HomeNalar PolitikSpiritual Capital, Senjata Rizieq?

Spiritual Capital, Senjata Rizieq?

Persaudaraan Alumni (PA) 212 dikabarkan lebih menunggu instruksi Ijtima Ulama, terutama Habib Rizieq Shihab, terkait demonstrasi Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini menunjukkan bahwa Rizieq memiliki kekuatan tersendiri bagi kelompok Islam di Indonesia.


PinterPolitik.com

“Yeah, man’s on the front line ‘cause man’s on his deen” – Travis Scott, penyanyi rap asal Amerika Serikat

Drama Pilpres 2019 tampaknya masih belum usai. Pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno memutuskan menambah napas gelaran tersebut dengan melakukan gugatan terkait dengan temuan kecurangan di Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Prabowo dan Sandi mengimbau para pendukungnya untuk tidak melakukan aksi dan tidak berbondong-bondong datang ke lembaga tersebut, seiring dengan kekhawatiran tentang kerusuhan seperti pada 22 Mei lalu. Paslon ini meminta para pendukungnya untuk mempercayai proses hukum yang berjalan hingga 28 Juni nanti.

Imbauan tersebut pun didengarkan oleh beberapa pendukungnya. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) misalnya, mengurungkan niatnya yang hendak mengerahkan massa ke MK. Pihaknya sepenuhnya mendukung dan mengikuti sikap Prabowo-Sandi.

Berbeda dengan KSPI, PA 212 memutuskan untuk lebih menunggu instruksi dari Ijtima Ulama, termasuk Habib Rizieq. Sekretaris Umum PA 212 Bernard Abdul Jabbar mengatakan bahwa pihaknya tetap akan menunggu instruksi ulama meskipun Prabowo dan Sandi telah memberikan imbauan tersebut.

Sikap PA 212 ini pun menimbulkan pertanyaan. Mengapa ulama masih begitu didengarkan meskipun Prabowo telah mengeluarkan imbauan tersebut? Mengapa sosok seperti Habib Rizieq memiliki pengaruh sekuat itu?

Modal Spiritual ala Bourdieuan

Sepanjang sejarah, tokoh-tokoh agama memang dianggap memiliki kekuatan dan pengaruh tersendiri di masyarakat. Bahkan, tokoh-tokoh agama pernah memiliki hak otoritas tertinggi di beberapa negara.

Pengaruh seorang tokoh agama ini bisa dijelaskan dengan teori praktik dari seorang sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu. Teori ini menekankan pada dinamika sosial yang dipenuhi oleh praktik-praktik sosial antara agen manusia dan strukturnya.

Bourdieu menjelaskan bahwa, layaknya sebuah aktivitas ekonomi, terdapat juga modal (capital) dalam praktik-praktik sosial. Sang sosiolog pun memunculkan konsep modal sosial dan modal kultural dalam teorinya.

Teori dan konsep-konsep milik Bourdieu ini bisa juga digunakan untuk menjelaskan fenomena-fenomena keagamaan. Bradford Verter pun menggunakan pendekatan Bourdieuan dalam tulisannya yang berjudul Spiritual Capital.

Verter menjelaskan bahwa, sebagai bentuk modal kultural ala Bourdieu, modal spiritual memiliki tiga bentuk utama, yaitu bentuk modal yang telah dimiliki (embodied state), modal yang disalurkan dalam objek (objectified state), dan modal yang disalurkan dalam institusi (institutionalized state).

Konsep modal spiritual ini bisa diaplikasikan pada beberapa fenomena keagamaan yang pernah terjadi di masa lampau. Paus Innosensius III misalnya, yang dikenal sebagai salah satu paus yang pernah menjabat pada periode krusial dalam sejarah kepausan.

Paus Innosensius III dikenal dengan keputusannya yang pada April 1213 mengeluarkan Dekrit Kepausan Quaia Maior – berkaitan dengan Perang Salib kelima. Dekrit tersebut membawa perintah bagi umat Katholik Roma guna mengambilalih wilayah Tanah Suci – sekarang Palestina, Yordania, dan Israel – agar kembali berada di bawah kekuasaan Kristen.

