Publik kembali dibuat gaduh dengan persoalan sontoloyo. Satu buah kata tersebut digoreng sana-sini untuk kepentingan elektoral. Hal ini selain membuat gaduh, juga membuat demokrasi semakin mundur.
Pinterpolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]elalu saja ada bahan kampanye bagi para politisi. Bahkan melalui satu buah kata. Setelah kegaduhan Ratna Sarumpaet, kini timbul kegaduhan sontoloyo.
Lema yang diucapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada saat menghadiri pembagian 5000 sertifikat di Jakarta Selatan tersebut menjadi konsumsi publik.
Jokowi sebelumnya telah mengungkapkan soal alasan dirinya mengeluarkan istilah “politikus sontoloyo“. Jokowi mengaku kesal dengan kondisi perpolitikan nasional yang diwarnai oleh politik adu domba dan fitnah.
Karena kesal terhadap cara politik kotor itulah akhirnya Jokowi mengaku kelepasan mengeluarkan istilah tersebut. Dia sendiri menegaskan tidak pernah sebelumnya mengeluarkan istilah itu.
Bagi oposisi, ucapan yang dikeluarkan oleh sang presiden tidak patut, mengingat posisinya sebagai pemimpin negara. Hal itu dinilai menunjukkan tidak adanya kontrol diri dari mantan Wali Kota Solo tersebut. Di sisi lain, ucapan sarkastik tersebut juga tidak patut didengar oleh masyarakat.
Sontoloyo digoreng sana-sini demi kepentingan elektoral. Share on XSementara itu, bagi pihak koalisi pemerintah, ucapan Jokowi dianggap biasa saja karena mencerminkan apa yang disampaikan oleh Jokowi.
Terlepas dari alasan Jokowi mengucapkan itu, kata sontoloyo kini menjadi komoditas politik, isu ini menjadi liar dan digoreng sana-sini untuk kepentingan tertentu.
Memasuki tahun-tahun politik seperti saat ini penting untuk melihat sikap dan ucapan dari aktor-aktor politik. Celakanya, hal itu cenderung membuat kampanye politik tidak lagi diwarnai dengan kreatifitas atau kampanye positif lainnya.
Saat ini, kampanye negatif gandrung digunakan oleh politikus, alasannya karena lebih murah, tepat sasaran dengan menunjukkan kelemahan lawan, serta cukup digemari oleh publik.
Dengan demikian, bagaimana kita bisa memaknai sistem demokrasi di Indonesia? Terutama dalam konteks demokrasi elektoral?
Kampanye Negatif, Delegitimasi Citra Jokowi
Kampanye negatif yaitu upaya kandidat untuk membeberkan catatan-catatan negatif dari lawan politik ke hadapan publik. Strategi ini dilakukan untuk mendegradasi keyakinan publik terhadap kapasitas kompetitornya.
Strategi kampanye negatif hingga saat ini lazim digunakan karena terdapat persepsi bahwa strategi tersebut menjadi cara yang paling efektif untuk meningkatkan dukungan terhadap kandidat dan pada saat bersamaan mengurangi dukungan terhadap lawan politik.
Kampanye negatif berpotensi memicu panasnya dinamika politik dalam masa kampanye, karena pihak yang mendapatkan serangan kampanye negatif akan memberikan respons untuk menghindari kerusakan citra di mata pemilih.
Dinamika memanas ketika respons yang diberikan oleh kandidat, tim pemenangan, atau simpatisan dilakukan secara berlebihan yang dapat merusak suasana damai dalam masa kampanye.
Selain itu, kampanye negatif juga dapat mengganggu integritas pelaksanaan kampanye ketika kandidat, tim pemenangan, dan simpatisan menggunakan kampanye negatif mwnggunakan stratgei tersebut tanpa pertimbangan etis.
Oleh karena itu, pihak yang berkepentingan harus melakukan perencanaan yang matang dan eksekusi yang baik dalam penggunaan strategi kampanye negatif.
Hal ini terjadi pada konteks “politik sontoloyo” yang diucapkan oleh Jokowi. Kata yang bertendensi negatif – mengandung unsur makian – tersebut digunakan oleh pihak oposisi untuk menggembosi citra Jokowi yang selama ini dianggap santun.
Melalui narasi-narasi yang disampaikan oleh tim pemenangan Prabowo, seolah ingin dikatakan bahwa Jokowi adalah sosok yang kasar, tidak seperti apa yang selama ini dicitrakan. Tentu saja harapannya adalah agar masyarakat menilai hal tersebut sebagai sesuatu yang buruk dalam diri Jokowi dan dengan sendirinya akan menurunkan citra Jokowi.
Di lain pihak, hal ini mendapatkan sanggahan dari kubu Jokowi sehingga menimbulkan kegaduhan.
Meski kampanye negatif diperbolehkan, namun dalam praktiknya hal tersebut menimbulkan kegaduhan-kegaduhan yang merugikan dalam alam demokrasi. Seperti yang diteliti oleh Community Research and Development Information Service (CORDIS) terkait dengan Comparative study negative campaigning and its consequences (CSNCC), yang menyimpulkan bahwa kampanye negatif tidak menguntungkan bagi negara yang menganut sistem multi partai karena membuatnya rapuh atau tidak stabil.
Selain itu, dengan berkurangnya kepercayaan politik, dapat mempengaruhi kualitas terhadap demokrasi representatif. Persepsi atas kampanye negatif di waktu bersamaan melekat pada benak para konstituen terhadap kandidat politik.
Artinya, menggoreng isu dengan menyudutkan Jokowi dengan ucapan sontoloyonya tidak akan memberikan makna apa-apa terhadap iklim demokrasi di Indonesia, khususnya bagi publik. Tidak ada pendidikan politik yang bisa didapatkan dari narasi tersebut.
