Di acara Desak Anies, calon presiden (capres) nomor urut satu, Anies Baswedan, menjawab pertanyaan Kemal Palevi soal komunitas LGBT di Indonesia. Jawaban Anies dinilai masih abu-abu. Mengapa demikian?
“Tell me you love me in private” – Lil Nas X, “MONTERO (Call Me By Your Name)” (2021)
Topik satu ini memang tidak ada habisnya. Pembicaraan soal topik ini memang selalu berujung panas dan melibatkan adu argumen yang tidak ada selesainya di Indonesia.
Topik apa lagi kalau bukan topik terkait komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender, dan lain-lain (LGBT)? Jawaban-jawaban pro-kontra selalu menghiasi diskursus publik.
Setelah beberapa waktu usai musim kampanye dimulai pada akhir November 2023 lalu, topik ini akhirnya kembali terangkat dalam diskursus publik. Komedian bernama Kemal Palevi mengangkat isu ini dalam acara Desak Anies yang digelar di Menteng, Jakarta, pada Jumat, 22 Desember 2023.
Di acara itu, Kemal bertanya, “Sikap Pak Anies terhadap LGBT bakal gimana, Pak?” Anies-pun menjawab, “Kita bukan negara sekuler. Tapi juga kita bukan negara berdasarkan satu agama.”
Anies melanjutkan dengan mengatakan bahwa warga negara yang merupakan komunitas LGBT juga berhak atas perlakuan yang sama dalam beberapa hal – seperti hak untuk mendapatkan kerja.
Namun, Anies juga menjelaskan bahwa negara tidak bisa memenuhi sejumlah hak untuk komunitas LGBT. Salah satu yang disebutkan adalah hak pernikahan – yang mana dalam hukum Indonesia diatur berdasarkan agama sejalan dengan sila pertama Pancasila.
Pernyataan Anies ini bisa dibilang menarik karena tidak menolak keberadaan komunitas LGBT di Indonesia secara langsung. Apa yang ditolak Anies adalah hak-hak tertentu yang tidak bisa diwujudkan karena Pancasila.
Bagi sebagian orang, mungkin, ini jawaban yang abu-abu – yakni tidak menolak maupun menerima. Namun, jawaban Anies bisa saja dianggap berdasar – tanpa melibatkan sentimen anti- atau pro-.
Mengapa demikian? Mungkinkah ada siasat tertentu di balik jawaban Anies terkait pertanyaan LGBT dari Kemal?
Anies Tetap Liberal?
Apa yang dijelaskan oleh Anies sebenarnya berkaitan erat dengan pemisahan urusan publik (public) dan urusan pribadi (private). Dua hal inilah yang kerap menjadi salah satu prinsip liberal.
Pemisahan publik dan privat ini sebenarnya juga sudah lahir sejak berabad-abad yang lalu. Di era Romawi Kuno, sekitar tahun 211-222 M, ahli hukum bernama Ulpianus membedakan hukum publik dan hukum privat dalam catatan Kaisar Yustianianus I.
Hukum publik lebih mengatur tata cara yang berkaitan dengan pendirian negara Romawi. Sementara, hukum privat lebih menekankan pada urusan individual yang tidak menyangkut orang banyak.
Pemisahan hukum publik dan privat inilah yang akhirnya diyakini oleh liberalisme – menekankan pada hak-hak individu yang harus dilindungi. Mengacu ke tulisan Morton J. Horwitz yang berjudul History of the Public/Private Distinction, pemisahan publik dan privat ini didasarkan pada konsep natural rights (hak asasi/kodrati) dari John Locke.
Apa saja bentuk-bentuk hak asasi itu? Bagi Locke, hak-hak itu adalah hak untuk memperoleh keadilan, hak untuk kebebasan, dan hak hidup layak. Sementara, ada juga hak legal (legal rights) yang diatur oleh negara.
Pembagian inipun berlaku dalam hukum Indonesia. Mengacu ke C.S.T. Kansil dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum, hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan negara dengan warganya. Sementara, hukum privat mengatur hubungan perorangan.
Ini mengapa akhirnya Anies tetap menekankan bahwa ada hak-hak asasi yang perlu dilindungi meskipun individu merupakan bagian dari komunitas LGBT – seperti hak hidup, hak pendidikan, dan seterusnya.
Namun, ada batasan ketika hak itu berbicara pada hubungan negara dengan individu LGBT tersebut – misal dalam pemenuhan hak kependudukan seperti pernikahan – karena negara mengatur pernikahan yang didasarkan pada nilai agama seperti tertuang pada Undang-Undang (UU) No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Bukan tidak mungkin, pada akhirnya, Anies tetap menekankan pada nilai-nilai liberal – yang mana tidak mengancam hak-hak dasar individu LGBT yang diakui negara.
Mengapa Anies berpendapat demikian? Bukankah Anies telah menandatangani pakta integritas Ijtima Ulama yang di dalamnya mengandung poin bahwa Anies dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) harus “menjaga masyarakat dari rongrongan gaya hidup serta paham-paham merusak” seperti “LGBTQ+”?
Anies Perlu Tetap Liberal?
Penjelasan Anies dalam jawabannya terhadap Kemal sebenarnya beralasan. Pasalnya, Anies disebut-sebut secara personal meyakini pandangan-pandangan liberal dalam kehidupan sosial dan politik.
Hal ini pernah diungkapkan oleh Cak Imin pada 11 Oktober 2023 lalu ketika berkunjung ke Yogyakarta. “Kalau mau jujur, Anies Baswedan itu liberal,” ujar Cak Imin kala itu.
Secara tidak langsung, ini bisa dilihat dari latar belakang pendidikan Anies. Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut menjalankan studi-studi pascasarjananya di Amerika Serikat (AS).
Pada tahun 1998, Anies lulus dari program S2-nya dari University of Maryland, College Park, dengan bidang keamanan internasional dan kebijakan ekonomi. Anies kemudian lulus S3 dari Northern Illinois University dengan bidang ilmu politik.
Secara tidak langsung, latar belakang studi ini bisa memengaruhi cara pandang seseorang. Dalam studi Hubungan Internasional (HI), ini disebut sebagai soft power (kekuatan lunak) – yang mana bersumber pada nilai-nilai seperti budaya dan pendidikan.
Latar belakang pendidikan Anies inilah yang membuat dirinya dikenal sebagai akademisi yang progresif – mengacu ke tulisan Irman G. Lanti dan Adhi Priamarizki yang berjudul Anies Baswedan and the 2024 Presidential Election: Preserving the Right, Capturing the Middle.
Namun, citranya sebagai sosok progresif berubah akibat Pilkada DKI Jakarta 2017 – yakni ketika Anies menggandeng kelompok-kelompok konservatif untuk menjadi gubernur. Ini mengapa akhirnya, kini, di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, Anies membutuhkan kembali suara pemilih-pemilih progresif.
Jawaban Anies yang abu-abu terkait komunitas LGBT memang tidak memuaskan sepenuhnya dua kelompok pemilihnya – yakni konservatif dan progresif. Namun, posisi di tengah-tengah inilah yang dibutuhkan Anies untuk menjaga dan memperoleh suara-suara dari kelompok konservatif sekaligus progresif.
Yang jelas, dalam beberapa bulan ke depan, Anies akan tetap mengimbangkan gagasan-gagasannya di antara kedua kelompok ini – setidaknya hingga Februari 2024 nanti. Menarik untuk diamati kelanjutannya. (A43)