Baca juga :  Prabowo Bangun Nuklir, Dibantu Siapa?
Dinamika sosial dipenuhi oleh praktik-praktik sosial antara agen manusia dan strukturnya Share on X

Panggilan Perang Salib kelima tersebut bisa jadi merupakan refleksi dari pemikiran Bourdieu. Bagi sang sosiolog, dimensi sosial juga disertai dengan arena kompetisi bagi parktik-praktik sosial, termasuk agama.

Sebagai seorang pemimpin kepausan, Innosensius III tentunya telah melalui proses institusional dengan terpilihnya dirinya pada tahun 1198. Sang paus juga menjalankan modal institusionalnya dengan mereformasi Kuria Roma – seperangkat lembaga administratif Tahta Suci – guna mengamankan kekuasaanya atas negara-negara Eropa.

Selain itu, jika mengacu pada konsep modal spiritual, penguasa kepausan pada saat itu menggunakan modal dalam bentuk objectified state. Menurut Thomas W. Smith dalam tulisannya yang berjudul “How to Craft a Crusade Call,” pihak kepausan secara hati-hati menulis dekrit Quaia Maior hingga menjadi ajakan yang persuasif – baik secara teologis maupun praktis – bagi umat Katholik Roma.

Bisa jadi, sang paus juga telah memiliki modal spiritual dalam bentuk embodied state yang mumpuni. Paus Innnosensius III dianggap telah membuat doktrin-doktrin kepausan yang kuat – seperti Dekrit Quaia Maior yang dibangun dengan argumen teologis yang kuat sehingga pendeta-pendeta lainnya sulit memodifikasi dekrit tersebut.

Buah pemikiran Bourdieuan ini juga dapat direfleksikan dalam fenomena kontemporer. Ashin Wirathu misalnya, merupakan salah satu sosok biksu kontroversial di balik meningkatnya kebencian pada kelompok minoritas Muslim di Myanmar.

Dengan pengetahuan agama Buddhanya, Wirathu membuat kelompok Muslim Myanmar dipersepsikan buruk oleh sebagian dari 90 persen mayoritas Buddhis di negara tersebut. Modal spiritual yang dimiliki Wirathu direfleksikannya pada modal objek berupa pesan ceramahnya yang banyak disebarkan di media sosial, seperti Facebook, YouTube, Twitter, dan VK.

Selain dua modal tersebut, Wirathu juga memiliki modal institusional yang disalurkannya melalui organisasi keagamaan. Sang biksu tersebut pernah menjadi pemimpin organisasi etno-nasionalis yang bernama Ma Ba Tha (Asosiasi Patriotik Myanmar).

Uniknya, Wirathu disebut-sebut memiliki kedekatan dengan militer Myanmar. Setelah negara tersebut mengalami transisi pemerintahan dari pemerintahan junta militer ke sipil pada tahun 2011, militer Myanmar dianggap berusaha mendekati kelompok biksu ultranasionalis yang populer guna menyebarkan propaganda pro-militer.

Signifikansi Habib Rizieq

Hampir sama dengan dua tokoh agama sebelumnya, modal-modal spiritual serupa juga digunakan oleh tokoh-tokoh agama dalam Islam. Modal-modal spiritual ini bisa jadi digunakan untuk kepentingan tertentu.

Penceramah Zakir Naik misalnya, merupakan salah satu ulama yang paling populer di dunia. Dengan ceramahnya yang banyak didengar melalui platform media sosial sebagai modal objeknya, Zakir memiliki banyak pengikut di berbagai belahan dunia Islam, termasuk Indonesia dan Malaysia.

Tentunya, pengaruh Zakir ini juga memiliki pengaruh terhadap dimensi politis. Menurut Tashny Sukumaran dalam tulisannya di South China Morning Post, keengganan Mahathir untuk mengekstradisi Zakir ke India merupakan bentuk upaya Dr M untuk menjaga perasaan konstituensinya yang mayoritas adalah kelompok muslim Melayu.

