Mantan Direktur Utama PLN Sofyan Basir akhirnya divonis bebas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Menariknya, setelah penetapan tersebut, pihak Istana melalui Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko memberikan keterangan bahwa tidak terdapat intervensi dari presiden ataupun pemerintah. Mengapa Istana harus menyempatkan diri memberi tanggapan terkait vonis Sofyan Basir? Bukankah vonis serupa juga pernah terjadi?
PinterPolitik.com
Setelah pertama kali ditetapkan sebagai tersangka kasus suap proyek PLTU Riau-1, terhitung tidak kurang dari enam bulan mantan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir telah menjalani persidangan.
Namun, akhir cerita persidangan ini getirnya tidak berpihak pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena Sofyan akhirnya divonis bebas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Jaksa penuntut dinilai gagal dalam membuktikan Sofyan telah memenuhi unsur perbantuan atau memberi kesempatan, sarana, dan keterangan kepada mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih dan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo dalam mendapatkan keinginan mereka mempercepat proses kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU Riau-1.
Kasus ini menjadi menarik bukan karena vonis bebas yang terjadi. Pasalnya, sebelumnya terdapat pula dua terdakwa kasus korupsi yang divonis bebas di pengadilan tingkat pertama, yaitu eks Wali Kota Bekasi Mochtar Muhammad dan eks Bupati Rokan Hulu, Riau, Suparman.
Apa yang membuat kasus ini menarik adalah karena tepat setelah penetapan vonis bebas tersebut, pihak Istana melalui Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menyempatkan diri memberi tanggapan. Moeldoko menyebut hukum harus bebas dari intervensi dan Presiden tidak melakukan intervensi hukum terkait kasus tersebut.
Ini tentu sangat menarik. Pasalnya, Istana tidak mungkin sembarangan dalam memberikan tanggapan terhadap suatu kasus. Pun juga dengan dua kasus kekalahan KPK lainnya, Istana terlihat tidak memberikan pernyataan serupa.
Atas hal ini, tentu memberi kecurigaan tersendiri apakah vonis bebas Sofyan lekat dengan nuansa politik atau tidak. Menimbang pada tanggapan Istana, tentu saja tanggapan tersebut tidak dikeluarkan apabila Istana tidak menangkap adanya kesan politis. Ibarat kata, tidak mungkin membahas sesuatu yang tidak ada.
Lantas pertanyaannya, apa makna di balik tanggapan Istana terkait vonis bebas Sofyan tersebut?
Defisit Kepercayaan Publik
Terkait putusan vonis bebas Sofyan, berbagai pihak sontak mulai melayangkan kritik bahkan serangan terhadap pemerintah. Misalnya saja peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana yang dengan keras menyebut vonis bebas tersebut adalah keputusan yang salah.
Menurut Kurnia, nama Sofyan telah sering disebut di persidangan terdakwa sebelumnya yang telah divonis bersalah – seperti mantan Menteri Sosial Idrus Marham dan mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni M. Saragih.
Bahkan, baginya vonis bebas ini adalah bentuk lain dari pelemahan KPK. Tidak hanya dengan melemahkan institusi KPK itu sendiri, melainkan juga dengan memberikan keringanan hukuman ataupun pembebasan dalam persidangan.
Pernyataan tendensius Kurnia terbilang sangat beralasan. Sebagaimana diketahui, telah terjadi narasi untuk melemahkan KPK melalui revisi Undang-Undang (UU) KPK yang telah disahkan.
Narasi ini kemudian semakin diperkuat dengan gestur penolakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengeluarkan Perppu KPK di tengah berbagai kritik ataupun penolakan terhadap revisi UU tersebut.
Atas dasar ini, sebenarnya cukup dipahami bahwa pemerintah sedang mengalami defisit kepercayaan dari masyarakat terkait penindakan terhadap tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa.
Sebelum revisi UU KPK resmi disahkan, pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes telah jauh-jauh hari menilai bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Jokowi berpotensi turun drastis bila menyetujui revisi UU tersebut.
Bak gayung bersambut, selepas pengesahan revisi UU KPK, terjadi gelombang aksi demonstransi mahasiswa terbesar dalam dua dekade terakhir. Ribuan mahasiswa dari berbagai daerah melakukan aksi serempak yang salah satu tuntutannya untuk menolak revisi UU KPK.
Tidak hanya itu, sampai saat ini, aksi-aksi massa juga masih terjadi agar Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu yang membatalkan revisi UU KPK.
