RUU Terorisme akhirnya akan segera disahkan, mengapa hanya untuk membahas definisi terorisme membutuhkan waktu hingga dua tahun?
PinterPolitik.com
“Keinginan yang dalam kerap datang dari kebencian yang mematikan.” ~ Socrates
[dropcap]S[/dropcap]eiring meredanya ancaman teroris di tanah air, belakangan di media sosial mulai bermunculan pengakuan masyarakat yang menyatakan pernah dibujuk maupun berusaha direkrut oleh kelompok-kelompok Islam radikal. Dari pengakuan mereka, terkuak kalau kelompok tersebut merupakan jaringan Negara Islam Indonesia (NII).
Begitu juga dari wawancara Najwa Shihab dengan Umar Patek yang videonya diunggah Rabu (23/5) lalu, pelaku Bom Bali satu tersebut mengatakan kalau pelaku Bom Surabaya lalu merupakan teroris yang mempercayai paham takfiri yang umumnya dianut oleh kaum khawarij yang dibawa oleh ISIS.
Rumor yang menyatakan kalau ISIS berupaya memindahkan perjuangannya ke Nusantara memang sempat beredar, fakta ini juga diakui oleh Kapolri Tito Karnavian. Jaringan ISIS di negara ini, yaitu Jama’ah Ansharut Daulah (JAD) merupakan jaringan asal para pelaku bom bunuh diri di Surabaya.
Berdasarkan riset Robert Pape dari University of Chicago yang dirangkum dalam buku Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terorism, ditemukan kalau gerakan teroris ini sebenarnya hanyalah mengatasnamakan fundamentalis agama semata. Sebab menurutnya, di belakang gerakan tersebut akan selalu ada kepentingan kapital global.
Walau pelakunya orang lokal, namun mereka hanyalah alat bagi kelompok jaringan trans-nasional. Menggunakan paham takfiri yang mengkafirkan dan menghalalkan kematian orang yang tak sejalan dengannya, kebencian pun dibentuk. Seperti yang telah dikatakan Socrates, kebencian pada akhirnya mampu menimbulkan keinginan yang mendalam – termasuk keinginan untuk bunuh diri.
Aktifnya kantung-kantung teroris ini, membuat Kapolri mendesak agar RUU Terorisme segera disahkan. Berkat tekanan dari masyarakat, akhirnya DPR bersama Pemerintah rencananya akan segera mengesahkan menjadi UU, Jumat (25/5) besok. Namun, mengapa harus menunggu dua tahun hanya untuk membahas definisi terorisme saja?
Definisi dan Terorisme
“Awal kebijaksanaan adalah pendefinisian istilah.” ~ Socrates
Ketika para filsuf Yunani berkumpul membicarakan sesuatu, siapakah kira-kira yang akan mampu memenangkan perdebatan di antara mereka? Menurut Gordon H. Clark, dalam bukunya The Works of Gordon Haddon Clark Vol.5, kemungkinan besar yang akan mampu membuat semua orang terdiam adalah Plato dan juga gurunya, Socrates.
Saat memutuskan untuk berbicara tentang suatu topik, terang Gordon, baik Plato maupun Socrates sangat diuntungkan karena memahami apa yang hendak dibicarakan. Ini terlihat dari bagaimana keduanya mampu membuat lawan bicaranya bingung, karena tidak paham apa yang mereka bicarakan.
Sebut saja Protagoras yang kebingungan mengungkapkan virtue (kebaikan moral), atau Euthypro yang tak mampu mendefinisikan kesalehan, begitu juga Lache yang walaupun memiliki pangkat Jenderal Angkatan Bersenjata – tidak mampu menjelaskan pengertian keberanian. Bahkan filsuf senior lainnya, gagal menguraikan misteri tentang gerak.
Seperti apa yang dikatakan Socrates di atas, awal kebijaksanaan adalah mendefinisikan istilah. Bagi suami dari Xantippe ini, definisi merupakan hasil pemikiran kritis yang ia dapat dari hasil tanya jawab dengan orang-orang yang dijumpainya. Pemikiran ini, kemudian ia simpulkan menjadi pengertian melalui metode induksi dan definisi.
Bagi filsuf yang tidak meninggalkan karya tulis apapun ini, definisi merupakan sebentuk pengertian yang berlaku umum dan menjadi prinsip atau dasar penyusunan regulatif. Dengan begitu, hasil dari definisi tersebut tidak lagi berlaku subyektif dan dapat digunakan oleh semua orang, selama-lamanya.
