Site icon PinterPolitik.com

Soal Yerusalem, Indonesia Satu Suara

Ribut soal politik, kini semua punya suara senada soal Yerusalem dan Palestina. Mengapa bisa?


PinterPolitik.com 

[dropcap]P[/dropcap]ernyataan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengenai Yerusalem yang dikeluarkan pada Rabu (6/12/2017) lalu, masih hangat dan ramai dibicarakan sampai hari ini. Selain mendapat semburan kritik dari negerinya sendiri, laki-laki sepuh berusia 71 tahun tersebut juga dikecam beberapa pemimpin dari negara lain.

Bagaimana tidak dikecam? Presiden yang memang terkenal karena kontroversi dan gemar blunder ini, terang-terangan menyatakan dukungannya terhadap Israel dengan berencana mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Padahal, kota Yerusalem yang menjadi ‘jantung’ konflik Israel dan Palestina, sekaligus rumah bagi tiga agama sekaligus, yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi itu, sedang menjadi rebutan dari pihak Palestina dan Israel.

Donald Trump (sumber: BBC)

Mengeluarkan pernyataan memihak seperti itu, wajar saja bila dianggap menghambat proses perdamaian yang sudah alot dan masih berlangsung. Sebaliknya, cocot Trump bisa berpotensi membuat keadaan makin runyam, bahkan tak menutup kemungkinan kembali menelurkan perang tak berkesudahan.

Nah, saat membicarakan Palestina VS Israel, Indonesia dipastikan tak pernah absen. Sama halnya seperti pemimpin dari negara lain seperti Jerman yang diwakili Angela Markel, Presiden Recep Tayyip Erdogan dari Turki, dan bahkan Inggris dengan Theresa May, Indonesia melalui Presiden Joko Widodo, turut mengecam rencana dan pernyataan Trump tersebut.

Dalam kesempatan jumpa pers di Bogor, Kamis (14/12/2017), Presiden Jokowi secara khusus menyampaikan kecamannya atas pernyataan Trump. Beliau berkata jika pengakuan sepihak tersebut melanggar berbagai resolusi Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB, di mana Amerika Serikat jadi anggota tetapnya.

Sebagai pamungkas, Presiden Jokowi berkata jika ia dan rakyat Indonesia tetap konsisten bersama rakyat Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan dan haknya sesuai UUD 1945. Tak hanya itu, sang presiden juga mendorong Organsasi Kerjasama Islam (OKI) segara melakukan sidang khusus atas pengakuan tersebut. “Saya akan datang langsung ke sidang OKI bahas Yerusalem,” tukasnya.

Indonesia Punya Suara Senada

Kecaman dari Presiden Jokowi itu, diamini, didukung, dan diikuti oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Tak terkecuali oleh para ‘pembelotnya’ atau pihak yang kerap terang-terangan memunggungi Presiden. Contoh terdekatnya adalah politisi yang aktif di twitter, siapa lagi kalau bukan Fadli Zon.

Fadli Zon di hadapan layar (sumber:istimewa)

Politisi yang juga gemar selfie bersama tokoh-tokoh dunia itu berkata jika pernyataan Trump sangatlah provokatif dan dapat merusak upaya perdamaian yang sedang berjalan antara Palestina dan Israel. “Saya mengecam keras atas kebijakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang mengumumkan pengakuan AS terhadap Yerusalem sebagai ibukota Israel,” cuitnya.

Walau sempat dibalas netizen dengan foto selfie-nya bersama Trump, bagaimana pun Fadli secara tersirat punya suara senada dengan Presiden Jokowi. Padahal selama ini, Fadli diketahui gemar ‘mengkritik’ aktivitas dan kegiatan Presiden Jokowi, seperti kebiasaannya membagi-bagikan hadiah, menyindir soal penurunan daya beli, hingga dianggap melindungi Ahok karena berada semobil dengannya saat meninjau proyek simpang susun Semanggi. Namun soal Yerusalem dan Palestina, Fadli berada satu suara dengan Presiden Jokowi.

Tak hanya Fadli, bahkan Partai Keadilan Sosial (PKS) yang sudah mantap menasbihkan diri sebagai oposisi sang Presiden, bahkan hingga tahun 2019 mendatang, juga seirama dengan Presiden Jokowi. Ketua Fraksi PKS, Jazuli Juwaini bahkan berkata bahwa pemerintah Indonesia selama ini selalu terdepan dalam mendukung upaya mewujdukan Palestina merdeka.

Selanjutnya, kelompok yang dikenal dan disinyalir acap reaktif dengan kebijakan pemerintah, yaitu Front Pembela Islam (FPI), tak ketinggalan berada dalam satu shaf soal pernyataan Trump. Ketua Umum FPI dan Sekretaris Umum FPI, Ahmad Shobri Lubis dan Munarman bahkan punya tuntutan panjang yang diharapkan oleh FPI untuk dikabulkan oleh pemerintah, salah satunya adalah mengusir duta besar AS dari Indonesia. Lebih jauh lagi, FPI bahkan mengajak masyarakat ramai-ramai turun ke jalan alias demo ke Kantor Kedutaan Besar AS dan Konsulat AS untuk menyatakan kecamannya.

