HomeNalar PolitikSquid Game, Benarkah Politik Hobbesian?

Squid Game, Benarkah Politik Hobbesian?

Squid Game tengah menjadi series Netflix yang paling banyak ditonton saat ini. Tidak hanya dinikmati, kajian dari berbagai sudut pandang, termasuk dari politik juga turut dilakukan. Banyak yang menyebut Squid Game menunjukkan gambaran state of nature dari Thomas Hobbes. Benarkah series ini menunjukkan politik Hobbesian?


PinterPolitik.com

Persegi lingkaran segitiga. Bagi mereka yang sudah menonton series Netflix yang berjudul Squid Game pasti paham maksud ketiga bentuk tersebut. Berawal dari tamparan mas-mas sales – yang diperankan Gong Yoo, Seong Gi Hun yang nantinya mendapatkan nomor 456 menjadi tertantang untuk terus bermain ddakji.

Entah berapa kali ditampar sampai pipinya memerah, Gi Hun akhirnya dapat membalik ddakji milik mas-mas sales. Ia pun mendapat uang 100 ribu won yang dibawanya pulang dengan riang gembira.

Well, singkat cerita Gi Hun dan 455 orang lainnya menjadi peserta permainan yang diselenggarakan oleh orang-orang kaya kebanyakan duit. “Hidup tidak begitu menyenangkan bagi orang yang memiliki kelebihan uang,” ungkap peserta nomor 001 yang ternyata merupakan dalang dari permainan maut  tersebut.

Sepanjang permainan kita menyaksikan berbagai kekejian, keegoisan, dan pembunuhan untuk mengejar hadiah uang senilai 45,6 miliar won atau sekitar Rp 547,9 miliar rupiah. Tidak heran kemudian Squid Game disebut seperti pacuan kuda. Orang-orang malang dengan hutang menggunung tengah menjadi kuda-kuda untuk ditonton oleh orang super kaya. Siapa yang melaju sampai garis finish, akan diberi imbalan kumpulan uang sebanyak celengan babi raksasa.

Baca Juga: Larang Cadar, Menag Fachrul Hobbesian?

Atas masifnya keegoisan yang diperlihatkan dalam Squid Game, berbagai kajian menggunakan teori-teori sosial-politik terlihat dilakukan berbagai pihak. Yang paling umum digunakan adalah teori politik dari filsuf Thomas Hobbes.

Kendati merupakan filsuf klasik dengan teori yang sudah berusia 370 tahun – diambil dari tahun terbit buku Leviathan, penjelasan Hobbes soal state of nature atau kondisi alamiah manusia masih menjadi teori paling umum untuk dirujuk. Homo homini lupus. Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.

Well, berbicara soal Squid Game yang penuh dengan keegoisan dan perilaku saling terkam, tepatkah mengatakan series asal Korea Selatan tersebut menggambarkan teori politik Hobbes?

Politik Hobbesian?

Dari berbagai unggahan analisis yang penulis himpun, misalnya dari puspenpol (Pusat Penerangan Politik), setidaknya ada tiga variabel kunci yang digunakan untuk menyimpulkan Squid Game menggambarkan teori politik Thomas Hobbes, yakni state of nature, kontrak sosial (social contract), dan konsep negara.

Pertama, state of nature. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, konteks tersebut tergambar dalam setiap alir permainan, di mana para pemain menerkam pemain lainnya. Jang Deok Soo sang pemain nomor 101, misalnya, ia merupakan representasi kekejaman, pengkhianatan, dan manusia tidak berperasaan.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Berbagai pemain dikhianati dan dibunuhnya. Yang paling diingat mungkin adalah pengkhianatan terhadap Han Minyeo. Setelah berjanji tidak akan meninggalkan, Deok Soo dengan mudah dan tanpa penyesalan meninggalkannya di permainan tarik tambang.

Kedua, kontrak sosial. Para pemain membuat kontrak atau tepatnya perjanjian dengan penyelenggara permainan. Ada tiga pasal yang ditandangani sebelum memulai permainan. Pasal 1 pemain tidak diperbolehkan berhenti bermain. Pasal 2 pemain yang menolak bermain akan dieliminasi. Pasal 3 permainan dapat dihentikan jika mayoritas setuju.

Kontrak secara tidak langsung juga dilakukan dengan penyelenggara permainan, si orang-orang kaya bertopeng emas. Jika berhasil menyelesaikan enam permainan maut yang disediakan, pemain akan mendapatkan uang senilai 45,6 miliar won atau sekitar Rp 547,9 miliar rupiah.

Baca Juga: Mudah Membaca Logika Kekuasaan Jokowi

Ketiga, konsep negara. Negara besar otoriter yang disebut Leviathan terlihat dari penyelenggara permainan. Mereka melakukan kontrol dan menakuti para pemain. Baik yang bertopeng lingkaran, segitiga ataupun persegi, benar-benar dengan mudah membunuh para pemain yang gagal menyelesaikan permainan.

Para peserta juga patuh karena terjadi asimetri kekuasaan dan kekuatan. Para penyelenggara memiliki senjata bertimah panas. Mau tidak mau, para peserta hanya dapat mengikuti arahan dan perintah dari Leviathan bertopeng tersebut.

