Perselisihan Soekarno versus Soeharto belum berakhir. Terdapat kohesi sosial yang mempengaruhi bangunan kelompok keduanya. Jika ketokohan Megawati dan Probowo adalah representasi kedua tokoh tersebut, apa yang terjadi pada 2024? Mungkinkah terdapat kompromi? Ataukah perselisihan tetap berlangsung?
Para penonton anime atau pembaca manga pasti tidak asing dengan kisah Naruto karya Masashi Kishimoto. Alur utama cerita berfokus pada Naruto, anak yatim-piatu yang dalam dirinya bersemayam Kyuubi (monster rubah ekor sembilan), yang ingin mewujudkan mimpinya menjadi Hokage (pemimpin desa) Konoha.
Dalam cerita Naruto, terdapat plot konflik klan yang menarik atensi banyak penggemar, yaitu pertarungan abadi klan Senju versus klan Uchiha, lebih spesifik pertarungan Hashirama Senju dengan Madara Uchiha. Pertarungan keduanya, adalah simbol reinkarnasi dari Indra dan Asura yang sudah ditakdirkan untuk menjadi rival bahkan sejak mereka dilahirkan.
Konfik klan seperti dalam cerita Naruto, rupanya ada dalam konteks politik Indonesia. Seolah lumrah dalam imajinasi kita untuk mengatakan ada pertarungan simbol ketokohan Soekarno versus Soeharto, dalam perebutan kekuasaan di Indonesia. Meskipun, seringkali pada beberapa kontestasi kedua “klan” bisa berkoalisi, dan pada kontestasi yang lain mereka berhadapan menjadi musuh satu sama lain.
Baca Juga: Mengapa Megawati “Kultuskan” Soekarno?
Dalam geneologi politik Indonesia, paska kemerdekaan 1945, bangsa ini dipimpin oleh Presiden Soekarno dengan rezim Orde Lama-nya. Tragedi 1965, mengawali fase baru kepemimpinan Presiden Soehato yang berkuasa kurang lebih 32 tahun, yang jamak kita kenal sebagai rezim Orde Baru.
Layaknya pertarungan Madara versus Hashirama di Valley of the End, era reformasi, seolah menjadi simbol berakhirnya pertarungan antara Soekarno dan Soeharto dalam konteks politik Indonesia. Namun perlu dikoreksi, pertarungan keduanya belum berakhir, hadirnya Megawati Soekarnoputri dalam politik Indonesia, paska kepemimpinan dua presiden, Habibie dan Abdurahmad Wahid (Gus Dur), menandakan bahwa “klan” Soekarno masih eksis dalam kanca politik.
Sering dihindari, tapi tak bisa dipungkiri bahwa stigma Prabowo Subianto, putra Soemitro Djojohadikusumo, begawan ekonomi yang sangat dihormati, adalah representasi “klan” Soeharto. Alasannya, Prabowo pernah menjadi menantu Soeharto, dan dalam perhelatan politik yang dijalani Prabowo, kerap mendapat dukungan dari Tutut, Titiek, dan Tommy Soeharto, anak-anak Soeharto.
Mega-Prabowo, Hubungan Politik Dinamis
Hubungan Mega sebagai representasi Soekarno dengan Prabowo representasi Soeharto mengalami pasang surut. Ada kalanya, hubungan dua tokoh ini harmonis dan juga kadang merenggang seiring dengan posisi politik masing-masing.
Keduanya sangat akrab pada tahun 2009 karena maju sebagai capres dan cawapres kala itu. Duet Mega-Prabowo juga mengingatkan akan perjanjian Batu Tulis. Naskah yang dirumuskan di Batu Tulis, Bogor, itu berisi kesepakatan dua pihak, yakni Mega dan Prabowo. Dalam kesepakatan ini Prabowo meminta agar diberi keleluasaan mengatur ekonomi Indonesia dan menunjuk 10 orang menteri terkait. Sementara itu, Mega menyatakan akan mendukung pencapresan Prabowo pada Pilpres 2014.
Namun janji tinggal janji, pada 2014 peta politik berubah. Mega tak mendukung Prabowo, malah mengusung Jokowi maju di Pilpres 2014. Akibatnya, hubungan Mega dengan Prabowo tampak merenggang.
Kerenggangan yang melahirkan cleavage (belahan) sosial politik terlihat pada dua pilpres, yaitu Pilpres 2014 dan 2019. Kontestasi politik pada dua pilpres ini, bukan hanya menciptakan dua tokoh dengan posisi berbeda, melainkan melahirkan pula dua kelompok dalam masyarakat yang bersitegang.
Sebut saja, kelompok yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) pada Pilpres 2014. Kemudian kelompok cebong versus kampret yang mengalami perseteruan pada Pilpres 2019.
Beberapa pengamat politik menilai perseteruan ini menggambarkan pertentangan dua representasi tokoh yang telah dijelaskan di atas, yaitu representasi Soekarno versus representasi Soeharto. Kelompok-kelompok ini menyiratkan terbentuknya kohesi sosial yang kuat di dalamnya, dengan memperlihatkan dukungan mereka kepada tokoh tertentu.
Baca Juga: Prabowo Dikhianati PDIP Lagi?
Bisma Putra Sampurna, dalam tulisannya Memahami Konsep Kohesi Sosial, menjelaskan mengenai konsep kohesi sosial awalnya berasal dari tesis Emile Durkheim. Menurutnya terdapat solidaritas mekanik yang diindikasikan dengan adanya aktor yang kuat dalam masyarakat, lalu terdapat solidaritas organik yang diindikasikan dengan saling bergantungnya individu, sehingga akan terbentuk suatu kohesi sosial dengan sendirinya.