Dukungan masif dan senada yang datang dari Pemerintah Indonesia, para pejabat, serta sebagian besar masyarakatnya, memang mudah terlihat saat berhadapan dengan isu Palestina VS Israel. Tak hanya untuk isu Palestina saja, saat berhadapan dengan isu Suriah dan Rohingya, Indonesia bisa dikatakan, sebagian besar masyarakatnya, berada dalam satu wadah, untuk mengutuk dan mendukung korban yang menjadi tumbal peperangan.

Indonesia pada Oktober lalu, mengirimkan bantuan kepada pengungsi Rohingya melalui pesawat Hercules A 1316. Di dalamnya, bantuan kemanusiaan seperti makanan tambahan untuk balita dan ibu hamil, paket makanan siap saji, tenda, tangki air, sarung, dan obat-obatan tersedia. Langkah mulia yang diambil pemerintah itu, sempat ternoda karena tiba-tiba saja Prabowo Subianto berkomentar jika bantuan pemerintah itu adalah pencitraan.

Untuk pernyataan Prabowo, PKS turut menimpalinya dengan melakukan diplomasi, bukannya memberi bantuan logistik. “Kalau pemerintah mau masuk ke inti masalah, revisi Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 1982 (UU Myanmar) yang di situ dari 37 suku di Myanmar tidak ada suku Rohingya sehingga dia stateless. Ketika stateless, adalah genosida atau pembersihan etnis,” imbuh Mardani, Ketua DPP PKS.

Dengan demikian, baru pada isu Palestina VS Israel sajalah, semua pihak bisa berada satu barisan dan satu suara, untuk mendaraskan empati dan kecamannya. Jika meletakan isu Rohingya, sebab terdapat perbedaan pendapat di sana, dan beralih pada isu Palestina VS Israel, mengapa keberadaan isu tersebut sangat mampu menyatukan dua kubu yang berlawanan sekalipun? Lebijh jauh lagi, sampai mampu mendorong gerakan mandiri dari masyarakat dalam bentuk demo maupun donasi?

Karena Kesamaan Agama?

Beberapa aksi solidaritas marak dilakukan beberapa kelompok masyarakat di Indonesia sejak tahun 2012 lalu. Tak hanya itu, beberapa netizen asal Indonesia juga terlihat menyerang kolom komentar Instagram Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel, dengan ucapan “Allah pasti membalasmu” tulis @teedtoot, hingga “Pembunuh kejam. Matilah segeraaaa,” tulis akun @zudinrevolusi. Tak hanya berawal dari tahun 2012 saja, sejak era Bung Karno pun sebetulnya dukungan Indonesia terhadap Palestina sudah ada

Sebagai negara dengan pemeluk Islam terbanyak, bukanlah sebuah kemustahilan jika solidaritas yang ditampakkan sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor ‘emosional’ tersebut, yaitu agama Islam. Padahal, konflik yang terjadi antara Palestina dan Israel tak bisa hanya direduksi dengan sebutan konflik agama saja. Selain permasalahan perebutan tanah.

Yerusalem, rumah bagi tiga agama, Kristen, Islam, dan Yahudi (sumber: BBC)

Israel menduduki wilayah Yerusalem dalam perang sejak 1967. Mereka menganggap Yerusalem sebagai ibukota yang tak dapat dibagi. Sementara Palestina juga menganggap Yerusalem sebagai ibukota masa depan mereka. Tak tanggung-tanggung, hal itu bahkan sudah dirincikan dalam tahap akhir perundingan damai Israel – Palestina 1993. Nah, jika sudah begitu, sulit mewujudkan perdamaian hanya dengan mengandalkan ‘win win solution’ sebab kedua belah pihak berpikir bahwa “lawan haruslah ditumpas habis dan hak kita harus direbut”, tak lupa bubuhkan “atas nama Tuhan” di belakangnya.

Seperti yang disampaikan oleh Al Jazeera dan The Guardian juga, konflik yang terjadi di Yerusalem sebagai “jantung” perebutan antara Palestina dan Israel, memang memakai agama sebagai bahan bakar kebencian. Masalah pelik, rumit, dan kompleks, yang sudah berlarut-larut terjadi sejak ribuan tahun lalu, sudah mendarah daging dan diturunkan dari generasi ke generasi oleh kelompok yang berseteru, yakni Palestina dan Israel.

Maka, menurut Rachel Shabi, jurnalis sekaligus penulis Not the Enemy: Israel’s Jews from Arab Lands berkata jika penting untuk menyadari bahwa posisi Palestina saat ini memang kesepian tak ada teman. Lihat saja negara-negara Timur Tengah yang ada di sekitarnya, sibuk pada kenikmatan dan kenyamanan sendiri daripada membantu perjuangan Palestina.

Rachel menyebut, misalnya Arab Saudi, yang tinggal berdekatan dengan Palestina tapi menjadi sekutu akrab Amerika Serikat, yang jelas-jelas membekingi Israel. Tak ketinggalan Turki, yang juga menjalin kerja sama diplomatik cukup apik dengan Israel.

Dengan demikian, konflik yang terjadi antara Palestina dengan Israel, layak dipahami sebagai bentuk penindasan yang terjadi antar manusia dengan manusia. Tak bisa direduksi hanya soal agama, apalagi ilusi soal perang akhir zaman. (Berbagai Sumber/A27)

Exit mobile version