Penolakan TKN terhadap gagasan sosialisasi visi misi secara langsung oleh kandidat Presiden dan wakilnya bisa jadi menunjukkan ada ketakutan dari pihak Jokowi, terutama dalam konteks performa dalam beretorika dibandingkan dengan Prabowo
PinterPolitik.com
[dropcap]V[/dropcap]isi misi merupakan aspek penting dalam pemilu karena merupakan nilai jual utama bagi para kandidat yang akan bertarung dalam sebuah pemilu. Visi misi juga menjadi penentu bagi para rational voters sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan pilihan politik.
Menjelang 3 bulan Pilpres 2019, isu visi misi mencuat kembali mewarnai pertarungan politik tanah air. Kali ini bukan mempersoalkan isi dari visi misi kedua kandidat, melainkan cara sosialisasi visi misi yang rencananya akan digelar oleh KPU pada tanggal 9 Januari mendatang.
Menjelang digelarnya debat Pilpres perdana, kubu oposisi menyarankan agar sosialisasi visi-misi para kandidat harus disampaikan secara langsung oleh kedua kandidat yang akan bertarung.
Gaya retorika Jokowi memang terkesan lebih halus Share on XPada sosialisasi pada 9 Januari nanti, tim Prabowo meminta pasangan calon di Pilpres datang langsung, tanpa diwakili oleh tim sukses dalam menjabarkan visi-misi.
Sementara itu, tim Jokowi memilih untuk mengirimkan tim sukses sebagai pihak yang akan menjelaskan visi misi kandidat.
Menururt jubir Badan Pemenangan Nasional (BPN), Habiburrohman, idealnya pasangan calon memaparkan langsung visi dan misi itu dengan dalih rakyat sebagai calon pemilih harus mendapatkan informasi secara langsung dari pihak yang berkepentingan, tentang rencana pengelolaan negara dalam lima tahun ke depan.
Namun hal tersebut tidak diamini oleh ketua KPU Arief Budiman yang mendukung pemaparan visi misi sebaiknya diwakili oleh kedua timses. Dengan alasan adanya kekhawatiran kandidat akan mencuri kesempatan kampanye di luar jadwal dan akan menimbulkan protes dari pihak Bawaslu dengan alasan para calon telah memiliki jadwal debat kandidat tersendiri.
Terlepas dari polemik tersebut, menarik untuk mengupas mengapa kubu oposisi terkesan ngotot ingin paslon yang menyampaikan secara langsung soal visi misi. Jika melihat usulan kubu Prabowo yang menginginkan sosialisasi visi misi langsung dari masing-masing kandidat, nampaknya terdapat tujuan politis yang sedang ingin dicapai. Mungkinkah ada agenda politik terselubung dibalik usulan ini?
Visi-Misi, Jantungnya Pemilu
Usulan kubu oposisi menyoal sosialisasi visi-misi langsung oleh pasangan calon yang akan bertarung bukan tanpa alasan. Visi misi, dalam konteks pemilu, memang merupakan jantung dari pemilu itu sendiri.
Visi misi atau yang lebih dikenal di negara lain sebagai campaign mission statement merupakan bagian dari political message yang pada kadar tertentu memang dimanfaatkan untuk berkampanye.
Dalam pemilu Amerika Serikat contohnya, campaign mission statement dapat menjadi salah satu instrumen kampanye kandidat presiden Hillary Clinton. Ia menggunakan campaign mission statement untuk semakin memperluas atensi dukungan publik.
KPU Sebut Sosialisasi Visi Misi Capres-Cawapres Bisa Batal. Ini sikap yg aneh dari @KPU_ID. Saat Rakyat pertanyakn visi,misi&program dari Capres&Cawapres, harusnya KPU selenggarakannya. Dan harusnya CapresCawapres mendukung juga,sbgmn sikap @prabowo sandi. https://t.co/4lRMjG5Abj
— Hidayat Nur Wahid (@hnurwahid) January 2, 2019
Dalam artikel berjudul Clinton Campaign Issues Mission Statement: ‘We Are Hillary For America’ yang dimuat di The Washington Post, visi misi Hillary dibeberkan secara luas pada bulan-bulan akhir menjelang pemilu dan bertujuan untuk memperkuat elektablitas istri mantan Presiden, Bill Clinton tersebut sebelum pemilihan berlangsung.
Dokumen yang ditulis oleh manajer kampanyenya, Robby Mook, tersebut disampaikan oleh Hillary dengan bahasa yang sederhana, yang dapat memberikan petunjuk tentang bagaimana ia akan berkontribusi terhadap Amerika dan merupakan strategi re-branding dirinya terhadap pemilih Amerika.
Walaupun pada akhirnya ia harus kalah dari sosok Donald Trump, visi misi ‘We Are Hillary For America’, mission statement tersebut diartikulaskan juga sebagai salah satu instrument kampanye dan menjadi salah satu strategi kampanye Hillary di waktu mendekati pemilu.
Dalam konteks tersebut, hal yang penting untuk di garis bawahi oleh para kandidat politik adalah untuk menegaskan kembali mission statement kepada publik secara luas menjelang masa-masa pilpres.
Sementara itu, dalam konteks politik Indonesia, meskipun visi misi kedua calon telah dirilis beberapa waktu yang lalu, kini yang dipersoalkan kubu oposisi menyoal pentingnya penyampaian visi misi kedua kandidat secara langsung tanpa harus diwakili oleh tim sukses.