Dalam konsep kohesi sosial, keterikatan kelompok terbentuk dengan sendirinya dan bukan hasil dari pemahaman untuk mencapai kohesi sosial. Hal ini didasari oleh persamaan nilai, dan rasa memiliki, persamaan tantangan dan kesempatan yang setara dalam mengartikulasikan harapan dan kepercayaan. Pengertian atau definisi yang terakhir didasari oleh kemampuan untuk bekerja bersama dalam suatu entitas yang akan menghasilkan kohesi sosial.
Selain terbentuknya kohesi sosial, terdapat pula fenomena bias in and out group yang menciptakan konflik. Kedua kelompok saling mendukung dan saling bertentangan pada dua pilpres tersebut.
Sosiolog sekaligus antropolog, William Graham Sumner, dalam penjelasannya mengenai klasifikasi kelompok sosial, melihat terdapat fenomena bias in and out group. Dalam hal ini sikap-sikap in group pada umumnya didasarkan pada faktor simpati dan selalu memiliki perasaan dekat dengan anggota-anggota kelompok. Adapun sikap-sikap out group ditandai dengan antagonisme antipati.
Kedua konsep ini menjelaskan secara ilmiah lahirnya perseteruan antar kelompok yang mengikat diri dalam kelompok dan mempunyai sikap permusuhan terhadap kelompok lainnya. Tapi perlu diingat, dalam politik tidak ada kawan sejati dan tidak ada musuh abadi, semua hal dapat berubah dalam dinamika politik. Lantas, apakah perseteruan ini terjadi di 2024? Atau kedua kubu berada di satu gerbong yang sama?
Dilema Berduet Kembali
Paska Pilpres 2019, konflik dua kelompok mulai mereda, indikasinya terlihat saat masuknya Prabowo dalam kabinet Jokowi sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Hubungan Mega dan Prabowo mulai membaik, bahkan muncul wacana untuk menduetkan kembali keduanya.
Direktur Pro Mega Center, Mochtar Mohammad, mengatakan duet Mega-Prabowo merupakan kesuksesan yang tertunda.
Senada dengan pernyataan Mochtar, Adi Prayitno, Direktur Parameter Politik, mengatakan duet Mega-Prabowo punya kans besar terulang kembali pada 2024. Ada sejumlah alasan mengapa duet ini dapat terulang kembali.
Pertama, sampai saat ini tak satu pun parpol koalisi pemerintah yang berani vulgar melawan dominasi PDIP, yang belakangan didukung penuh Gerindra. Itu artinya, Mega dan Prabowo sangat mungkin bisa mendikte koalisi partai menuju 2024. Kalau Mega-Prabowo berhendak, duet ini bakal terwujud.
Kedua, sejumlah nama versi survei, seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, dan tokoh lain tak punya partai untuk maju. Duet Mega-Prabowo akan jadi duet maut karena keduanya cukup solid sejauh ini, dan tentunya punya kendali dalam pengambilan keputusan partai politik yang mereka pimpin.
Namun, wacana menduetkan kembali Mega-Prabowo akan menimbulkan kesan krisis figur muda yang dapat mengurus bangsa. Untuk menyiasati krisis figur muda dalam pilpres mendatang, muncul alternatif lain, untuk menduetkan dua kekuatan politik ini. Yaitu, mencoba menyodorkan duet antara Prabowo dan Puan Maharani. Selain merepresentasikan figur perempuan muda, faktor Puan sebagai pewaris Soekarno, sejauh ini menjadi kalkulasi politik dalam menjalin duet Prabowo-Puan.
Pengamat Politik yang juga Direktur Lembaga Survei dan Polling Indonesia (SPIN), Igor Digantara, mengatakan duet Prabowo-Puan paling mungkin diwujudkan dan dinilai cocok karena faktor usia (tua dan muda), jenis kelamin (laki-laki – perempuan), dan juga latar belakang sipil-militer.
Bisa jadi, tercipta perjanjian Batu Tulis jilid dua. Skenarionya, PDIP akan menjadikan Puan sebagai cawapres, tentunya mendukung Prabowo sebagai capres. Kemudian, pada Pilpres 2029, Gerinda gantian yang akan mendukung pencalonan Puan sebagai capres.
Baca Juga: Prabowo-Puan Lebih Realistis?
Meski bisa saja terjadi, tapi jangan dilupakan bahwa ada peristiwa Batu Tulis jilid satu yang tidak terlaksana dan menjadi sebuah wanprestasi bagi pihak Mega. Pada Batu Tulis jilid satu, Prabowo akan diusung PDIP sebagai capres 2014 sebagai kompensasi dukungan Prabowo menjadi cawapres Mega pada Pilpres 2009. Hal ini tak terlaksana akibat dukungan Mega terhadap Jokowi pada Pilpres 2014.
Endah Murniaseh dalam tulisannya Wanprestasi: Pengertian, Bentuk, Penyebab, dan Dampak Hukumnya, menjelaskan wanprestasi adalah istilah untuk tindakan salah satu pihak yang terikat di suatu perjanjian, tetapi tidak melakukan kewajibannya sesuai dengan perjanjian awal. Kata wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, wanprestatie yang berarti tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di suatu perikatan, yang dilahirkan dari suatu perjanjian.
Sejatinya, wanprestasi adalah istilah hukum, tapi juga dapat digunakan untuk melihat psikologis tokoh politik dalam mengambil keputusan. Jika kita lihat dari sisi wanprestasi, maka kemungkinan bersatunya dua klan politik antara Soekarno dan klan Soeharto bisa saja pupus. Ataukah Prabowo tidak memperhitungkan variabel wanprestasi dalam kalkulasi politiknya? Masih ada waktu sampai 2024 untuk melihat dinamika politik yang selalu berubah. (I76)