Namun seiring zaman, berbagai definisi pun mulai bertebaran. Setiap pakar dapat menghasilkan pemikiran berbeda, dan sayangnya bersifat subyektif. Dalam kasus ini, definisi terorisme salah satunya. Menurut Schmid dan Jongnam diperkirakan ada 109 definisi terorisme dengan 22 elemen yang berbeda, namun Walter Laqueur mengatakan ada 100 definisi terorisme dengan dua elemen yang sama, yaitu kekerasan dan teror.
Menurut Dosen HAM dan Viktimologi Fakultas Hukum UI, Heru Susetyo, PhD, terorisme memang merupakan terminologi subyektif yang penuh pertentangan. Namun sejauh ini, ia belum melihat adanya definisi yang universal mengenai terorisme. Perbedaan definisi ini, pada akhirnya berakibat pada persepsi pembuat hukum, penentu kebijakan, dan penegakan hukum terhadap terorisme di masing-masing negara.
Padahal, bagi Heru, terorisme berbeda dari kejahatan berat lainnya, sebab sering melibatkan fanatisme dan ideologi tertentu, sehingga sulit diprediksi. Ia juga menilai, masih banyak negara yang masih enggan menjerat terorisme negara (state terrorism), dan lebih membatasi pada aktor-aktor non negara (non state actors) saja.
DPR dan Pemerintah Tidak Kompak?
“Lebih baik mengubah pendapat daripada bertahan pada opini yang salah.” ~ Socrates
Sebagai negara adidaya yang kerap menyebut dirinya “penjaga dunia” serta punya pengalaman dalam menghadapi dan memberantas terorisme, Amerika Serikat juga mengalami kesulitan dalam menentukan definisi terorisme. Terbukti saat ini Federal Bureau of Investigation (FBI), Central Intelligence Agency (CIA), maupun Security Advisor belum memiliki definisi baku mengenai terorisme.
Menurut Heru, keberadaan definisi terorisme yang disepakati bersama sangat diperlukan, sehingga dapat berlaku umum bagi Polri maupun TNI saat bertindak. Hanya saja, akan lebih baik bila sebenarnya definisi tersebut dibuat bersama antara Pemerintah dengan DPR sehingga hasilnya dapat disetujui bersama.
Apalagi menurut Socrates, dalam membuat definisi dibutuhkan pemikiran kritis, termasuk didalamnya dialog dan tanya jawab, agar mampu menghasilkan kesimpulan obyektif. Merumuskan definisi secara bersama-sama, tentu akan menghasilkan definisi yang dapat diterima semua pihak. Apalagi karena sebelumnya, Pemerintah sudah enggan mengajukan definisi, karena dianggap hanya akan membatasi ruang gerak TNI Polri.
Jadi tak heran bila RUU Terorisme menjadi terkatung-katung, selain membuat definisi bukan hal yang dapat dilakukan secara cepat, juga karena beberapa definisi yang diajukan Pemerintah pun kerap ditolak Panitia Kerja (Panja), karena definisi tersebut berasal dari unsur Polri, TNI, Kementerian Pertahanan, Kementerian Koordinator Politik Hukum, dan Hak Asasi Manusia, termasuk dari Panja sendiri.
Akibat kurangnya kebersamaan antara Pemerintah dan DPR inilah – bisa jadi karena adanya tarik menarik kepentingan dan ego politik – yang membuat pengesahan RUU menjadi begitu lama. Bahkan setelah Pemerintah mengajukan dua definisi pun, masih ada perdebatan tentang perlu tidaknya penambahan motif dalam definisi tersebut.
Walau sempat menolak usulan tersebut, namun akhirnya Pemerintah dan DPR secara sepakat memutuskan untuk memasukkan motif terorisme ke dalam definisi. Pernyataan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan akan pentingnya menambahkan motif agar TNI Polri tidak asal tangkap, juga disetujui oleh Earl Conteh-Morgan.
Peneliti dari University of South Florida ini, dalam bukunya Collective Political Violence menyatakan kalau ada banyak motif yang dapat memproduksi terorisme. Sehingga memang perlu batasan-batasan yang jelas untuk membedakan perlakuan antara terorisme dengan tindak kekerasan, terutama karena penindakannya tak hanya dilakukan oleh Polri, tapi juga melibatkan militer.
Keputusan yang pada akhirnya dapat diterima oleh semua pihak ini, pada akhirnya tentu menguntungkan semua pihak. Seperti juga yang dikatakan oleh Socrates, akan lebih baik bagi semua pihak untuk bersedia mengubah pendapatnya demi kelancaran dan kepentingan bangsa, daripada bertahan pada pendiriannya sendiri yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. (R24)