Saling tuduh “sesat” terjadi antara Sri Mulyani dan Zulkifli Hasan. Pidato sang Ketua MPR tentang utang membuat kuping Sri memerah. Saling klaim data siapa yang paling benar, tanpa sadar sang Menkeu terjebak power structure Zulkifli. Keunggulan untuk oposisi, selamat datang Pilpres 2019.
PinterPolitik.com
“Persuasion is achieved by the speaker’s personal character when the speech is so spoken as to make us think him credible.”
:: Aristoteles (384-322 SM) ::
[dropcap]P[/dropcap]idato Ketua Umum PAN sekaligus Ketua MPR Zulkifli Hasan memang tidak semenggelegar kata-kata Bung Karno, tidak juga semenakjubkan pidato Winston Churchill. Nama terakhir adalah yang menyelamatkan 300 ribu tentara Inggris dari Dunkirk.
Namun, kata-kata Zulkifli yang terbungkus dalam tajuk “kekhawatiran akan ketidakwajaran” terkait cicilan utang pemerintah pada Sidang Tahunan MPR beberapa hari lalu menjadi pembuktian kekuatan pidato – speech power.
Pidato sebagai perwujudan formulasi kata-kata, menjadi media persuasi paling kuno sejak Socrates membela diri atas tuduhan “merusak” orang-orang muda Athena, hingga orasi Marcus Tullius Cicero di hadapan senat Roma sebagai upaya menyelamatkan negara dari pengkhianatan politik. Sekalipun kuno, pidato adalah media politik yang sangat efektif dan hal itu disadari oleh Zulkifli.
Maka, kata-katanya yang berisi “kritik” terhadap kebijakan utang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada akhirnya menunjukkan dimensi dari speech power tersebut. Tak terima dikritik, Menteri Keuangan Sri Mulyani menanggapinya dengan cukup keras, bahkan menyebut pidato Zulkifli sebagai aksi politis yang menyesatkan.
Pernyataan Zulkifli memang menyebutkan tentang cicilan utang pemerintah yang mencapai Rp 400 triliun untuk tahun 2018. Jumlah itu menurut besan Amien Rais ini sudah terlalu besar karena mencapai 7 kali lipat dana desa dan 6 kali lipat anggaran kesehatan, serta sudah di luar kemampuan bayar pemerintah. Ia menyebut kondisi ini di luar batas kewajaran.
Sri Mulyani menanggapi pernyataan Zulkifli dengan bahasa yang cenderung menohok. Tercatat dalam postingan di akun Facebooknya, Sri memaparkan 7 poin penjelasan yang dibuatnya.
Bu Ani – demikian ia sering disapa – menjelaskan secara panjang lebar terkait keadaan utang Indonesia dan bagaimana pemerintahan Presiden Jokowi telah berada dalam jalur yang benar untuk menyelesaikan kewajiban pembayaran utang tersebut dengan jumlah yang menurutnya tidak berbahaya untuk ekonomi Indonesia.
Ia juga menyinggung bahwa 44 persen utang yang saat ini harus dibayarkan oleh pemerintah adalah warisan masa lalu dari pemerintahan sebelumnya, yang mana Zulkifli menjadi salah satu menteri di dalamnya.
Akibatnya, bukan hanya Zulkifli yang sewot dan menyebut Sri Mulyani yang justru sesat, reaksi keras juga datang dari Partai Demokrat. Kepala Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum Partai Demokrat, Ferdinand Hutahahean menyebut Sri “meludah ke atas, namun kena muka sendiri” dan menyebut perbandingan yang disebut Sri tak apple to apple.
Semua orang pun saling bantah data ekonomi. Namun, yang mungkin terlewatkan untuk diperhatikan adalah kekuatan politik pidato Zulkifli sebagai Ketua MPR – dan bagian dari oposisi – yang nyatanya berhasil “menjebak” Sri Mulyani. Tentu pertanyaannya adalah seberapa besar dampaknya terhadap kontestasi politik di Pilpres 2019 nanti?
Zulkifli, The Power of Speech
Bahasa adalah salah satu alat persuasi paling kuno. Profesor Maya Khemlani David dari University of Malaya, Malaysia menyebut bahasa punya sifat yang ideologis – berhubungan dengan pandangan politik – ketika digunakan oleh seseorang untuk mengaktualisasikan kepentingannya.
Sementara Susana Murcia Bielsa dan Mick O’Donnell dalam tulisannya tentang kekuatan bahasa juga menyebutkan bahwa setidaknya ada dua hal yang menunjukkan kemampuan bahasa ketika digunakan, yakni dalam konteks diskursus publik dan dalam konteks komunikasi interpersonal.
Pada kasus pidato Zulkifli, jelas kekuatan bahasa yang terlihat adalah dalam diskursus publik. Dengan posisinya sebagai Ketua MPR, Zulkifli memperlihatkan apa yang oleh Bielsa dan O’Donnell disebut sebagai power structure atau struktur kekuasaan, apalagi pidato tersebut disaksikan oleh jutaan masyarakat Indonesia lewat siaran televisi.
Konteks pidato Zulkifli memang tidak dapat dipungkiri oleh banyak orang akan dinilai sebagai sikap politik personal atau partai yang ditampilkan dengan mengatasnamakan MPR sebagai lembaga tinggi negara. Namun, pidato Zulkifli tidak bisa juga dipandang sebagai sesuatu yang sepenuhnya “menyesatkan” – demikian kalau meminjam istilah Sri Mulyani.