Selain Zakir, Asia Tenggara juga memiliki seorang ulama yang dianggap sangat berpengaruh di Indonesia, yaitu Ustaz Abdul Somad (UAS). Berdasarkan survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI Denny JA), UAS merupakan ulama yang paling berpengaruh di Indonesia.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Bisa jadi, pengaruh UAS yang kuat ini merupakan proyeksi dari modal-modal spiritualnya. Seperti yang dijelaskan oleh Heide Arbuckle-Gultom dan Rheinhard Sirait dalam sebuah tulisan di New Mandala, UAS merupakan penceramah terpopuler di media sosial Instagram.

Tentu, penggunaan media digital seperti Instagram bisa menjadi modal objek yang menjanjikan bagi UAS. Teknologi digital ini dapat melengkapi modal embodied yang telah dimilikinya – pernah menulis berbagai buku Islam. Selain itu, sebagai dosen di UIN Syarif Kasim, UAS bisa jadi memiliki modal institusional.

Dengan modal-modal ini, UAS – yang sempat dicalonkan sebagai bakal cawapres – memiliki pengaruh politik yang besar. Pertemuannya dengan Prabowo sebelum Pilpres lalu misalnya, disebut-sebut dapat mendorong swing voters yang konservatif.

Jika Zakir dan UAS memiliki pengaruh seluas itu, bagaimana dengan Habib Rizieq?

Rizieq – ulama berpengaruh kelima di Indonesia versi LSI – tentunya turut memiliki pengaruh yang besar dalam dinamika sosio-politik Indonesia. Dari sisi modal embodied misalnya, Rizieq memiliki gelar ‘Habib’ lekat dengan ulama-ulama Sayyid – keturunan dari Nabi Muhammad saw.

Selain itu, Rizieq memiliki pengetahuan Islam dari riwayat pendidikannya di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) – memiliki hubungan dengan orang-orang Arab Saudi – di Indonesia. Selain LIPIA, Rizieq juga pernah mengenyam pendidikan di King Saud University, Riyadh, Arab Saudi.

Dari modal embodied tersebut, Rizieq berupaya untuk memperoleh modal institusionalnya. Modal ini disalurkan dengan membentuk Front Pembela Islam (FPI) pada tahun 1998. Kini, hampir sama dengan UAS, Rizieq juga menggunakan media digital untuk menyampaikan ceramah dan kampanyenya.

Dengan modal-modal tersebut, bukan merupakan hal aneh apabila Rizieq menjadi panutan bagi kelompok Muslim Indonesia. Seperti yang dijelaskan oleh Zulkifli dari UIN Syarif Hidayatullah dalam tulisannya yang berjudul “The Ulama in Indonesia,” modal spiritual ini bisa berujung pada kekuatan simbolis ulama.

Kekuatan simbolis ini akan berdampak apabila para pengikutnya mendengarkan ajaran, perintah, dan fatwa yang dikeluarkan oleh sang ulama. Dari sini, Rizieq bisa jadi memiliki momentum yang berbeda dengan ulama-ulama lainnya.

Pasalnya, kekuatan simbolis Rizieq benar-benar terlihat akibat adanya momentum politik yang terjadi pada tahun 2016. Menurut Ahmad Syarif Syechbubakr, anggapan krisis umat Islam akibat kehadiran Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) membuat banyak Muslim Indonesia dari berbagai kelompok – seperti Majelis Rasulullah dan organisasi-organisasi mainstream seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah – berubah mendukung Rizieq dan FPI yang dianggap sebagai satu-satunya pihak yang berani menunjukkan pelawanan.

Mungkin, kombinasi modal-modal Rizieq dengan momentum politik inilah yang membuat sang pemimpin FPI memiliki pengaruh yang kuat. Efek dari kekuatan Rizieq inilah yang bisa saja membuat PA 212 lebih mendengarkannya dibandingkan Prabowo yang memang tidak memiliki modal spiritual sebesar sang Habib.

Jika memang benar begitu, lirik rapper Travis Scott di awal tulisan pun menjadi relevan. Rizieq mungkin saja menjadi memiliki pengaruh signifikan karena sang Habib tampak berada di garis terdepan dalam membela kepentingan kelompoknya. Entah apakah signifikansinya bisa bertahan dalam perpolitikan Indonesia di masa mendatang. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (A43)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?