Kemudian, dikhawatirkan jika kampanye negatif digunakan dan diteruskan, akan mengarah kepada kampanye hitam seperti yang terjadi pada Pemilu 2014 silam. Sebabnya, tak semua masyarakat bisa membedakan mana kampanye negatif dan kampanye hitam.
Minim Gagasan, Dekadensi Demokrasi
Beberapa waktu lalu, V-Dem Institute, lembaga kajian di Departemen Ilmu Politik, Universitas Gothenberg menerbitkan dokumen berjudul “2018 Democracy Report”. Laporan tahunan ini membandingkan kemajuan tingkat demokrasi 178 negara/pemerintahan.
Indonesia termasuk dalam kelompok negara demokrasi elektoral dengan skor sebesar 0,48 dan peringkat ke-72 dari 178 negara/pemerintahan. Dalam demokrasi elektoral, ada banyak partai dan pemilu yang bebas, namun pengawasan terhadap pemerintah kurang efektif. Di antara negara-negara ASEAN yang dinilai, Indonesia menunjukkan kualitas demokrasi yang paling matang.
Jika dilihat melalui penelitian tersebut, Indonesia dikategorikan cukup baik, sebab institusi dan kehidupan bernegara berjalan cukup baik, namun belum bisa berbangga diri. Posisi Indonesia masih cukup jauh di bawah kelompok negara-negara demokrasi liberal.
Perihal tersebut berbanding terbalik dengan kondisi di lapangan. Seperti yang disebutkan oleh Peneliti dari lembaga Ilmu Politik Indonesia (LIPI) Siti Zuhro yang mengatakan indeks demokrasi Indonesia menurun akibat beberapa hal.
Yang pertama adalah kebebasan berpendapat sipil rendah karena masih banyaknya ancaman-ancaman yang digunakan pada tataran akar rumput. Kemudian angka partisipasi semu akibat hirau atau kepercayaan yang rendah masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara. Dan yang terakhir adalah lunturnya nilai-nilai intergitas.
Bisa dikatakan bahwa menurunnya indeks demokrasi yang berkaitan pada tiga hal tersebut dipengaruhi oleh aktor-aktor politik tanah air. Laku politik yang ditampilkan seperti kegaduhan-kegaduhan menyebabkan masyarakat enggan berpartisipasi aktif dan lain sebagainya.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Cristopher Achen dan Larry Bartels dalam Democracy for Realist: Why Election Do Not Produce Responsive Government yang menilai bahwa sistem demokrasi elektoral meninggalkan kecacatan.
Achen dan Bartels menyebutkan bahwa publik meskipun mendapat banyak informasi dan terlibat secara politik, kebanyakan memilih kandidat berdasarkan identitas sosial dan loyalitas partisan, bukan isu politik.
Keduanya juga menunjukkan bahwa pemilih menyesuaikan pandangan politik mereka dan bahkan persepsi mereka tentang hal-hal yang mendasar agar sesuai dengan loyalitas tersebut.
Nah, pandangan yang didapatkan publik ini seringkali akibat dari pembingkaian yang dilakukan oleh politikus. Dengan informasi-informasi bias dan tidak bermutu pada akhirnya membuat publik terjebak pada pilihan yang salah pula.
Terlebih, masih rendahnya literasi politik masyarakat Indonesia sulit membedakan mana kampanye-kampanye negatif atau kampanye hitam. Hal ini kemudian menyebabkan hoaks masih menjamur di berbagai lini.
Realitas seperti sekarang ini, seperti menggoreng isu sontoloyo di media-media akan membuat masyarakat tidak mendapatkan pendidikan politik dan dalam gilirannya hanya menimbulkan kegaduhan.
Padahal, yang diinginkan publik saat ini tidak hanya saling serang dan membalas. Tapi juga menghadirkan gagasan atas persolan yang dialami masyarakat.
Tidak adanya solusi yang ditawarkan atas pemrmasalahan-permasalahan yang lebih fundamental di ranah kampanye politik menjadi salah satu bukti bahwa sistem demokrasi saat ini menuju pada kemunduran atau dekadensi.
Siapa Diuntungkan?
Dari kegaduhan-kegaduhan tersebut, sebenarnya kedua kandidat bisa diuntungkan secara politik. Namun tergantung bagaimana masing-masing kandidat memainkan isu tersebut yang dikonsumsi oleh publik.
Dalam hal ini kubu Prabowo yang menyerang dan kubu Jokowi yang bertahan. Namun sepertinya dalam kadar tertentu kubu Prabowo lebih diunggulkan sebab lontaran sontoloyo bisa dibingkai sebagai blunder oleh Jokowi.
Apalagi, publik tahu bahwa selama ini Jokowi adalah sosok yang santun tanpa pernah menggunakan umpatan dalam pidatonya.
Terlepas dari itu semua, isu ini secara nilai sangat merugikan demokrasi. Sebab sudah banyak kegaduhan-kegaduhan serupa yang menghiasi diskursus publik.
Kondisi ini tak ubahnya seperti defisit pemikiran. Para kandidat tidak memiliki topangan pemikiran dan pengetahuan yang kuat. Keadaan ini lama-kelamaan bisa menempatkan negara ke tepi jurang.
Sebuah negara yang dibangun tanpa landasan kecerdasan dan pengetahuan ibarat seperti istana pasir. Oleh sebab itu, jika demokrasi dimaksudkan sebagai jalan kemaslahatan bangsa, maka jalan sesat demokrasi dengan cara berpikir memenangkan dengan segala cara dalam politik elektoral harus dihentikan dengan cara membangun cara-cara yang substantif. (A37)