Pasalnya, MPR memang punya tugas untuk menyampaikan kepada pemerintah apa yang menjadi kekhawatiran lembaga tersebut. Dalam postingan Instagramnya Zulkifli juga balik menyerang Sri Mulyani, dan menyebut data yang ia gunakan tidak mengada-ada dan berbasis pada Nota Keuangan 2018.
Zulkifli juga berhasil – setidaknya dalam postingan tersebut – menjelaskan bagaimana ia bisa menyebut pembayaran utang pemerintah saat ini telah berada di luar kewajaran. Pada titik ini, Zulkifli jelas telah memenangkan power structure, walaupun dalam kalkulasi jumlah utang yang ia sebut dalam pidatonya berbeda dengan kalkulasi di postingan Instagramnya yang menyebut besar utang itu 5,7 kali dana kesehatan dan 11 kali anggaran kesehatan.
Dalam konteks yang sama, di sisi yang bersebelahan, power structure juga bisa dilihat pada pidato Jokowi dalam acara yang sama yang menyebut indikator ekonomi saat ini telah berada pada jalur yang benar dan positif. Jokowi menyebut pertumbuhan ekonomi positif, inflasi terkendali, dan pemerataan kesejahteraan berjalan dengan baik.
Hal itu yang membuat oposisi melalui Wakil Ketua DPR Fadli Zon melontarkan kritik dan menyebut bahwa saat ini hal sebaliknyalah yang terjadi. Dalam konteks power structure, posisi Fadli sama dengan Sri Mulyani.
Baik pidato Zulkifli maupun Jokowi memang menjalankan fungsinya masing-masing sebagai pimpinan negara. Zulkifli di MPR dan Jokowi sebagai presiden. Walaupun demikian, keduanya masing-masing juga punya nuansa politik yang bisa ditafsirkan di belakangnya, apalagi dalam konteks jelang tahun politik yang sudah di depan mata.
Sri Mulyani Terjebak
Pidato Zulkifli menggambarkan masih saktinya penggunaan kata-kata dan pidato sebagai instrumen persuasi. Kata-kata yang tepat dan disampaikan pada saat yang tepat tentu saja akan membantu seseorang mencapai kepentingannya. Dalam konteks Pilpres 2019, ada intensi kritik kepada Jokowi yang menjadi lawan Prabowo Subianto – calon yang didukung Zulkifli dan partainya.
Hal ini serupa dengan apa yang terjadi pada Barack Obama. The Washington Post menyebut kisah sukses Obama hingga menjadi presiden kulit hitam pertama yang menduduki Gedung Putih tidak lepas dari speech power yang dimilikinya. Obama mampu mengaktualisasikan kepentingan politiknya lewat diskursus yang membentuk power structure dengan dirinya dan gagasan-gagasannya sebagai jawaban atas berbagai persoalan yang ada.
Suhair Safwat Mohammed Hashim dari University of Sulaimani, Irak dalam tulisannya di Journal of Modern Education Review juga menyebutkan bahwa keberhasilan pidato Zulkifli sebagai sebuah political speech tidak dinilai berdasarkan ketepatan fakta yang terkandung di dalamnya, tetapi diukur dari seberapa kuat argumentasi dibangun dan ditampilkan di hadapan publik.
Argumentasi Zulkifli tentang utang tentu saja punya kekuatan yang sangat besar, sekalipun mungkin dari sisi data tidak selengkap yang ditampilkan Sri Mulyani dalam pembelaannya. Apalagi, Zulkifli juga balik menyebut Sri Mulyani menyesatkan dengan argumen yang lagi-lagi punya kekuatan.
Pasca pidato Zulkifli, Sri Mulyani yang mencoba mencari pembenaran dengan menyebut utang saat ini adalah warisan masa lalu, justru terjebak dalam power structure Zulkifli. Pada akhirnya yang terlihat di hadapan publik adalah kematangan Zulkifli sebagai politisi, sementara Sri – pada titik ini – adalah teknokrat yang terjebak.
Zulkifli sukses memanfaatkan posisi politiknya sebagai Ketua MPR dengan kewenangan memberikan kritik kepada pemerintah, sementara Sri Mulyani terjebak dalam kritik politik tersebut, bahkan dalam konteks ini menjadi titik lemah Jokowi sebagai kepala pemerintah.
Pertanggungjawabannya yang mencari pembelaan dengan melempar isu utang tersebut ke pemerintahan sebelumnya juga menjadi bumerang, mengingat Bu Ani juga menjadi bagian dari pemerintahan itu di periode pertama kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Aktualisasi speech power ini tentu saja membuat isu utang menjadi komoditas politik yang panas, dan berpotensi akan semakin gencar digunakan untuk menyerang Jokowi. Keberhasilan Zulkifli sebagai politisi lewat pidatonya memang patut diacungi jempol. Jika kubu Jokowi tidak mampu menerapkan strategi politik yang tepat melawan isu tersebut, bukan tidak mungkin persoalan utang menjadi hal yang krusial di masa kampanye nanti.
Pada akhirnya, Zulkifli mungkin tidak sehebat Aleksander Agung saat membakar semangat prajurit-prajuritnya untuk menaklukan daratan Asia. Namun, kata-katanya punya kekuatan politik, sama dahsyatnya dengan pidato Demosthenes di era Yunani kuno, karena seperti kata Aristoteles di awal tulisan, posisi politik dan karakter orang yang menyampaikan pidato-lah yang membuat banyak orang mempercayainya. (S13)