur, Ketua DPP Partai Gerindra, Iwan Sumule bahkan menyarankan Presiden Jokowi untuk memecat Sri Mulyani atas ucapannya.
Lalu ada pula pernyataan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Sandiaga Uno yang menegaskan tidak akan memberikan pernyataan yang dapat menciptakan kekisruhan di tengah masyarakat seperti itu.
Akan tetapi, kendati ikut mengkritik, secara tidak langsung Sandi sebenarnya juga memberikan pembelaan terhadap Sri Mulyani dengan menyebutkan kemampuan keuangan pemerintah sebenarnya memang terbatas.
Jika Sandi memberikan pembelaan secara halus, mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu justru memberikan pembelaan yang frontal. Tuturnya, pernyataan tersebut adalah bentuk pengakuan Sri Mulyani bahwa janji-janji kampanye Presiden Jokowi sejatinya tidak rasional.
Janji kampanye Presiden Jokowi yang dinilai tidak rasional oleh Said Didu antara lain adalah tol laut, tingkat pertumbuhan ekonomi, tidak akan impor, tidak akan tambah utang, swasembada beras, memberikan “gaji” ke pengangguran, hingga pembangunan berbagai infrastruktur.
Baik pernyataan Sandi maupun Said Didu tentu saja hal tersebut membuat kita bertanya-tanya. Benarkah “curhat” Sri Mulyani tersebut sebenarnya adalah gambaran kondisi ekonomi Indonesia saat ini?
Lampu Kuning untuk Ekonomi?
Melihat pada berbagai data yang ada, suka atau tidak kondisi ekonomi Indonesia saat ini sepertinya dalam keadaan yang tidak memberikan kabar baik.
Hal tersebut misalnya terlihat dari data (per 30 November 2019) yang dirilis oleh Kementerian Keuangan yang menunjukkan pos-pos penerimaan tercatat masih jauh dari target yang ditetapkan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) ataupun terjadi defisit serta pembengkakan utang.
Pertama, terjadi peningkatan defisit APBN mencapai 2,29 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebesar Rp 368,9 triliun. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang hanya 1,89 persen, terlihat jelas terjadi peningkatan.
Kedua, terjadi pembengkakan pembayaran utang yang mencapai Rp 442 triliun. Angka tersebut berada di atas target pembiayaan tahun 2019 yang hanya Rp 359 triliun atau 123,3 persen dari pagu anggaran yang ditetapkan dalam APBN.
Dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, terjadi kenaikan sebesar 21,8 persen. Per Oktober 2019, utang luar negeri Indonesia bahkan mengalami pembengkakan sampai Rp 5.606 triliun.
Ketiga, realisasi penerimaan pajak tercatat hanya sebesar Rp 1.136,17 triliun atau sebesar 72,02 persen dari pagu dianggarkan dalam APBN yang sebesar Rp 1.577,56 triliun. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, realisasi pajak tersebut turun sebesar 0,04 persen.
Keempat, dana desa yang menjadi salah satu program Presiden Jokowi yang dinilai paling berhasil ternyata mengalami masalah yang cukup besar. Pasalnya, dari realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) yang mencapai Rp 752,8 triliun atau 91,06 persen dari pagu alokasi di APBN 2019, sepertiganya atau sekitar Rp 250,9 triliun ternyata mengendap di rekening simpanan daerah. Artinya, distribusi dana tersebut sejatinya berjalan tidak efektif.
Kembali pada pernyataan Said Didu terkait janji kampanye Jokowi yang disebut tidak rasional, suka atau tidak, pernyataan tegas tersebut sepertinya memang merupakan suatu kebenaran.
Tol laut misalnya, pada Juni 2019 lalu, Komisi V DPR RI menyoroti program ini karena selama lima tahun diberikan subsidi, justru hanya untuk membiayai pelayaran kapal kosong ketika kembali ke Jakarta dari sentra produksi di sejumlah wilayah.
Lalu, terkait pembangunan infrastruktur, diketahui telah membuat peningkatan utang signifikan bagi BUMN.
Menggapi hal tersebut, Ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal menyatakan bahwa bengkaknya utang BUMN adalah hasil akhir dari dilema pemerintah. Pasalnya, pemerintah memiliki keterbatasan fiskal untuk membangun infrastruktur, sehingga harus menggunakan perusahaan pelat merah sebagai perpanjangan tangan.