Bagi mereka yang membaca ketiga variabel analisis tersebut, mungkin akan langsung setuju bahwa Squid Game merepresentasikan teori politik Thomas Hobbes. Khususnya homo homini lupus, para peserta benar-benar berlaku kejam untuk mendapatkan sumber daya (hadiah uang).

Namun, penulis melihat terdapat berbagai poin yang membuat Squid Game sebenarnya kurang tepat dilihat menggunakan kacamata Hobbesian.

Sejatinya Berbeda

Untuk sampai ke kesimpulan tersebut, kita dapat menguji ketiga variabel yang disebut merepresentasikan teori politik Hobbes.

Pertama, state of nature. Jika kita cermati, tidak semua peserta menunjukkan sikap kejam, egois, dan bengis seperti Jang Deok Soo, sang pemain nomor 101. Gi Hun sang pemain nomor 456, misalnya, ia bahkan tidak menggunakan hadiah 45,6 miliar won yang didapatkannya.

Gi Hun juga melarang seseorang yang mendapatkan kartu nama Squid Game di episode terkahir series. Ia juga batal naik pesawat ke Amerika Serikat (AS) untuk menemui putrinya.

Kedua, kontrak sosial. Squid Game pada dasarnya tidak menunjukkan penjelasan Hobbes soal kontrak sosial. Dalam penjelasan Hobbes, kontrak sosial dibuat masyarakat dengan negara atau otoritas dengan cara memberikan kebebasan atau haknya secara penuh.

Nah, berbeda dengan Squid Game yang tidak menjaga para peserta setelah meneken perjanjian, dalam kontrak sosial, negara berkewajiban untuk menjaga kehidupan masyarakat yang telah memberikan kebebasan atau haknya.

Ketiga, konsep negara. Kendati Leviathan adalah gambaran kekuasaan otoriter, ia bukanlah monster yang membunuh masyarakat. Perlu diketahui, Hobbes membayangkan Leviathan karena bertolak dari pengalaman hidupnya yang menyaksikan perang saudara. Agar kejadian serupa tidak terulang, ia membayangkan negara otoriter agar kekejian seperti itu tidak terulang.

Baca juga :  The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Menguji State of Nature Hobbes

Sekarang kita ke bagian yang paling menarik. Fenomena lumrahnya Squid Game dibaca menggunakan teori politik Hobbes pada dasarnya merupakan kesalahan dalam memahami state of nature Hobbes. Sebagai kutipan, frasa homo homini lupus jelas merupakan frasa yang menarik. Berbagai pengalaman hidup yang sering kali tidak adil dapat dengan mudah kita rujuk ke frasa tersebut.

Namun pertanyaannya, apakah homo homini lupus benar-benar eksis?

Bailey D. Villarreal dalam tulisannya A Critique of Hobbes’s State of Nature menyebut homo homini lupus pada dasarnya bukanlah state of nature dalam artian riil. Ini bukanlah penegasan bahwa manusia memang sejatinya egois dan mengejar keegoisan tersebut. Homo homini lupus digunakan Hobbes sebagai asumsi teoretis untuk mendukung Leviathan, negara otoriter yang dinilainya dapat menjaga kehidupan masyarakat.

Baca Juga: Diplomasi Vaksin AS-Tiongkok, Sebuah Mitos?

Mengutip Piirimae dalam The Explanation of Conflict in Hobbes’s Leviathan, pencarian kejayaan seperti kekuasaan yang disebutkan Hobbes, bukanlah imbas dari hasrat alami manusia atas penaklukan, melainkan sebagai konsekuensi praktis untuk mempertahankan diri dalam situasi anarki yang mengancam hidup. Ini disebut kemuliaan demi pertahanan diri.

Selain itu, dalam temuan-temuan psikologi terbaru, perdebatan state of nature terkait apakah sejatinya manusia jahat atau baik pada dasarnya sudah tidak relevan. Dalam temuan yang ada, kondisi psike manusia tidak lah baku atau tetap, melainkan cair dan dinamis.

Di satu waktu kita dapat menjadi begitu egois dan kejam, tapi di waktu lain kita dapat menjadi baik dan dermawan. Kita tidak bisa memilah salah satu untuk menyebut manusia pasti kejam atau baik, karena kedua kondisi tersebut bersifat temporal dan dinamis.

Jika memaksakan memilih antara manusia baik atau jahat, kita akan terjebak dalam false dilemma atau dilema palsu. False dilemma adalah kekeliruan bernalar yang terjadi ketika kita merasa terdapat dua pilihan atau posisi yang harus dipilih salah satu, padahal keduanya dapat dipilih bersamaan.

Well, pada akhirnya mungkin kita perlu lebih teliti untuk mengatakan Squid Game merepresentasikan teori politik Hobbes. Selain itu, anggapan umum terkait homo homini lupus merupakan state of nature juga perlu mendapatkan perhatian serius.

Masalahnya, penerimaan secara mentah frasa tersebut berkonsekuensi pada berbagai pihak melihat manusia sebagai potential evil. Ini berimbas pada sulitnya terjadi kerja sama karena distrust meluas di tengah masyarakat. (R53)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...