Defisit kepercayaan ini sebenarnya tidak terjadi semata-mata karena revisi UU KPK, melainkan merupakan buah dari kekecewaan yang telah menumpuk.
Misalnya saja pada vonis pembebasan mantan Wali Kota Bekasi Mochtar Muhammad di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung lalu. Vonis bebas tersebut terbilang sangat mencurigakan karena menurut keterangan Jaksa KPK pada saat itu, terdapat 42 saksi dan 320 dokumen yang disita secara sah oleh penyidik KPK, di mana semuanya tidak dipertimbangkan.
Setelah diusut, ternyata salah satu majelis hakim yang mengadili Mochtar, yaitu Ramlan Comel pernah menjadi tersangka kasus korupsi saat berada di Pekanbaru, Riau. Febri Diansyah yang saat itu masih berada di ICW menegaskan bahwa Ramlan seharusnya tidak lolos seleksi hakim ad hoc Pengadilan Tipikor.
Atas kasus Mochtar, Sofyan Basir, terlebih lagi dengan revisi UU KPK yang telah terjadi, tidak mengherankan jika masyarakat benar-benar mengalami defisit kepercayaan terhadap pemerintah mengenai komitmen untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Untuk Tujuan Ekonomi?
Melihat pada tensi publik yang masih tinggi karena adanya narasi pelemahan KPK, ini menjadi sangat beralasan bagi Istana untuk memberi pernyataan bahwa tidak terdapat intervensi pemerintah dalam vonis bebas Sofyan.
Pernyataan Moeldoko tersebut terbilang penting karena diutarakan saat kecurigaan masyarakat bahwa pemerintah tengah berusaha melemahkan KPK, kecurigaan bahwa vonis bebas Sofyan adalah hasil dari pelemahan tersebut menjadi tidak terhindarkan.
Merujuk pada tulisan D. Belanche Gracia dan L.V. Casaló Ariño, pemerintah membutuhkan kepercayaan dan kolaborasi dari masyarakat untuk menjamin keberhasilan inisiatif publik atau kebijakan publik.
Kepercayaan publik ini menjadi penting karena ini adalah faktor yang meningkatkan hubungan antara masyarakat dan administrasi publik dalam jangka panjang.
Oleh karenanya, menimbang hal ini, perlu adanya kebutuhan pemerintah untuk menginvestasikan sumber daya ataupun waktu untuk memulihkan tingkat kepercayaan di tengah masyarakat.
Lantas pertanyaannya, apakah tanggapan Moeldoko atas vonis bebas Sofyan tersebut hanya semata-mata untuk menepis narasi negatif atau tudingan bahwa itu adalah bentuk pelemahan KPK semata?
Melihat pada konteks yang lebih luas, motif pernyataan Moeldoko tersebut tidak hanya untuk menepis tudingan tersebut. Hal ini misalnya terlihat dari pernyataannya yang menyebut dibutuhkan kepastian hukum agar investasi dapat ditingkatkan.
Dengan kata lain, sebagaimana yang menjadi tujuan dari diperolehnya kepercayaan publik, bahwa pernyataan Moeldoko tersebut besar kemungkinan dimaksudkan agar tensi publik dapat menurun agar iklim investasi atau pembangunan ekonomi dapat stabil demi berhasilnya kebijakan publik yang sedang diambil.
Seperti yang diketahui, selama periode pertama kepemimpinannya, Presiden Jokowi memang memfokuskan diri untuk membangun perekonomian, khususnya melalui pembangunan infrastruktur.
James Guild, dalam tulisannya yang dimuat di New Mandala, menyebutkan bahwa Presiden Jokowi percaya bahwa ia secara material telah meningkatkan kehidupan masyarakat Indonesia dengan berfokus pada pembangunan infrastruktur sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi.
Lanjut Guild, di masa jabatan keduanya, Presiden Jokowi sepertinya berencana untuk menggandakan fokus pada pertumbuhan yang dirasa telah terjadi ini. Oleh karenanya, pembangunan infrastruktur, berinvestasi dalam sumber daya manusia, dan mendorong investasi swasta dalam skala besar adalah hal yang akan dilakukan.
Pada akhirnya, dugaan bahwa vonis bebas Sofyan punya nuansa politis di dalamnya tetap tidak bisa dihindarkan. Bagaimanapun juga politik selalu punya kaitan dengan hukum dan penegakannya.
Walaupun demikian, dugaan tersebut memang tetap harus bisa dibuktikan. Yang jelas, kasus ini memang menjadi indiktor pelemahan terhadap kerja KPK menjamin tegaknya hukum. (R53)
Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.