Jika melihat kembali tren kampanye selama beberapa bulan terakhir yang minim adu gagasan serta visi misi dan lebih banyak diwarnai dengan saling serang serta perdebatan yang tidak berfaedah antara kedua kubu, maka usulan sosialisasi langsung visi misi ini berpotensi menjadi salah satu faktor penting.
Terkait usulan tersebut, mungkinkah kali ini BPN memang tengah menyasar kemampuan penyampaian visi-misi kedua kandidat? Lalu dengan sikap penolakan TKN terhadap usulan BPN tersebut, mungkinkah sebagai pertanda bahwa Jokowi memang tidak siap beradu retorika dengan Prabowo?
Adu Retorika
Debat kandidat memang masih akan berlangsung pada tanggal 17 Januari mendatang. Namun, beda pandangan antara kubu oposisi dan kubu petahana dalam menyampaikan secara langsung visi-misi seolah memancing adu retorika lebih awal antara kedua kandidat.
Hal ini penting mengingat bahwa kemampuan menyampaikan visi misi merupakan bagian dari kemampuan retorika yang pada kadar tertentu akan berpengaruh terhadap penilaian publik bagi kedua kandidat.
Sekali lagi kami tegaskan terkait dengan rencana KPU menggelar Sosialisasi Visi Misi di @KPU_ID karena ini visi misi Capres bukan Timses, maka kami meminta yg menyampaikan bukan Timses tapi langsung Capres/Cawapres.
— Dahnil A Simanjuntak (@Dahnilanzar) January 1, 2019
Dalam konteks kemampuan beretorika, Jika melihat kemampuan verbal antara Prabowo dan Jokowi memang cukup kontras. Sebagai sosok pemimpin yang dapat dibilang cukup “praktis”, selama ini Jokowi memang terkesan kurang memiliki kemampuan retorika yang baik dibandingkan Prabowo. Jokowi adalah sosok eksekutor bukan sosok orator.
Namun, retorika dan kemampuan verbal seorang politisi menjadi salah satu kunci dalam mempengaruhi pemilih. Hal ini diungapkan oleh John Kane dan Haig Patapan dalam tulisanya berjudul The Artless Art: Leadership and the Limits of Democratic Rhetoric, karena debat publik penting dalam demokrasi, dan karena pemimpin berkewajiban untuk memerintah rakyat yang berdaulat melalui pengaruh yang konstan, retorika adalah sesuatu yang benar-benar penting.
Sementara itu, dalam buku A Rhetoric of Motives, Kenneth Burke menjelaskan bahwa yang menjadi jantung dari retorika persuasif adalah bagaimana seorang pemimpin mampu memaksimalkan ucapan, gerakan, nada suara, sikap dan ide, untuk mempengaruhi audience.
Dalam konteks ini, Prabowo boleh dikatakan unggul dari sosok sang petahana karena secara verbal ia memiliki gestur yang lebih tegas . Meskipun kerap kali Prabowo melontarkan pidato-pidato nyeleneh dan mengundang kontroversi, namun ia memiliki kemampuan retorika yang terbilang cukup baik.
Seperti dilansir oleh Tempo, Juru bicara Partai Gerindra Heri Budianto bahkan menegaskan bahwa Prabowo tidak akan mengubah gaya bicaranya yang keras dalam kampanye. Sekalipun mantan Danjen Kopassus tersebut kerap sejajarkan dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump karena retorika dan gaya bicaranya. Namun kemampuan retorika Trump pun pada akhirnya dapat membawanya ke Gedung Putih.
Wahai tuan @KPU_ID , apakah kalian ingin menyelamatkan Jokowi Maaruf hingga hrs dibatalkan?
Pilpres itu memilih Capres dgn programnya, bkn memilih Tim Sukses dgn program capres.
Lagipula, kami tdk keberatan kalau visi misi Jokowi disampaikan timsesnya.https://t.co/gqWec5t5wo
— FERDINAND HUTAHAEAN (@Ferdinand_Haean) December 31, 2018
Bahkan jubir BPN, Dahnil Anzar menilai bahwa Prabowo memiliki kemampuan creative destruction dalam setiap pidatonya di mana sosok nya mampu menciptakan sesuatu yang dianggap destruction, namun jika bisa dijelaskan dengan baik, hal tersebut dapat menjadi sesuatu ya membangun. Dan tentunya menguntungkan Prabowo sendiri secara politik.
Sedangkan gaya pidato petahana selama ini terkesan sebaliknya. Jokowi memang tidak pernah dikenal sebagai sosok orator.Gaya retorika Jokowi memang terkesan lebih halus. Jokowi lebih sering menggunakan retorika santun meski terkadang bersikap menyerang.
Dalam konteks ini, Jokowi bisa saja memang tertinggal dari Prabowo. Merujuk pada William L. Benoit, diskursus kampanye bertumpu pada dua hal yaitu kebijakan dan karakter. Jika dari sisi konten visi-misi di antara keduanya tidak jauh berbeda, maka perbedaan dapat ditemui dari segi karakter.
Dalam kadar tertentu, dalam panggung debat, karakter Prabowo boleh jadi lebih kuat dengan retorikanya. Oleh karena itu, wajar jika kubu Jokowi lebih cenderung agar penyampaian visi misi disampaikan oleh tim sukses.
Terlepas dari apapun, debat pertama masih menyisakan beberapa hari. Jika pada akhirnya visi misi tetap dibacakan oleh kandidat, kedua kubu masih punya waktu untuk merancang strategi untuk beretorika di depan publik. Kita lihat saja apa yang akan keluar dari masing-masing keluar dari mulut kandidat di panggung debat nanti. (M39)