Menurutnya, jika pembangunan infrastruktur tidak dialihkan ke BUMN, pemerintah harus menyisihkan sekitar 40 persen APBN, di mana itu mustahil untuk dilakukan karena APBN sudah diprioritaskan untuk banyak pengeluaran lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan.
Apa yang Terjadi?
Atas berbagai data yang terlihat, ataupun terkait pernyataan Sri Mulyani yang menyebutkan dana program kartu pra-kerja sebenarnya belum diketahui ketika kampanye, apakah kita dapat menarik kesimpulan bahwa Presiden Jokowi akan “mengingkari” janji-janji kampanyenya?
Terkait pertanyaan tersebut, menarik untuk melihat pendapat Jacob Hillesheim dalam tulisannya Do Political Candidates Just Tell Us What We Want to Hear?
Di sini, Hillesheim mengutip temuan dari lembaga cek fakta asal Amerika Serikat (AS), Polifact yang menyebutkan bahwa asumsi yang menyebutkan calon presiden hanya memberikan janji terkait apa yang mau didengar oleh pemilih, sepertinya keliru. Demikianpun dengan asumsi bahwa ketika presiden telah terpilih, maka mereka melakukan apapun yang diiinginkannya.
Dalam temuan Polifact, Presiden Barack Obama dan Presiden Donald Trump misalnya, sama-sama berusaha untuk memenuhi janji kampanye, di mana Obama disebut memenuhi sekitar 70 persen dan Trump sekitar 55 persen masing-masing janji kampanye mereka. Tegas Hillesheim, presiden bukannya tidak mau memenuhi semua janji kampanyenya, namun kapabilitas presiden untuk memenuhi itu dibatasi oleh berbagai hal.
Merujuk pada Hillesheim, kita mungkin dapat menyimpulkan bahwa Presiden Jokowi memang tengah berusaha untuk memenuhi janji-janji kampanyenya, kendati disebut oleh berbagai pihak, seperti Said Didu, sebagai janji yang tidak rasional.
Konteks janji yang tidak rasional ini sebenarnya dapat kita pahami melalui temuan psikologi empiris yang disebut dengan survivorship bias. Itu adalah salah satu bias kognitif manusia, di mana terjadi tendensi psikologis yang membuat seseorang terlalu tinggi menaksir kesuksesannya.
Artinya, boleh jadi Presiden Jokowi sebenarnya mengetahui kondisi ekonomi yang sebenarnya memang terbatas, seperti pernyataan Sandiaga Uno. Namun, karena adanya bias kognitif tersebut, kesadaran akan kurangnya kemampuan fiskal tersebut ditutupi oleh harapan akan terwujudnya kesuksesan program yang dijanjikan.
Kondisi telah terjadinya survivorship bias, nampak jelas dengan berulang kalinya Presiden Jokowi menekankan akan pentingnya optimisme, misalnya ketika menanggapi narasi pesimisme yang dibawa oleh kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ketika masa kampanye Pilpres 2019 lalu. Pun begitu ketika Jokowi menyampaikan visi misinya ketika kampanye yang menyebutkan tengah menawarkan optimisme.
Apa yang diungkapkan oleh Sri Mulyani bahwa dana program-program Jokowi sejatinya belum diketahui, itu dengan jelas menunjukkan bahwa Presiden Jokowi begitu yakin dana atas program yang dijanjikan mestilah akan didapatkan. Sekali lagi, ini adalah survivorship bias.
Pada akhirnya, dalam menyikapi pernyataan Sri Mulyani yang menyebut dirinya “sakit perut” akan janji-janji kampanye Presiden Jokowi, secara tidak langsung itu mungkin adalah pengakuan bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini telah berada di “lampu kuning”.
Atas hal tersebut, Presiden Jokowi nampaknya harus sadar dari semangat optimismenya akan realita ekonomi yang tengah terjadi. Saran tersebut bukan bermaksud untuk menyodorkan proposal pesimisme, melainkan agar mantan Wali Kota Solo tersebut menetapkan program-program yang proporsional, sehingga tidak memberatkan perekonomian negara. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.